Pustaka
Bahasa Indonesia

From Bully to Love Me

290.0K · Tamat
Kristiana0909
179
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami ketahuan berselingkuh. Alasan Pradipta yang mengatakan bahwa Gadis sangat monoton dan tidak pandai dalam memberikan nafkah batin untuknya adalah salah satu sebab yang membuatnya mencari kepuasan diluar rumah selain kenyataan bahwa rumah tangga mereka belum dikaruniai momongan. Disaat Gadis menjalani masa-masa berkabungnya setelah keputusan perceraiannya dengan Pradipta, ia justru bertemu dengan Gavriel Erlando, laki-laki yang paling ia benci di hidupnya karena selama mereka bekerja bersama lima tahun lamanya, Gavriel selalu membully dirinya hanya karena namanya. Untuk membuktikan bahwa anggapan mantan suaminya mengenai dirinya itu tidak benar, Gadis mencoba berdamai dengan Gavriel dan menawarinya sebuah tawaran gila yang membuat Gavriel berpikir ribuan kali untuk menerimanya.

RomansaPerceraianPengkhianatanPernikahanSalah PahamplayboyKehidupan SosialPembullySetiaModern

Si paling menjengkelkan

Kau masih gadis atau sudah janda...

Tolong katakan jangan malu-malu...

Suara sumbang yang memekakkan telinganya membuat Gadis mencengkeram sendok serta garpu yang ada di tangannya. Suara Gavriel Erlando, teman satu kantornya ini sangat setia menemani lima tahun masa kerjanya di sini. Entah kenapa laki-laki yang menurut orang lain sangat tampan berbonus kelakuannya minus itu tetap mendapatkan tempat istimewa di hati beberapa wanita, termasuk di hatinya. Sayangnya tempat istimewa yang didapatkan oleh Gavriel di hati Gadis adalah sebagai seorang laki-laki yang paling ia benci di dunia ini.

"Mulut sampah lo itu bisa diam sehari aja enggak, sih?"

Gavriel yang tahu bahwa Gadis sudah terpancing emosinya siang ini justru tersenyum dan berjalan ke arah perempuan dengan tinggi 165 centimeter itu. Gavriel baru menghentikan langkah kakinya kala jarak antara dirinya dan Gadis hanya berjarak setengah meter.

"Mulut sampah? Lo katarak? Enggak lihat bibir gue seksi begini? Suara gue juga serak-serak basah."

Mendengar perkataan Gavriel itu, Gadis segera berpura-pura muntah. Melihat apa yang Gadis lakukan, entah kenapa Gavriel sedikit tersinggung.

"Dih, itu mah bagi perempuan yang bucin ke lo. Kalo bagi gue, lo enggak lebih dari bocah lima tahun yang terperangkap dalam tubuh laki-laki dewasa."

"Bocah lo bilang?"

"Iya."

Gavriel mulai memajukan langkah kakinya hingga ujung sepatu miliknya bersentuhan dengan ujung sepatu high heels milik Gadis.

"Lo dengar gue baik-baik. Kalo lo belum tahu gimana gue di luar kantor. Lebih baik lo diam!"

"Gue enggak butuh tahu tentang diri lo. Lagian lo enggak penting buat gue. Sebulan lagi juga gue bakalan pergi dari tempat ini!"

Setelah mengatakan itu, Gadis memilih membalikkan tubuhnya dengan menyibakkan rambut panjangnya hingga mengenai wajah Gavriel.

Bukannya marah, Gavriel justru diam karena ia cukup terkejut dengan informasi dari Gadis yang mendadak ini.

***

Sore ini Gadis memilih menunggu Pradipta (tunangannya) di lobby kantornya. Hatinya merasa lega karena akhirnya surat pengunduran dirinya dari perusahaan ini telah ia serahkan kepada HRD. Sebulan lagi ia akan resmi menjadi alumni karyawan di perusahaan ini. Cukup sudah lima tahun bekerja dibawah bayang-bagang mr. Perfect yang menjadikan dirinya dan Gavriel selalu bersaing. Bersaing dalam segala hal di kehidupan profesional mereka. Terlebih dalam memberikan hasil kerja terbaik untuk mr. Perfect.

Kala Gadis menatap ke arah lift, tak sengaja ia melihat Gavriel yang keluar dari sana bersama Antonio, alias si mr. perfect. Ia menyunggingkan senyum sinis melihat rivalnya itu berjalan bersama atasannya.

Saat merasa ada yang memperhatikannya, Gavriel mengangkat pandangannya. Matanya menjadi membelalak kala melihat Gadis yang sedang tersenyum sinis dari ujung loby kantor ini. Bulan ini memang dirinya yang lebih unggul daripada Gadis dalam pencairan kredit nasabah. Beberapa nasabah prioritasnya bulan ini mencairkan dana kredit yang cukup besar hingga membuatnya mencapai target bulanan.

"Kamu lihat siapa?" Tanya Antonio sambil menolehkan kepalanya untuk melihat ke arah Gavriel menatap.

Begitu tahu apa yang Gavriel lihat, Antonio menghela napas panjang.

"Stupid girl," Komentar Antonio pendek yang membuat Gavriel menelan salivanya.

"What?"

"Gadis bodoh."

Meskipun lima tahun mereka berada di satu perusahaan yang sama dan hubungan mereka tidak pernah terjalin harmonis, Gavriel cukup tahu jika Gadis adalah perempuan yang cukup berotak. Jika tidak, mana mungkin ia bisa bisa berada di posisinya yang sekarang.

"Saya gemas sama Gadis. Sudah saya bilang jangan resign hanya karena mengikuti suami setelah menikah tapi dia ngeyel. Dia kira mencari pekerjaan seperti apa yang dia miliki sekarang itu mudah? Lagipula tidak ada jaminan bahwa rumah tangga yang kelak dia bangun akan langgeng sampai akhir hayat."

"Memang Gadis mau menikah?"

"Iya. Sama laki-laki yang saya tahu bahwa dia bukanlah orang yang tepat untuk dipertahankan mati-matian."

Gavriel terdiam kembali mendengar apa yang Antonio katakan. Ia tahu jika atasannya ini cukup lihai menilai seseorang. Entah dari mana ia mendapatkan keahliannya ini, namun jika Antonio telah 'bersabda' maka apa yang dia katakan biasanya tidak meleset jauh.

***

Satu bulan sudah berlalu sejak Gadis mengajukan surat pengunduran dirinya dari kantor. Hari ini adalah hari terakhirnya duduk di kursi kebesarannya. Kursi yang sudah setia menemani hari-hari indah dan sedihnya menjalani pekerjaannya selama ini.

"Dis, kita jadi makan-makan?" Tanya Alena sambil menyandarkan punggungnya di tembok dekat meja kerja Gadis.

"Jadi."

"Terus habis kita makan-makan, lo beneran, besok pagi mau langsung ke Gambir?"

"Iya. Barang-barang gue di apartemen sudah dikirim semua ke rumah. Lagian dua minggu lagi acara nikahan gue sama Dipta."

Alena yang mendengar perkataan Gadis hanya bisa menggelengkan kepalanya. Rasanya semua terlalu cepat baginya. Baru setahun yang lalu ia memperkenalkan Pradipta, sepupu nasabahnya kepada Gadis, tahu-tahu kini mereka sudah mau menikah, sedangkan dirinya masih setia menjomblo hingga sekarang.

"Kenapa ya, orang-orang kisah cintanya mulus bener kaya jalan tol. Kenal, pacaran terus nikah, sedangkan gue? Masih gini-gini aja."

"Semakin dewasa, gue semakin sadar kalo kita tidak akan bisa memiliki segalanya yang kita inginkan. Bisa memiliki lima puluh persen dari apa yang kita inginkan saja sudah alhamdulillah."

"Gue yakin bisa."

"Enggak akan bisa, Len. Seperti jalan yang gue ambil sekarang. Gue memilih melepas karier gue demi mengabdi kepada suami. Gue yakin, pilihan gue ini yang paling tepat meskipun karier profesional gue harus berhenti sampai di sini."

"Jaman sekarang bisa kok tetap berpenghasilan dari rumah."

"Ya, gue ada rencana tentunya untuk itu, tapi semua tergantung sama Mas Dipta."

Gadis melingkarkan tangannya di lengan Alena dan mengajak Alena untuk menuju ke arah lift. Sudah cukup berbasa-basinya dan mereka harus segera makan siang sebelum jam istirahat berakhir.

***

Suasana food court siang ini cukup ramai dengan para budak corporate yang sedang menikmati waktu santainya, begitu pula dengan Gadis dan Alena. Mereka memilih menikmati mie ayam bakso pedas yang menjadi salah satu menu andalan di food court ini.

Panasnya kuah bakso bercampur dengan rasa pedas benar-benar membuat kening Gadis berkeringat serta air matanya menetes.

"Kayanya ada yang happy habis pencairan dua milyar," Kata Alena sambil menatap ke arah parkiran mobil dibawah.

Gadis menghentikan aktifitas makannya saat mendengar perkataan Alena. Ia angkat pandangannya untuk melihat ke mana arah pandangan Alena yang ternyata ke arah parkiran mobil di bawah. Di sana tampak Gavriel yang sedang turun dari mobil bersama sorang wanita muda. Gadis memperhatikan Gavriel yang terlihat sangat sopan kepada wanita itu. Sikapnya bahkan berbeda jauh saat berada dekat dengannya. Selalu saja Gavriel memancing emosinya setiap kali mereka berada di tempat yang sama.

"Siapa?" Tanya Gadis namun kedua matanya tetap memperhatikan Gavriel.

"Gavriel lah. Gue dengar hari ini pengajuan kredit nasabah dia yang dua milyar sudah cair."

Gadis memutar kedua bola matanya dengan malas. Padahal yang ia pertanyakan adalah wanita yang kini sedang berjalan bersama Gavriel sambil mengaitkan tangan kanannya pada lengan kiri Gavriel. Ia yakin baru sekali ini melihat wanita itu.

Tak ingin membuat Alena merasa canggung, akhirnya Gadis menyahuti komentar Alena dengan jawaban sekenanya.

"Halah, baru dua milyar. Gue yang pernah pencairan dua kali lebih besar dari nominal dia cair sekarang aja, biasa aja."

"Nah, itu dia. Pasti si Gavriel bakalan makin cemerlang kariernya setelah lo resign. Karena dia kagak punya saingan lagi buat menyabet gelar marketing terbaik tahun ini."

"Ambil aja kalo dia mau. Eneg juga kerja lima tahun begini meskipun gaji gede. Enggak bebas, enggak santai."

"Lo aja yang enggak pintar menikmati kehidupan. Si Gavriel tetep bisa clubbing, beberapa kali gue ketemu sama dia di club malam."

"Ya 'kan memang pasaran dia di situ, jadi jangan bandingin dia sama gue."

"Iya deh yang paling lurus. Yang enggak pernah masuk club malam apalagi mabuk. Hidup lo terlalu datar. Enggak ada asyiknya."

Gadis mencoba mengabaikan komentar dari Alena. Baginya tinggal jauh dari keluarga justru membuatnya semakin tinggi membangun tembok keimanannya agar tidak tergoda dengan kehidupan kota metropolitan yang terkadang membuatnya mengelus dada.

Tak ingin berlama-lama di tempat ini karena takut terjadi huru hara antara dirinya dan Gavriel, Gadis memilih mengajak Alena kembali ke kantor mereka. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, Alena terus bergunjing tentang siapa perempuan yang berada di samping Gavriel.

"Kemarin Mona, terus Santika. Sekarang siapa lagi itu perempuan?"

"Yang jelas bukan emaknya. Masih kemudaan."

Hanya itu komentar yang Gadis keluarkan hingga mereka sampai kembali di kantor. Bagi Gadis ia tidak peduli dengan rekan kerjanya itu. Toh dirinya jika sudah benci pada seseorang, maka ia tidak akan mau tahu tentang kehidupan orang itu. Meskipun tetap saja Gavriel terus menggodanya. Hingga sering menguji batas kesabarannya sebagai umat manusia.

***

Suasana kantor malam ini benar-bensr sepi. Tidak ada karyawan yang lembur selain Gavriel. Entah mereka semua pergi ke mana, yang pasti acara mereka tidak memasukkan Gavriel di dalam list tamu yang diundang.

Saat baru saja selsai menyeduh kopinya di pantry, Gavriel baru menyadari jika kemungkinan rekan kerjanya pergi ke acara perpisahan Gadis. Sumpah, rivalnya di kantor itu benar-benar membuatnya gemas dengan kelakuannya. Tidak bisakah mereka berdamai meskipun hanya semalam saja? Toh mereka tidak akan berada di dalam satu gedung yang sama lagi setelah hari ini?

Dengan rasa jengkel yang ia rasakan, Gavriel memilih kembali ke ruangannya bersama kopi di tangannya. Kala ia melewati meja kerja gadis, di sana sudah tidak ada lagi barang-barang milik Gadis. Dari foto perempuan itu yang sedang berlibur bersama keluarganya hingga benda-benda berwarna biru yang biasanya ada di sana.

Kini ketika sampai di meja kerjanya, Gavriel segera kembali menekuni pekerjaannya. Mau seberat dan sesulit apa pun pekerjaan yang kini ia jalani, ini jauh lebih baik daripada ia harus pusing mencari pekerjaan. Ia masih jauh lebih beruntung daripada kebanyakan generasi muda di negara ini. Diusianya yang memasuki angka 30 tahun, ia sudah memiliki sebuah rumah dipinggiran kota Jakarta meskipun masih dalam status kredit. Mobil yang ia pakai juga baru akan lunas tahun depan. Bagi Gavriel, mencicil jauh lebih baik untuk ia lakukan karena jika membeli secara cash, uang yang ia miliki belum cukup. Sering kali ia membayar angsuran langsung dua kali atau tiga kali jika dirinya mendapatkan bonus yang cukup lumayan dari kantor. Dengan bimbingan kakak perempuannya, kini ia juga mulai berjualan produk fashion wanita secara online. Tentu saja ia melakukan siaran live sepulang dari kantor. Kadang ia baru akan mempromosikan dagangannya di jam sembilan malam ke atas. Lagipula selagi masih muda, lebih baik mencoba mengepakkan sayap agar ia lekas menjadi finansial freedom. Namanya menjadi perintis tentunya tidak semudah menjadi pewaris. Apalagi bagi dirinya yang datang dari keluarga sederhana di daerah.

Selain untuk KPR dan kredit mobil, hal paling boros yang ia keluarkan di kehidupannya adalah untuk fashion karena penampilan adalah modal yang bisa menjadi 'senjata perang'-nya untuk bertemu para nasabah prioritas serta para calon kreditur. Ia harus berpenampilan meyakinkan dan tentunya good looking.

Telinganya sudah kebal mendengar anggapan orang tentang dirinya yang memasukkannya ke dalam kategori pria metroseksual. Namun dari semua itu, hanya ada satu komentar yang membuat telinga Gavriel panas dan komentar itu datang dari Gadis yang mengatakan dirinya adalah perempuan yang terjebak dalam tubuh pria. Gadis bahkan berkoar-koar jika dirinya tidak tertarik pada wanita. Andai saja Gadis adalah laki-laki, pasti Gavriel sudah memberikan pukulan pada pipinya hingga giginya rontok.

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Gadis baru saja selesai makan malam dilanjutkan karaoke bersama teman-temannya. Tidak lupa sebelum keluar dari mall, mereka melakukan foto studio bersama di sebuah studio foto yang ada di dalam mall itu.

"Personilnya enggak lengkap, nih. Si Gavriel enggak ikutan."

"Bukan enggak ikutan. Gue memang enggak ngajakin dia."

Satu detik...

Dua detik....

Tiga detik....

Ragil yang mendengar perkataan Gadis ini hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Ia benar-benar tidak menyangka jika Gadis bisa sebenci ini kepada Gavriel.

"Kejam lo, Dis."

"Biarin. Khusus sama si Gavriel, jadi orang baik adalah hal yang paling gue hindari. Udah, ayo buruan kita foto," Kata Gadis sambil menggeret tangan Ragil untuk bergabung dengan teman-teman mereka yang sudah menunggu.

***