5. Wanita Michat Itu?
"Alat kontrasepsi? Tunggu tunggu! Bagaimana benda itu bisa ada di dalam tasku?"
Aku masih tercengang, dan seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Shira kini masih berdiri di depanku. Matanya merah karena marah dan juga penuh tangis. Dia memegang benda kecil itu di tangannya, sebuah alat kontrasepsi yang aku sendiri tak tahu bagaimana benda itu bisa ada di dalam tasku.
"Mas Panji! Ini apa?!" Shira bertanya dengan nada yang penuh amarah, suaranya serak karena menahan tangis.
Aku gugup mendengarnya. Benar-benar kalang kabut dan bingung pikiranku sekarang, karena aku memang tak tahu darimana benda itu berasal. Aku mencoba untuk menjelaskan kepada Shira, tapi otakku rasanya buntu sekarang.
"Aku ... aku nggak tahu, Shira," jawabku, sedikit panik. "Serius, aku nggak tahu bagaimana benda itu bisa ada di dalam tasku."
"Jadi, siapa yang taruh ini di sini, Mas Panji?! Nggak mungkin benda ini masuk sendiri ke dalam tas kamu kalau bukan kamu yang menaruhnya kan?" Mata Shira menatapku dengan sangat tajam, sepertinya ia hampir ingin menghukumku dengan pandangannya itu.
"Mas Panji selingkuh, kan?!" tuduh Shira, jarinya menunjuk tepat ke wajahku dengan amarah yang sudah berapi-api.
Kata-kata itu terasa seperti duri yang menusuk hatiku. Sakit, perih, dan juga tak menyangka jika dia akan melontarkan tuduhan seperti itu kepadaku.
"Selingkuh?" Aku menatap Shira yang kini sudah mulai menangis, tubuhnya bergetar karena emosi. Hatiku sakit melihatnya seperti ini. Aku tidak sanggup melihatnya hancur.
"Shira, jangan berkata seperti itu ...." aku meraih tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukanku. "Aku nggak pernah selingkuh sama sekali. Sedikit pun nggak pernah."
Air mata Shira mengalir semakin deras di bahuku, dan aku makin merasa bersalah. Aku baru saja ingin berkata lebih banyak, ketika tiba-tiba aku teringat akan sesuatu.
Bowo!
Teman baikku yang memang sering usil padaku. Ya, aku yakin kalau semua ini pasti adalah ulahnya.
“Shira ... ini mungkin ulah Bowo,” kataku pelan, mencoba mencari alasan. “Bowo sering banget jahil sama aku. Mungkin dia yang sengaja menaruh benda itu di dalam tasku.”
Shira mendongak, matanya yang basah menatapku dengan penuh keraguan.
"Bowo? Tapi kenapa dia harus melakukan itu sama kamu, Mas? Apa maksudnya coba?”
Sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal, aku menarik napas panjang dan menatap lekat-lekat pada Shira.
"Dia itu memang suka iseng sama aku dan aku udah sering mengalami hal seperti ini sama dia. Aku janji, Shira, nggak akan ada yang salah di antara kita. Ini cuma gara-gara tingkah Bowo itu." Aku berusaha meyakinkan istriku tersebut.
Shira terdiam sejenak, dan aku bisa melihat ada sedikit perubahan di wajahnya, meski masih diliputi keraguan.
"Mas Panji yakin?"
Aku mengangguk dan membelai rambutnya pelan.
"Iya, aku yakin banget. Aku nggak mungkin selingkuh, Sayang. Aku cinta banget sama kamu."
Sejenak Shira terdiam, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan dan kemudian menundukkan kepalanya. Aku segera memeluknya lebih erat, berharap bisa memberi sedikit ketenangan padanya.
"Ayo, kita tidur, Sayang. Besok kita bicarakan lagi."
"Baiklah kalau begitu, Mas."
Aku kemudian menuntun Shira ke tempat tidur, dan segera berbaring di sampingnya. Aku terus saja memeluknya sampai terdengar deru napasnya mulai teratur. Aku merasa sedikit lebih tenang setelah melihat Shira mulai terlelap. Tapi di sisi lain, rasa kesalku pada Bowo tak bisa hilang begitu saja.
"Awas saja Lo, Bowo," geramku dalam hati.
Ketika akhirnya aku melihat Shira tertidur, aku pun beringsut turun dari tempat tidur dengan gerakan pelan. Buru-buru aku meraih ponselku dan mengirim pesan ke Bowo, karena geram dengan sikapnya yang tidak bertanggung jawab itu.
Aku mengetik dengan cepat. Wajahku terasa panas karena memendam emosi.
[Bowo, lo parah banget! Kenapa lo bisa masukin alat kontrasepsi itu ke dalam tas gue? Shira marah dan hampir nggak mau ngomong sama gue lagi karena hal ini!]
Pesanku terkirim, tapi ....
Ting!
Aku membuka balasan pesan dari Bowo dengan cepat. Bowo malah membalas dengan emot ketawa. Aku kesal dan hampir saja mau melempar ponselku ke dinding.
Tak lama kemudian, dia mengirim pesan lagi kepadaku.
[Hahaha, tenang aja, bro. Besok-besok lo pasti butuh itu kalo ketemu Dira.]
Dira.
Tiba-tiba nama itu muncul dalam pikiranku, dan aku merasa semakin kesal. Kenapa Bowo harus nyeret-nyeret aku ke dalam masalah lain? Aku cuma ingin hidup tenang bersama Shira, tapi kenapa jadi seribet ini?
Perihal Dira, ahh aku memang sebenarnya ingin sekali bertemu dengannya. Dan semoga saja, besok tidak ada kendala untukku bertemu dengannya lagi.
Aku pun mulai merebahkan tubuh di sebelah Shira. Perlahan mataku terpejam, dan saat itulah ada bayangan si cantik Dira yang hinggap di mataku. Tanpa sadar, aku tersenyum-senyum seorang diri.
***
Pagi ini, aku berpamitan untuk berangkat kerja seperti biasanya kepada istriku. Shira sudah menyiapkan bekalku dengan senyuman dan juga mencium tanganku dengan penuh kasih. Rasanya semakin berat karena aku tahu kalau aku sudah berbohong padanya, dan ada hal yang lebih besar yang aku sembunyikan darinya.
"Aku berangkat dulu, ya," kataku sambil mencium pipinya. "Semoga hari ini lancar."
"Iya, Mas. Hati-hati kerjanya ya."
Shira hanya mengangguk dan tetap tersenyum meski matanya terlihat lelah. Hatiku semakin bertambah berat, tapi aku harus tetap berbohong. Aku tak bisa memberi tahu dia kalau aku sudah di-PHK.
Dengan gontai, aku menaiki motor sportku dan segera melaju menuju hotel X, tempat aku janjian untuk ketemu dengan Dira. Aku sudah penasaran dengan wanita itu, wanita Michat yang wajahnya mirip sekali dengan Shira. Selain karena kecantikannya, aku juga merasa ada yang aneh, seperti ada daya tarik tersendiri yang tak bisa aku jelaskan.
Setibanya di hotel X, aku bergegas menuju kamar yang sudah kami sepakati. Aku duduk di sana dan menunggu, sesekali melihat jam.
Setelah cukup lama menunggu, pintu kamar itu pun akhirnya terbuka, dan seorang wanita masuk. Aku terkejut melihatnya dan refleks berdiri untuk menyambutnya.
Wanita itu masuk ke dalam kamar hotel. Ia tampak mengenakan masker hitam, kacamata hitam, dan selendang merah yang menutupi sebagian rambutnya. Meskipun begitu, pakaiannya tetap seksi. Aku tak bisa menahan diri untuk menyapanya.
"Dira?"
Wanita itu berhenti sejenak, lalu menatapku. Ia sedikit menurunkan kacamata hitamnya, dan aku bisa melihat mata indahnya dari balik kaca mata hitam yang dipakainya.
"Iya, Panji," jawabnya pelan.
Aku masih nggak percaya. Apakah ini benar-benar Dira?
Tapi kenapa dia ...?
