Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Alat Kontrasepsi

4

Tanpa mencari tahu lebih lanjut tentang benda yang dimasukkan ke dalam tasku oleh Bowo, aku langsung melajukan motor sportku pulang. Telingaku masih terdengar suara Bowo yang sempat memanggilku, tapi aku tak peduli. Saat ini aku harus segera pulang, agar Shira tak curiga padaku dan tetap menganggap kalau aku baru saja pulang kerja seperti biasanya.

Sesampainya di rumah, matahari sudah mulai tenggelam. Langit yang memerah menandakan petang yang indah, tapi hatiku rasanya sedikit gundah dan tak tenang sama sekali. Begitu memasuki halaman rumah, aku cepat-cepat memarkir motor di garasi dan buru-buru memasuki rumah.

"Shira, aku pulang!" panggilku dengan suara ringan, meskipun sebenarnya beban di hatiku cukup berat.

Saat itulah pintu seketika terbuka. Aku langsung mendengar suara langkah kaki yang ringan mendekat. Shira muncul dan membukakan pintu untukku. Matanya yang cantik tampak berbinar, dan senyumnya manis ketika ia melihatku.

Dari dulu dia memang cantik, tapi sayang kecantikannya harus pudar karena tubuh dan wajahnya tidak terawat. Dia bahkan selalu mengenakan daster kumal yang sudah berjamur itu untuk menyambutku.

Astaga!

Lelahku bukannya hilang, tapi yang ada aku malah tambah stress melihat penampilannya seperti ini.

“Mas Panji, kamu baru pulang?" tanyanya dengan lembut.

Ia lalu mendekatiku dan mencium punggung tanganku. Aku membalas senyumannya dan mengusap rambutnya. Sekilas aku mencium pipinya, meskipun hatiku rasanya sedang campur aduk sekarang.

“Iya, Sayang, tadi ada macet di jalan dan ada lembur sebentar. Aku jadi capek banget sekarang,” jawabku sambil mengangkat tasku, menunjukkannya pada Shira.

Shira tersenyum dan tanpa banyak bicara, dia langsung mengambil tasku.

“Sekarang Mas Panji istirahat. Aku ambilkan kopi dulu, ya. Sekalian aku siapkan makan malam. Mas Panji pasti lapar."

"He em, terima kasih, Sayang." Aku mengangguk.

Shira tersenyum dan segera melangkah menuju dapur. Aku menatapnya hingga lenyap dari pandanganku. Ia memang selalu tahu apa yang aku butuhkan. Aku menghela nafas panjang sembari memijit kepalaku yang mendadak terasa berdenyut.

"Shira itu istri yang sangat berbakti. Dia terlalu baik untukku," gumamku yang tiba-tiba dihinggapi rasa bersalah.

Aku jadi merasa makin cemas. Terutama karena aku baru saja membohonginya, mengatakan bahwa aku baru pulang kerja padahal sebenarnya aku sudah di-PHK. Bahkan yang lebih parahnya, karena aku baru saja berniat menemui Dira si wanita Michat itu, meskipun akhirnya aku harus bertemu dengan Ani si ganjen itu.

Sejenak aku duduk di ruang tamu, dan memikirkan semua yang terjadi. Aku meraih ponselku dan mulai scrol-scrol tanpa tujuan.

"Dira harus menjelaskan semuanya sama aku. Bisa-bisanya dia mangkir dan malah meminta Ani untuk menemui ku. Ini nggak bisa dibiarkan," geramku dan bersiap membuka aplikasi Michat tempatku bertemu dengan Dira.

"Mas Panji."

Namun, tiba-tiba saja terdengar suara Shira memanggilku. Aku tersentak dan cepat-cepat mengurungkan niat. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku celanaku. Aku menatapnya dengan gugup, ketika Shira datang dengan membawa secangkir kopi panas.

"Ini kopi panasnya, Mas. Pasti enak untuk melepas lelah,” ujarnya sambil meletakkan kopi di meja dan ia segera duduk di sampingku.

“Mmm, terima kasih, Shira. Kamu memang paling tahu cara bikin aku merasa lebih baik,” jawabku, mencoba untuk tersenyum, meskipun dalam hati ada rasa bersalah yang teramat besar.

"Iya, Mas. Ya udah, ayo diminum kopinya. Setelah itu, kamu mandi ya. Aku sudah siapkan air hangat untuk kamu," ucapnya dengan sangat tulus.

Degh!

Rasanya jantungku nyaris berhenti berdetak saat itu juga. Shira yang begitu baik, Shira yang begitu tulus, dan dia yang sangat sempurna sebagai seorang istri. Bagaimana mungkin aku bisa berniat untuk menghianatinya dan bermain gila di belakang dengan seorang cewek Michat?

"Mas, kenapa bengong aja? Ayo habiskan dulu kopinya, setelah itu kita makan malam bersama. Oke?" tegur Shira, membuatku tersentak kaget.

"Ah, i ... Iya, Sayang."

Aku gugup, tapi sebisa mungkin aku berusaha bersikap normal agar tak menimbulkan kecurigaan. Aku segera menyesap kopi panasku, lalu mulai pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Barulah aku pergi makan malam bersama Shira.

Malam itu berjalan seperti biasa. Kami makan malam bersama, ngobrol ringan tentang kegiatan seharian, dan menonton televisi. Aku meletakkan kepalaku di pangkuannya, menikmati kedekatan yang sudah lama tidak kurasakan.

Satu-satunya hal yang mengganggu pikiranku adalah ponsel yang ada di saku celanaku. Hatiku rasanya gelisah karena ingin menghubungi Dira dan menuntut penjelasan darinya, tapi aku memilih menahan diri untuk tidak memikirkannya lebih jauh.

“Aku capek, Mas Panji,” kata Shira setelah beberapa saat. “Aku tidur dulu, ya?”

Aku mengangguk, lalu mencium pipinya. “Tidur yang nyenyak, ya, Sayang. Kamu butuh istirahat.”

"Iya, Mas. Nanti kamu nyusul ya. Kamu juga harus segera istirahat."

"Pasti, Sayang."

Shira pun melangkah pergi ke kamar. Aku tetap di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Begitu Shira pergi, cepat-cepat aku membuka ponsel dan mengecek pesan yang mungkin sudah masuk.

"Dira! Dira! Dira! Kenapa aku selalu saja kepikiran sama dia sih?"

Aku buru-buru membuka aplikasi hijau yang selama ini sering kubuka untuk berkomunikasi dengan Dira. Membayangkan wajah cantik wanita itu, selalu saja bisa membuat jantungku berdebar. Baru saja aku berpikir untuk mengirim pesan kepadanya, tiba-tiba ada pesan masuk. Dira mengirimkan sebuah pesan singkat.

[Mas Panji, besok aku mau ketemu. Aku butuh uang.]

Aku hampir melompat kegirangan karena mendapat pesan itu. Dengan cepat aku segera membalasnya.

[Ok, Dira. Besok kita ketemu di hotel B. Aku juga ingin banget ketemu sama kamu.]

Mendapat pesan darinya benar-benar membuatku bersorak kegirangan. Rasa rinduku sepertinya sedikit terobati dengan pesan itu. Dan besok, kami akan bertemu di hotel. Aku harus memastikan jika Dira dan Shira itu memang hanya mirip.

Namun, saat aku tengah asyik berbalas pesan dengan Dira, suara teriakan Shira tiba-tiba terdengar memecah kesunyian rumah. Aku terlonjak kaget, hingga ponselku hampir jatuh dari tangan.

“Mas Panji!” teriaknya dari kamar.

"Astaga! Shira kenapa sih?" geramku kesal.

Cepat-cepat aku berlari menuju kamar. Begitu sampai di dalam kamar, kulihat Shira sedang berdiri di samping tempat tidur, tepat di dekat meja tempat tasku berada. Wajahnya tampak merah padam, matanya penuh amarah. Di tangannya, ada sesuatu yang membuat darahku serasa berhenti mengalir.

“Mas Panji!" Suaranya bergetar.

"Ini ... apa ini?” Dia memegang tasku dan dari dalamnya ada sebuah benda yang aku tak tahu darimana aku mendapatkannya.

"Astaga! Itu kan alat kontrasepsi."

Wajahku pucat, tubuhku kaku. Aku tak tahu harus berkata apa. Entah sejak kapan benda itu ada di dalam tasku!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel