Chapter 1: Carl's Wedding
Carl
Pernikahan gila, itu yang terlintas di pikiranku. Aku sama sekali tak menginginkan pernikahan ini. Grace Wright, gadis yang berjalan melalui altar di gandeng oleh ayahnya yang sudah tampak menua itu, dia adalah calon istriku. Sungguh, aku tak bisa membayangkan untuk hidup dengannya, aku bahkan tak tertarik untuk menatap wajahnya yang berseri-seri. Dia pikir pernikahan ini menyenangkan, aku hanya memenuhi syarat dari ayahku.
Grace duduk di sampingku di hadapan penghulu. Kami menikah singkatnya di saksikan para tamu dari keluarga, rekan kerja dan sahabat terdekat. Aku tak menyangka kini dia menjadi istri sahku, aku berharap dia tidak betah dan menceraikan aku sebab akupun tak ingin melihatnya. Grace bukan gadis yang jelek, dia cantik, ku akui dia adalah gadis yang cantik, matanya yang indah, rambut pirang serta tubuhnya yang ramping hanya saja aku tak pernah tertarik.
Bukan aku tak bisa jatuh cinta atau aku ini gay sebab banyak orang mengira aku tidak menikah karena aku gay. Usiaku baru menginjak 26 tahun, banyak orang yang mengira aku gay karena belum kunjung menikah dan melabuhkan hatiku pada seorang gadis. Ayahku berkali-kali memperkenalkan aku kepada wanita, aku tidak tertarik dengan mereka semua. Hanya saja, Grace Wright memiliki kualifikasi, dia adalah dokter yang memiliki reputasi baik di kantor meskipun masih muda dan terbilang baru.
Ayahku memilih dia sebagai menantu sebab wataknya yang baik, penyabar dan ramah, lemah lembut. Dia terkenal sebagai wanita penyayang, dia bahkan mengambil specialis anak karena dia sangat menyukai anak-anak. Dia pasti ingin memiliki anak tapi, memilih menikah denganku artinya siap untuk tidak melakukan hubungan seksual maupun memiliki anak. Aku tak tertarik menyetubuhi dirinya yang terlihat suci. Sebab dia tak pantas untuk ku hancurkan, jujur saja dia gadis yang baik.
Hari sudah sore, tamu mulai banyak yang berdatangan. Banyak yang memberi selamat dan mendoakan, kami berdua tersenyum meskipun aku hanya berpura-pura ramah dan ingin segera menjauh dari keramaian ini. Aku tak tahan rasanya ingin melepaskan pakaian dan tidur di atas ranjangku yang luas. Aku sudah menyiapkan ranjang khusus Grace di kamar lain, dia tidak akan tidur denganku malam ini.
"Setelah ini, Evans akan menikahi tunangannya. Dia bahkan sudah menemukan cinta sejati, lihatlah mereka begitu romantis berdansa di tengah keramaian." Maxime mendekat menunjuk ke arah Evans dan Miranda yang sedang berdansa.
Maxime adalah sepupuku sementara, Evans adalah adikku, "Aku tidak peduli, Evans bukan pria yang setia, dia seringkali berganti pasangan," kataku tak suka dengan adikku sendiri.
"Setidaknya dia menemukan cinta sejati dan kau, kau justru terjebak bersama dokter ini. Hahaha" Maxime tertawa tepat di telingaku. "Aku tidak peduli, Max. Kau seharusnya tau tujuan dan alasanku. Aku seringkali bercerita kepadamu, ku rasa kau tidak tuli ketika aku meluapkan seluruh isi hatiku." Aku menatapnya sinis,
"Tidak, tentu saja tidak. Tapi, kita ini memang diharuskan menikah. Untungnya, aku sudah menemukan gadis untuk dibawa," Maxime terkekeh sembari memanggil kekasihnya, "Ini adalah Clara, dia adalah kekasihku. Aku akan segera melamarnya nanti." Clara mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku dan Grace.
"Senang bertemu dengan kalian, semoga pernikahan kalian selalu diberkati," ucapnya mendoakan. "Baiklah, aku membawa hadiah untuk kalian dariku dan Clara." Maxime menyerahkan sebuah kotak kecil berisi hadiah, "Dan ini dari Elena, dia meminta maaf dia tak bisa hadir karena sibuk dengan pekerjaannya." Aku menerima buket bunga dan kotak yang cukup besar dari Elena, adiknya Maxime.
"Apa dia selalu sibuk?" Tanyaku penasaran, "Ya, dia adalah calon dokter. Ku rasa untuk menjadi dokter sungguhan dia perlu bekerja keras," Max tertawa.
"Kami harus pergi, Carl. Ada sesuatu yang perlu aku lakukan." Max bersalaman lalu, menggandeng kekasihnya pergi bersamanya.
Aku, Evans dan Maxime cukup dekat meskipun Maxime adalah sepupuku. Aku hanya memiliki Evans sebagai adik dan saudaraku satu-satunya. Kami bertiga bekerja di kantor bersama, mabuk bersama dan selalu berbincang bersama. Tak jarang kami selalu keluar untuk traveling, berbisnis atau hanya sekedar menghadiri rapat. Maxime memiliki dua saudara, salah satunya adalah Elena yang sedang menempuh pendidikan kedokteran di Melbourne, dia sudah lama tinggal bersama nenek dan kakek. Aku tak pernah melihatnya sama sekali. Dan terakhir, keduanya memiliki seorang adik lelaki yang bernama Franklin.
Franklin datang sendiri tanpa pacarnya karena aku yakin dia takut dimarahi oleh ibunya jika membawa pacar. Acara ini terus berlanjut sampai pesta tengah malam dan tamu masih saja berdatangan. Aku rasa ayahku mengundang begitu banyak tamu. Dia terlihat sangat bahagia menyambut tamu-tamu yang datang bersama dengan ibuku yang akhirnya merasa lega karena aku telah meletakkan pilihanku untuk menikah.
Sepanjang acara, aku sama sekali tak berbicara dengan Grace karena aku tak tertarik, dia sesekali bertanya atau menunjukkan sesuatu yang menarik di acara ini akan tetapi, aku mengabaikannya. Untungnya, dia bukan gadis yang rewel atau dramatik. Dia tenang saja meskipun aku selalu mengabaikannya.
Setelah acara ini selesai, kami kembali ke rumah. Rumahku tepatnya yang masih berada satu komplek dengan rumah utama keluarga Foster. Aku memiliki mansion pribadi yang ada di dekat hutan. Aku tak tinggal di sana sampai ada seseorang yang dapat membuatku jatuh cinta. Aku akan membawa gadis yang ku cintai ke tempat yang aku sukai. Hanya saja sekarang, Grace bukan gadis itu sehingga, aku akan tinggal di rumah ini yang setidaknya dia tidak akan kehujanan maupun kepanasan.
Aku masuk ke dalam dan melepaskan pakaian yang ku kenakan selama pesta pernikahan sementara, Grace terpaku menatap setiap interior gelap yang ku pajang di rumah ini. Aku memang suka warna hitam, setiap karya yang identik dengan warna hitam aku akan membelinya dan menjadikannya koleksi di rumah ini. Ketika aku menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarku, dia naik dan mengikutiku. Dia memang masih baru di tempat ini jadi, ku pikir dia merasa asing.
"Tanina!" Panggilku kepada salah satu pelayan di rumah ini, "Ada apa, Tuan Foster," Dia datang terburu-buru mendekat ke arahku yang berada di tangga, "Kau bisa membawa gadis ini ke dalam kamarnya, pastikan apa yang di minta terpenuhi dan dia nyaman untuk tidur." Perintahku kepadanya.
Grace mengerutkan dahinya, "Apa maksudmu, Carl? Bukankah seharusnya aku tidur denganmu?" Aku tertawa kecil, "Di mimpimu, Grace. Aku tidak akan pernah tidur denganmu." Jawabku ketus, "Kau pasti bercanda, mengapa tidak? Aku ini bukannya istrimu?" Tanyanya lagi, dia terdengar tak terima dengan keputusanku yang memintanya untuk tidur di kamar lain.
"Jangan pernah berharap aku akan menganggapmu sebagai istriku, aku menikah denganmu hanya karena persyaratan gila dari ayahku!" Tegasku kepadanya. Dia terdiam sementara, aku kembali naik dan masuk ke kamarku. Aku mengunci pintunya untuk istirahat sejenak karena aku tak ingin bila ada yang mengangguku.
Besok pagi sekali aku harus bekerja oleh karena itu, aku menyempatkan untuk memeriksa beberapa pekerjaan dan tidur tanpa gangguan dari siapapun termasuk Grace. Aku tidur dengan nyenyak mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi. Aku adalah seorang suami dari istri yang tak ku inginkan, jelas sulit sekali untuk menerima Grace. Bahkan di pagi hari ketika dia memasak sarapan dan memintaku untuk sarapan saja aku mengabaikannya. Dia membuat bekal agar aku makan nanti aku pun tak mengambilnya.
"Carl, aku akan mengantar makananya ke kantor," ucapnya ketika aku menolak untuk membawa bekal makanannya ke kantor, "Tidak perlu, Grace. Kau sebaiknya memberi makan kucingku daripada memberikan makan aku, aku tak tertarik dengan masakanmu." Aku berlalu sementara, Grace masih terpaku dengan apa yang aku ucapkan.
Mungkin dia tersiksa dengan pernikahan ini. Sejauh ini dia masih begitu sabar dan diam atas semua perilakuku. Dia sama sekali tak komplen meskipun tidur tanpa diriku maupun aku yang selalu mencuekkan dirinya setiap saat. Aku pulang terlambat sebab aku sering pergi ke bar. Setiap kali aku pulang, Grace dengan setia selalu menunggu di sofa ruang tamu bahkan sampai ketiduran.
"Kau sebaiknya membangunkan dia, Tanina. Dia harus tidur di kamarnya, dia pasti lelah sekali habis bekerja," perintahku kepada Tanina, "Ah, Carl. Kau baru pulang. Maaf, aku tidak mendengar kedatanganmu. Kau darimana saja, mengapa sampai berantakan." Aku menyingkirkan tangannya yang mencoba membenahi kemejaku.
"Aku baik-baik saja. Lain kali tidak perlu menunggu aku pulang dan langsung tidur saja. Jangan menganggap pernikahan ini lebih dari sekedar perjanjian bisnis saja."
"Aku menikah denganmu karena ku pikir kau akan berubah pikiran dan mencintaiku, Carl. Mengapa kau selalu bersikap begini?" Akhirnya dia protes kepadaku, "Karena aku tidak mencintaimu, Grace. Kau sebaiknya pergi tidur sebelum aku berubah pikiran." Perintahku kepadanya, aku tak ingin menyakitinya jujur saja akan tetapi, protesannya membuatku ingin menyiksa dirinya.
Sudah hampir setengah tahun pernikahan ini berlalu. Dia belum kunjung hamil sementara, istri Evans yang baru dia nikahi 3 bulan kini telah hamil anak pertama mereka. Aku tetap tenang meskipun orangtuaku akan mempertanyakan alasan mengapa Grace belum kunjung hamil. Aku tak peduli, aku bahkan tak berminat untuk meniduri dirinya.
Aku selalu pergi ke bar setiap malam dan bertemu dengan gadis yang berbeda-beda. Aku jelas tidak memasukkan batangku ke dalam lubang para gadis itu. Aku ingin memberikan kenikmatan ini kepada gadis yang aku cintai saja. Aku tak akan memberikan batang ini kepada para pelacur. Bahkan aku tak memberikannya kepada Grace, istriku sendiri.
"Aku tidak percaya kau datang sendirian ke tempat ini." Seorang gadis tertawa mendengar pertanyaan bartender, "Aku ingin memberi kejutan kepada kedua orangtuaku, ayolah. Aku sudah bosan dengan bar-bar di Melbourne. Aku baru saja mendarat di Perth dan sudah mengingat tempat ini." Ucap si gadis dengan girang.
Dia duduk tepat di sampingku yang sedang setengah mabuk. Dia tampak bahagia meminum segelas rum dan berbincang dengan bartender yang merupakan teman lamanya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Dia mengenakan dress warna hitam dengan atasan yang terbuka membuatnya tampil begitu elegan. Rambutnya yang terurai dan tatapan sebelah matanya, ku rasa matanya berwarna hijau. Sungguh, ini adalah pertama kali aku melihat seorang gadis seperti dirinya.
"Mengapa kau pulang, El?" Tanya si bartender sembari mengocok minuman yang dia pesan, "Pernikahan, hanya saja aku tak begitu tertarik. Banyak yang akan menanyakan kapan aku menikah, bagaimana kekasihku? Aku sudah membayangkannya." Dia tertawa kecil, senyumannya manis sekali. Aku tak bisa mengalihkan mataku untuk tidak menatapnya.
"Aku harus pergi, Martin. Aku harus segera pulang." Dia meneguk minumannya dan berdiri, aku mendekat, menarik pergelangan tangannya dengan paksa dan membawanya ke dalam kamar hotel yang ada di lantai atas. Dia mencoba melepaskan diri dari cengramanku akan tetapi, aku tidak akan melepaskannya.
"Wow, menarik sekali. Ada seorang pria yang menculikku sekarang." Aku mengunci pintu kamarnya sementara, dia mengoceh, aku senang mendengarkan suaranya. Aku semakin terpana dengan pesona kecantikannya yang begitu indah. Tubuhnya, keindahan mata dan wajahnya yang begitu sangat cantik.
"Tuan, aku rasa kau sedang mabuk. Jika kau tidak melepaskan aku maka, aku akan memanggil polisi." Ucapnya mengancamku, "Polisi yang mana, sayang. Aku mengenal polisi yang ada di kota ini, kau tau." Aku mendekat dan memegang kedua pinggulnya entah mengapa aku begitu bernafsu mengapa aku menemukan gadis yang begitu indah.
"Tuan, jika kau pikir aku pelacur maka, kau salah. Jadi, sebaiknya menjauh atau aku akan melaporkanmu." Dia berbisik di telingaku dengan ancamannya, "Aku tidak peduli, aku hanya ingin menyetubuhimu dengan brutal gadis muda."
"Hmm, aku tidak pernah bertemu dengan pria sepertimu, Tuan. Tapi, aku tidak suka bercinta dengan orang asing. Kau tau, aku memiliki seorang pacar." Ucapnya menjelaskan lagi, aku tidak peduli dan mencium bibirnya. Oh my! Dia benar-benar membuatku semakin terangsang, cara dia melumat bibirku dengan cepat. Dia membuatku jatuh di atas ranjang dan terlena dengan gerakan tubuhnya yang lihai.
"Asal kau tau saja, aku tidak akan melakukan ini jika sedang tidak merasa stress." Aku tak memperdulikan kalimatnya, mengapa seorang gadis seperti dia akan merasa stress.
"Lebih cepat sayang, kau membuatku semakin bernafsu." Aku mengerang dan memintanya untuk bergerak lebih cepat, aku mengangkatnya, mendekatkan dirinya dengan tembok, memasukkan batangku ke dalam liang senggamanya yang telah basah, "Ahhhh!" Dia mengerang dengan pasrah ketika aku terus bermain dengan cepat.
Aku begitu menikmati permainan malam ini. Aku berganti posisi hampir 5 kali, dia benar-benar memuaskan aku. Sudah lama sekali aku tidak merasakan hasratku yang benar-benar terpenuhi seperti ini. Aku berkeringat dan mengeluarkan cairan putih kental yang terasa hangat memenuhi rahimnya tak peduli apakah dia akan hamil atau tidak. Aku terus menikmati permainannya.
Kami berdua kelelahan, berkeringat. Jantungku berdegup kencang, aku menatapnya sekali lagi, mencium keningnya. Dia begitu cantik baik ketika telanjang maupun dengan dress-nya yang elegan. Aku rasa dia sudah cukup umur untuk melakukan ini karena dia terlihat sudah sangat lihai. Aku rasa ini bukan pertama kalinya dia melakukan hal ini. Ketika aku terbangun dari tidurku semalam yang nyenyak. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Dan si gadis tidak berada di sampingku.
"Aku senang bertemu denganmu, Tuan. Tapi, aku harus pergi." Sebuah pesan dengan lipstik merah di kaca. Aku benar-benar ingin mengenalnya. Dia tidak meninggalkan nomer ponselnya sama sekali.
To be continued...
