Part 9
Semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan, kecuali Dasta yang juga belum menampakkan batang hidungnya. Semua mata menatap berbinar dan tersenyum geli saat melihat Shaka, terutama Rasty, tersenyum jahil ke arah Abangnya tersebut.
"Dimana istrimu, Shaka?" tanya bu Marwa.
Gerakan tangan Shaka yang ingin menarik kursi untuk ia duduki pun terhenti, wajahnya mengeras saat mendengar nama wanita yang di bencinya itu di sebut.
Cepat-cepat Shaka merubah raut wajahnya, tersenyum menatap ke arah sang mama.
"Dasta masih tidur ma, sepertinya dia sangat kelelahan sekali."
Rasty bersorak kegirangan mendengar ucapan abangnya, semua orang menatap takjub dan bangga ke arah Shaka yang mengira jika mereka telah berhasil melakukan malam pertama.
"Kyaa!! berapa ronde tadi malam bang?" goda Rasty yang langsung mendapatkan pelototan mata Shaka.
Rasty tak bisa lagi menahan senyum dan tawa gelinya, bahagia mendengar ucapan Shaka yang mengatakan jika Dasta begitu kelelahan. Apakah mungkin abangnya ini begitu ganas pada Dasta?
Ah, Rasty sudah tidak sabar untuk menanyakannya. Setelah ini Rasty akan bertanya banyak dan langsung pada Dasta.
Mata Rasty melirik ke arah tangga, di saat itulah bersamaan ia melihat Dasta yang menuruni tangga dengan sangat pelan. Bahkan wanita itu terlihat kesusahan berjalan di iringi dengan sesekali ringisan tiap langkahnya.
Dugaan mereka semua semakin yakin, jika Shaka terlalu mengerikan menggempur Dasta sampai seperti itu. Rasty bangkit dan mencoba membantu Dasta.
"Apakah bang Shaka tadi malam bak kuda liar lepas?" goda Rasty membuat Dasta bengong.
Dasta tak mengerti maksud dari ucapan Rasty, keningnya berkerut dalam.
"Tadi malam, berapa ronde?" bisik Rasty di telinga Dasta.
Wajah Dasta merona merah, memerah membayangkan jika saja tadi malam mereka melewati malam pertama seperti pengantin lainnya. Malam terindah yang tak akan pernah terlupakan.
Tapi, semua itu hanya akan menjadi mimpi saja yang akan Dasta kubur dalam-dalam. Tadi malam bukan keindahan maupun kenikmatan, melainkan siksaan dan penderitaan yang Dasta alami. Shaka tak hanya sampai di situ saja menyiksanya, setelah puas menjambak dan mencengkeram dagunya, Shaka terus melanjutkan serangkaian siksaan yang membuat Dasta sampai kesusahan berjalan.
Jangan di tanya siksaan apa yang di lakukan Shaka, sebab Dasta tak ingin mengingatnya lagi. Sakit! Perih! Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya yang terluka.
Shaka benar-benar menyiksanya luar dalam tanpa kata ampun, pria itu sama sekali tak berminat menyentuhnya. Bahkan Shaka terkesan jijik melihat Dasta, meludahi Dasta dengan segala umpatan dan cacian maki.
Mata Dasta kembali berkaca-kaca dan hampir saja nyaris menumpahkan air matanya. Cepat-cepat Dasta mengubah ekspresi wajahnya, dan menghapus air mata di pelupuk matanya.
"Hei, kakak ipar. Kau melamun ya?" goda Rasty mencolek dagu Dasta.
Kepala Dasta menggeleng, Rasty menggenggam sebelah telapak tangan Dasta dan menuntunnya membantu Dasta untuk berjalan ke arah meja makan dimana semua orang sudah berkumpul. Tengah menatapnya dengan antusias, wajah Dasta memanas, tentu saja ia tau tatapan-tatapan itu memancarkan sinar kebahagiaan.
Bu Marwa dan suaminya menduga jika sebentar lagi pasti Dasta akan cepat hamil. Melihat dari betapa ganasnya Shaka pada malam pertama saja begini.
Rasty menempatkan Dasta pas di sebelah Shaka, menarik kursi di samping abangnya itu kemudian menyuruh Dasta untuk duduk. Ragu-ragu Dasta duduk, di liriknya Shaka yang sama sekali tak peduli dengan kehadirannya.
Dasta meremas pakaian yang di pakainya di bagian paha, dan hal itu sukses menarik perhatian Shaka. Shaka mendengkus sebal melihat tingkah wanita yang menurutnya sangat memuakkan.
"Aku sudah selesai sarapan," kata Shaka seraya bangkit berdiri setelah mengelap mulutnya dengan tissue.
Shaka sudah bersiap-siap akan pergi, tapi tangan Dasta menahan sebelah tangan besar Shaka. "Tunggu,"
Shaka menoleh dan menatap tajam Dasta, lancang sekali wanita ini, pikir Shaka.
Semua orang menunggu reaksi Dasta selanjutnya, Dasta yang mengerti pun langsung mempercepat maksud tujuannya menahan kepergian Shaka.
Dasta sedikit merunduk mengambil sebelah tangan Shaka, ia bawa ke depan bibirnya kemudian ia kecup dengan sangat pelan punggung tapak tangan Shaka.
Shaka tersentak, seperti ada sengatan listrik ia rasakan saat Dasta mengecup punggung tangannya. Namun dengan cepat ia mengenyahkan rasa aneh yang menjijikkan itu, menarik cepat tangannya kemudian berpamitan kepada keluarganya.
Dasta menatap punggung suaminya yang perlahan semakin menjauh, punggung tegap itu yang seharusnya bisa menjadikan tempat bagi Dasta untuk berkeluh kesah. Tempat bagi Dasta untuk mencurahkan segala isi hati Dasta baik indah maupun buruknya hari-hari yang ia lewati, dengan itu maka Dasta akan merasa nyaman dan lindungi.
Justru sebaliknya, pria itu sendiri yang menjadi sumber kesengsaraan dan penderitaannya.
Bahkan Shaka tak perlu repot-repot meluangkan waktunya untuk mereka setelah pasca menikah. Pria itu lebih memilih bekerja dengan alasan kantor sedang sibuk-sibuknya, dan berjanji akan mengambil cuti untuk bulan madu.
Dasta tidak rugi dengan itu, tentu saja ia sangat bersyukur. Setidaknya, ia bebas saat pria itu bekerja bukan?
Dan Dasta sangat berharap tidak ada cuti maupun bulan madu yang sangat Dasta yakini sebagai siksaan berkepanjangan untuknya.
