Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Past Of Rean

Bab 13 Past Of Rean

"Melihatnya, seperti kembali ke masa lalu. "

- Rean Kainand -

Belum tuntas euforia antara Feya dan Eza, seorang laki-laki tergesa mendatangi keduanya. Ia terengah-engah, napasnya naik turun. Perlu beberapa detik sampai ia bisa mengontrol diri dan berkata pada Eza.

"Ke-ketua OSIS, itu... pak Irdan... dia menyuruhmu datang ke toilet di ujung."

"Kenapa?"

"Itu... Rean." Mendengar nama itu saja pupil mata Eza langsung membesar. "Dia teriak-teriak terus di sana."

Tanpa perlu penjelasan lebih, Eza sempurna melesat bak pelari tercepat sepanjang masa. Ia meninggalkan Feya yang menatap keheranan dan penuh tanda tanya.

"Na-nani ga atta no?" ucapnya dalam hati.

Sama hal nya seperti Eza, Feya ikut berlari di belakang Eza. Telinganya sensitif mendengar nama Rean. Ia merasa harus tahu apa-apa yang terjadi padanya.

Mereka tiba di toilet ujung aula. Terdengar teriakan dari Rean. Menyakitkan, membuat siapapun yang dengar merasa lemas karena kasihan.

Eza sigap menghampiri pak Irdan yang kesusahan menenangkan Rean. Ia meronta-ronta, tubuhnya menggelinjang di lantai.

"Apa yang terjadi, pak?" tanya Eza kemudian.

"Rean kumat lagi," lirih pak Irdan. "Za, lakukan seperti waktu itu, tolong panggil dia, kumohon!"

Dia?

Tak henti Feya bertanya-tanya, tahu-tahu Eza sudah menganggukkan kepala dan lari keluar toilet.

Di luar toilet sudah ramai, berbondong-bondong orang ingin tahu asal muasal teriakan Rean. Untunglah seseorang berinisiatif untuk mencegah keramaian itu sampai ke dalam toilet. Hingga tinggal Rean, pak Irdan dan Feya saja yang berada di dalam.

Feya tidak melakukan apapun, sempurna mematung di dekat pintu. Ini kali pertama ia menyaksikan Rean menggila. Teriakan yang melengking itu berhasil menikam jantung Feya hingga dirinya membeku.

Tak lama kemudian Eza kembali. Di belakangnya turut seorang gadis berambut pirang yang Feya kenal baik. Itu Sanny. Eza membawa Sanny masuk ke toilet, menghampiri Rean.

Awalnya Sanny membelalak, ia tidak menduga Rean akan sekacau sekarang. Ragu-ragu ia melangkah, kakinya terasa berat.

"Sanny, lakukan seperti waktu itu. Bapak mohon!" pak Irdan mengemis.

Sanny terlihat sedang berpikir. Ia menelan ludah, untuk kemudian berjongkok dan mencari wajah Rean.

Rean masih berteriak. Kali ini kerongkongannya kering, urat hijau di pelipis menegang dan air matanya meleleh.

"Rean!" panggil Sanny pelan. "Rean, ini aku!"

Sanny membelai rambut Rean. Terus saja memanggil Rean sampai konsentrasi Rean jatuh padanya.

"Rean, hentikan! Jangan dengar apapun lagi, cukup dengar suaraku. Kau mendengarku Rean?"

Siapapun yang ada di sana hanya mematung. Seperti kesepakatan kecil bahwa Sanny bisa menangani kejadian kali ini.

Rean berhenti menggelinjang, teriakannya pun berangsur-angsur berhenti. Namun gemetarannya tidak bisa hilang. Telinga Rean masih berdenging nyeri.

"Rean... ini aku!"

Entah kenapa air mata Sanny tumpah saat mata Rean beradu pandang dengannya. Lambat laun Rean bisa mengontrol dirinya. Rupanya suara Sanny berperan sebagai obat yang bisa membalikkan semua suara-suara tidak menyenangkan pada Rean.

Rean tersadar, ia berhasil menepis suara-suara yang menyiksa indera pendengarnya.

Kemudian Rean membawa tubuh Sanny masuk ke dalam pelukannya. Pelukan yang erat seolah tidak ingin kehilangan sosoknya.

Sanny diam saja, ia biarkan Rean mencari pundaknya dan menangis di sana.

"Aku rindu suaramu!" bisik Rean tepat di telinga Sanny.

Hati Sanny melunak. Ia balas memeluk Rean, membawa tubuh yang rapuh itu makin ke dalam pelukannya. Dua orang itu menangis bersama. Merasa bersalah karena telah menghukum orang yang salah.

Feya hanya bisa menyaksikan. Ia tidak mengerti apa-apa, semua pikiran yang kiranya masuk akal mengabur ketika Rean mencari tubuh sahabatnya itu.

Sadar akan hal itu, Eza menarik tangan Feya. Dibanding siapapun Eza-lah yang paling mengerti situasi. Pertama ia harus mengamankan Feya terlebih dahulu. Dibawanya Feya ke luar toilet. Eza membelah kerumunan sampai ke tempat yang sepi dan jauh dari hirup pikuk.

Begitu mereka tiba di lapangan belakang sekolah, Eza melepaskan pegangannya. Ia memperhatikan raut wajah Feya yang kusut. Tidak ada senyuman di sana, kejadian tadi telah merenggut keceriaan pada gadis di hadapannya ini.

Eza menarik napas panjang, ia cemas pada Feya yang seperti sekarang. Eza memanggil namanya. Sekedar menyadarkannya dari lamunan yang tak Eza ketahui.

"Feya, kamu baik-baik aja?" cemasnya.

Perlu beberapa detik sampai Feya menjawab Eza. Ia tersenyum dengan terpaksa. Sinar matanya redup, nampak kesedihan dari sana.

"Kaichou..." nada Feya melemah. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Eza menelan ludah, tatapannya berlari kesana kemari. Ia ingin menghindar tapi Feya menangkap tangannya dan terus meminta.

"Kenapa Rean-kun teriak, apa yang terjadi padanya? Dan Sanny-chan... kenapa ia bisa ada di sana?"

Eza menimang-nimang cukup lama. Ia melihat bola mata Feya yang nanar, butuh jawaban.

"Baiklah, akan aku ceritakan." Keputusan Eza sudah bulat. Ia menggenggam tangan Feya. Keringat dinginnya tersalur pada Feya.

"Rean... dia punya kepekaan pendengaran di atas manusia pada umumnya. Dia bisa mendengar hal sekecil apapun dalam radius cukup jauh.

"Dari kecil Rean kesusahan dengan itu. Apalagi saat emosinya mulai naik, telinganya akan berdenging nyeri.

"Dua tahun lalu, Rean berada di titik klimaks emosinya. Ibunya meninggal, ia menggantung diri di ruang tamu, dan naasnya Rean melihat bagaimana ibunya bunuh diri.

"Itu pertama kali Rean kehilangan kontrol. Telinganya jadi sangat peka, dan suara-suara yang ia tangkap jadi semacam pisau yang menusuk-nusuk kepala.

"Kurasa Rean kehilangan kontrolnya lagi kali ini. Entah apa yang membuatnya begitu, tapi sepertinya aku tahu." Eza menelan ludah. Dan melanjutkan kalimatnya.

"Nyanyianmu... suaramu seperti ibunya. Sesaat Rean mungkin teringat insiden bunuh diri itu, sampai ia kehilangan kendali dan kumat lagi."

Feya mengedip tak percaya. Karena itukah Rean tidak menyukainya? Karena suaranya mirip ibunya?

"Terus, apa hubungannya dengan Sanny-chan?"

Eza menarik napas dalam-dalam. Bola mata Feya tidak siap untuk mendengarkan jawaban Eza. Tapi gadis itu menggenggam tangan Eza makin erat. Menunggu dengan perasaan berdebar.

"Bagi Rean, suara yang paling nyaman untuknya adalah suara Sanny," jelas Eza. "Saat telinganya mulai kumat, cuma suara Sanny yang bisa meredakannya." Feya nyaris menangis mendengarnya. Bukan jawaban yang Feya inginkan.

"Apa Sanny-chan tahu tentang itu, kalau suaranya spesial untuk Rean-kun?"

"Ya, mereka pernah pacaran waktu SMP. Lalu putus karena setelah insiden bunuh diri ibunya, Rean harus menjalani terapi di luar negeri."

Perlahan Feya melepas genggaman tangannya pada Eza. Ia mesti menenangkan diri untuk mencerna perkataan Eza. Tidak ada yang masuk ke kepalanya, semuanya terasa kabur.

"Feya, aku udah memperingatkanmu sebelumnya. Jangan menyukai Rean, dia terlalu sulit. "

Feya menggelengkan kepala, lemah.

"Ga apa. Aku cuma kaget karena Rean-kun punya masa lalu yang rumit. Aku ga akan berhenti menyukai Rean-kun."

"Feya..."

"Kaichou..." suara Feya mendesis. "Aku tahu diantara semua orang Kaichou-lah yang paling mencemaskan Rean-kun. Bisakah Kaichou percaya padaku, aku ingin Rean-kun melupakan kesedihannya. Aku mau, akulah orang yang bisa membuat Rean-kun bangkit lagi."

"Kamu enggak akan sanggup..."

"Bisa, karena aku menyukai Rean-kun!"

Eza kehilangan kata-kata. Dalam detik yang sama ia telah kalah sebelum berperang. Ia harus menerima bahwa kekalahannya berasal dari gadis yang disukainya ini. Tidak akan ada celah, gadis ini membangun pertahanan yang kokoh. Tidak ada tempat untuknya, seperti itulah yang Eza tangkap dari caranya menatap.

Bagi Feya, hanya ada Rean.

Hanya dia.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel