Bab 12 Kecewa Berujung Petaka
Bab 12 Kecewa Berujung Petaka
Jashie benar-benar tidak sabar untuk segera masuk ke dalam rumah. Harum masakan Patricia menembus bulu halus di hidungnya. Ia sangat senang sekali ketika pulang di sambut dengan harumnya masakan yang berasal dari dapur.
Tanpa menunggu Aaron, Jashie terus berlari menuju dapur dan menghampiri Patricia yang baru menyelesaikan pekerjaannya.
“Mama,” Peluk Jashie dengan manja pada Patricia yang juga membalas pelukannya dengan penuh kehangatan dan kasih sayang,
“Aku lapar, Ma.” Dengan manjanya, Jashie langsung duduk di kursi meja makan, menghadapi hidangan yang sudah tertata rapi di atas meja.
“Ganti bajumu dulu, Jashie,” ucap Patricia mengelus lembut rambut Jashie.
“Biarkan kami menikmati masakan Mama dulu, ya. Baru setelah itu kami ganti pakaian,” timpal Aaron yang duduk berhadapan dengan Jashie dengan meja sebagai jarak di antara mereka.
“Kalian berdua ini, nakal sekali.” Patricia mengulum senyum menatap pada dua anak lelakinya.
“Apa Papa bisa ikutan?” dari arah pintu Daniel berjalan dengan pasti dan duduk di kursinya.
“Kenapa kalian bertiga sekompak ini?” kekeh Patricia saat melihat kedua puteranya dan suaminya yang saling kompak.
Santapan siang kali ini terasa nikmat, selain makanan yang lezat, kehadiran Daniel saat santap siang yang sangat jarang membuat Jashie maupun Aaron merasa bahagia. Membuat mereka berharap, waktu tidak cepat berlalu, sehingga mereka dapat merasakan kebahagiaan ini cukup lama.
***
Seperti hari-hari biasanya. Jashie dan Aaron selalu berangkat sekolah bersama. Suka cinta saat mentari menyingsing selalu menjadi penawar yang hangat bagi cinta Aaron pada sang adik yang semakin besar.
“Kamu jangan terlalu dekat dengan Briyan, oke!” ujar Aaron memperingati. Aaron sudah seperti sebuah jam alarm bagi Jashie yang selalu memperingatinya untuk selalu berhati-hati dalam hal apapun, termasuk pertemanannya dengan Briyan.
“Iya, Kak.” Jashie selalu menjawab dengan jawaban yang sama,dengan senyuman yang terus terpatri di wajahnya.
Jashie tahu, sang kakak begitu menyayanginya. Selama ini ia tidak pernah membiarkan Jashie bersedih ataupun terluka. Membuat Aaron menjadi Kakak yang posesif bagi Jashie. Namun, di balik sikap posesif itu, Jashie semakin sayang pada Aaron sehingga membuatnya selalu patuh dan mengikuti apa yang dikatakan Aaron padanya.
“Masuk kelas, sana!” titah Aaron lembut, senyuman melingkar di wajahnya.
Jashie masuk ke dalam kelas itu. Aaron senang bias mengantar sang adik hingga kelasnya dengan selamat.
“Hay, Kak Aaron,” sapa Briyan yang baru datang.
“Hay,” balas Aaron kembali berjalan menuju kelasnya dan mengabaikan Briyan yang bersiap ingin mengeluarkan kata-kata manis layaknya sebuah puisi.
Briyan merasa sedikit kecewa di abaikan seperti itu oleh Aaron. Namun, hal itu tidak membuatnya menyerah untuk bisa dekat dengan Aaron.
Di dalam kelas, Briyan menghampiri Jashie. Menyapa Jashie dengan senyum yang terkulum di bibirnya. Briyan duduk di bangku sebelah Jashie. Ia tidak peduli padahal tempat duduknya berada di belakang.
“Kak, Aaron kenapa?” Tanya Briyan.
Jashie menatapnya, “Ada apa dengan Kak Aaron?” Tanya Jashie.
“Tidak apa-apa, sepertinya ia kurang baik keadaannya kali ini,”
“Maksud kamu? Kak Aaron baik-baik saja, sepertinya tadi dia tidak sedang sakit,” Jashie berpikir sendiri, apa yang terjadi pada kakaknya sehingga Briyan berasumsi ada sesuatu yang terjadi pada Aaron.
“Dia terlihat sangat cuek padaku,” ucap Briyan.
Jashie diam. Ia tidak ingin memberikan komentar apapun kali ini. Jashie cukup tahu dengan sikap yang di tunjukkan Aaron pada Briyan.
“Sudah jangan di pikirkan, mungkin dia tidak melihatmu, atau tidak mendengarkanmu, Briyan.” Jashie meyakinkan Briyan.
Agaknya Briyan percaya dengan apa yang dikatakan Jashie. Karena bagaimanapun Jashie tidak pernah memperdayakan ia.
Waktu berlalu begitu cepat. Sudah beberapa mata pelajaran mereka lalui hari ini. Lembar demi lembar kertas telah mereka coret dengan berbagai untaian kalimat atas pertanyaa-pertanyaan dari persoalan yang harus mereka pecahkan.
Tak terasa bel pulang pun berbunyi, seperti biasanya. Semua anak sudah seperti burung yang berada di dalam sangkar, dan kala sangkar itu terbuka, semua terbang berhamburan.
Tak ayal, Jashie juga berjalan di tengah kerumunan. Ia berjalan cepat, tak sabar untuk pulang bersama dengan sang kakak – Aaron. Di sambut hangat dengan makanan Patricia yang super lezat bagi Jashie.
Jashie berdiri di balik jendela kelas Aaron. Mengintip dan mencari-cari keberadaan Aaron. Di dalam sana terlihat seorang guru cantik duduk di kursinya. Sedangkan Aaron tak terlihat d kursinya.
“Jashie!” panggil Aaron.
“Kakak, Kakak dari mana saja?” Tanya Jashie.
“Aku dari toilet. Ehm… Jashie, kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?” Tanya Aaron.
“Kenapa Kak?” Tanya Jashie.
“Kakak masih ada kelas tambahan, sebaiknya kamu pulang saja duluan, ya.” Aaron sebenarnya merasa enggan untuk melepas Jashie yang pulang sendirian. Perasaannya seketika tidak enak jika Jashie harus pulang tanpanya. Namun, ia tidak bisa meminta Jashie untuk menunggunya.
“Tapi, Kak. Aku ingin pulang bersama dengan kakak. Aku akan menunggu Kakak di tempat biasa.”
“Tidak usah, Jashie. Kamu pulang saja duluan, ya.” Mohon Aaron. Jashie merasa Aaron tidak ingin ditunggu kali ini. Mau tidak mau ia pun menyetujui permintaan Aaron.
“Iya, Kak. Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri,” ucap Jashie menyeringai senang. Ia tidak ingin menunjukkan wajahnya yang kecewa.
Aaron terdiam dan menunduk, Jashie paham dengan ekspresi wajah yang ditunjukkan Aaron padanya. Aaron terlihat tak rela membiarkan Jashie pulang sendirian. Namun, Jashie sadar bahwa dirinya adalah seorang anak lelaki yang tangguh, ia tidak ingin di anggap sebagai anak manja.
“Aku pulang dulu, ya, Kak. Aku tunggu Kakak di rumah,” ucap Jashie dengan nada yang sendu.
“Iya, setelah jam tambahan usai, Kakak akan langsung pulang dan menghampirimu,” ucap Aaron.
Jashie sudah berjalan jauh meninggalkan Aaron. Sejak ia sekolah di sekolah yang sama dengan Aaron, ini adalah kali pertama bagi Jashie untuk pulang sendirian. Biasanya Aaron memintanya untuk pulang bersama, jika ia ada jam tambahan ia akan menyogok Jashie dengan makanan dan meminta Jashie untuk menunggu di tempat biasanya.
Jashie memastikan pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa pulang sendiri. Ia bukan seorang yang manja, yang harus selalu ditemani oleh Aaron.
Jashie terus berjalan, keluar dari pintu gerbang sekolah. Siang ini jalanan cukup ramai. Motor dan mobil saling memacu kecepatan mereka saling kejar mengejar. Bunyi klakson mobil dan motor pun sesekali memekakkan telinga.
Jashie melihat kiri dan kanan untuk menyeberang. Ia berusaha dengan sangat hati-hati berada di pinggiran jalan yang ramai akan kuda besi di sana. Berjalan di atas trotoar seakan percuma, karena ia harus berdesakan dengan orang-orang yang juga berjalan di sana.
Jashie sangat hati-hati, meskipun dirinya tengah was-was berada di antara kerumunan mobil. Saat jalanan terasa lengang, Jashie kembali melangkahkan kakinya menyeberang jalan.
Sebuah mobil sport mewah melaju kencang dari arah samping kanan Jashie. Jashie yang tidak menyadari ada mobil mewah yang kencang ke arahnya tak lagi dapat menghindar. Tubuhnya terpelanting ke bahu jalan.
Sepasang mata yang baru saja keluar dari pintu gerbang tanpa sengaja melihat kejadian yang membuatnya terhenyak kaget. Ia berlari ke arah orang yang tertabrak.
“Jashie,” gumamnya. Ia sangat yakin, yang tergeletak, bersimbah darah di atas aspal panas itu adalah Jashie. Jashie yang merupakan teman satu kelasnya dan yang menjadi penghalang Briyan untuk semakin dekat dengan Aaron.
Briyan berbalik meninggalkan tempat yang seketika ramai karena orang yang tengah berkerumun di sana. Melihat keadaan jashie yang tergeletak di atas aspal merah dengan bersimbah darah.
Briyan semakin mempercepat langkah kakinya. Berlari menuju sebuah ruang kelas. Di sana masih ada sang Guru yang masih menerangkan pelajaran di dalam kelas. Sedangkan Aaron mengikuti pelajaran itu dengan penuh khidmat tanpa mengerjapkan matanya sedetikpun.
Bersambung…
