Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Miroceanic (2)

Mandi bukan dengan gayung hampir membuatku kebingungan. Air di sini berbeda. Aku merasa tidak sesegar di rumahku. Aku tidak terbiasa dengan segal kemewahan yang ditawarkan keluarga Trahvensky. Aku melihat tangan kananku yang kutengadahkan ke atas. Di sana, ada sebuah nadi yang menghubungkanku dengan keluarga kaya raya dari Rusia itu.

Ada darah yang mengalir dengan kekuatan iblis. Aku adalah kutukan.

Aku adalah keturunan iblis. Apa namanya bukan iblis jika aku terlahir atas nama perkosaan? Tidak ada cinta?! Aku menertawai diriku sendiri. Aku sadar dari mana otak cemerlangku berasal. Tentu saja turunan lelaki licik itu.

Aku bukan orang bodoh yang akan bunuh diri dengan situasi ini. Aku akan bertahan. Sampai orang itu mendepakku sendiri karena ulahku.

Aku bangkit dari bathub, mengambil handuk putih yang sudah tergantung di tempatnya. Mengeringkan tubuhku yang terlihat lelah. Untuk seorang seusiaku, tubuhku cukup berisi. Efek dari hukuman mencari rumput atau berjalan jauh untuk mengunjungi makam ibuku. Membentuk tubuh atletisku. Ada beberapa goresan di punggung yang aku tahu tidak akan pernah hilang. Hadiah dari Eyang kakung yang aku tahu, aku rindukan sekarang.

Mataku panas, hampir berair. Aku melihat pantulan tubuhku di cermin besar di atas wastafel. Yang sekarang kulihat bukanlah Mataangin Jayalangit, bukan kompas milik kakekku. Tapi, lelaki asing milik Theodore A. Trahvensky. Anak haram, yang paling dicarinya.

Aku membuka kamar yang berisi dengan pakaian. Aku berdengus, kenapa tidak ada satupun kaos milikku yang tempo hari dibawakan mereka? Aku curiga, semua barang-barangku yang katanya akan mereka simpan mungkin berakhir di tong sampah.

Aku menarik napas lagi, teringat akan jadwal bertemu dengan semua keluarga Trahvensky yang katanya tinggal di istananya ini. Agak geli bagaimana sikap seorang keluarga yang harus membuat janji dulu. Apakah ini yang disebut dengan keluarga harmonis, ah, mereka hanya sekumpulan orang idiot yang tinggal dalam satu rumah.

Aku mengambil kemeja lengan pendek berwarna peach. Aku tahu, warna terang akan terlihat kampungan, tapi aku sengaja membuat kesan kampungan agar mereka membenciku. Aku tak ingin melibatkan perasaan untuk orang yang berdiri atas rasa perih yang kuterima.

Suara ketukan membuatku keluar dari ruangan ganti pribadiku. Aku membuka pintu, Aaron tersenyum ia melihat jam tangan hitam yang melingkar di tangan putihnya,

"Sir, sudah waktunya."

Aku menatap tajam ke arahnya, "My game, my rule. Jika kamu memanggil saya Sir, lagi. Saya pastikan kalau saya akan menghilang sebelum kamu sadar." Aku bergaya membersihkan debu dari jasnya yang tampak mahal.

"Apakah ini sebuah ancaman?" dia mengernyit, matanya berubah tajam.

Aku menggeleng, menampilkan senyum yang menyebalkan. "No! Just warning. Peringatan. Tidak sulit mendepak kamu, jika aku mau."

Dia tersenyum, "Anda akan merengek meminta Tuan memecat saya?"

Aku terkekeh, "Tidak, tapi akan kubuat ayah memecatmu."

"Saya terlatih. Gertakan ini tidak akan mempan, Sir."

"Binggo!" aku tersenyum angkuh.

Aku keluar dari kamarku, lalu berjalan menuju lorong, ada anak tangga melingkar untuk turun. Kupikir, sekedar mengerjainya juga tidak apa-apa.

Aku sengaja menjatuhkan sendiri tubuhku. Membuatku berguling-guling di tangga. Kepalaku berulang kali membentur pinggiran tangga kayu ini. Juga sebuah hantaman keras membuatku tersadar bahwa lantai marmer di istana ini asli. Kepalaku terantuk keras.

Sial!

Membuat kepalaku berdenyut-denyut nyeri dan cairan kental berbau karat keluar dari sela rambutku. Aku suka darah, terutama darahku sendiri. Aku tidak perduli dengan lolongan panggilan namaku, atau bunyi gaduh saat orang-orang berteriak meminta tolong.

Aku hanya menikmati mata Aaron yang berkilat terkejut. Juga wajah bingungnya. Aku memang tidak takut mati. Just it!

Seseorang datang menyibak kerumunan. Lelaki itu.

Iblis itu sudah datang, matanya melebar. Menampilkan pupil sewarna milikku. Abu-abu pekat.

"What happen in here?!" suaranya dalam, dingin, dan intimidatif. Bahkan tengkukku saja sampai berdiri.

*Escape Theories*

'Plak!'

"Kamu gak tahu berharganya dia?!"

Tamparan iblis itu tentu bukan hal yang menyakitkan untuk Aaron. Toh ia sudah terlatih dipukul. Jadi aku tidak perlu pasang muka sok prihatin. Salah sendiri siapa yang mengajak ku bermain. Aku diam, puas menertawai tindakan menyebalkanku padanya. Aku hanya butuh dibenci. Karena hanya itulah opsi yang paling masuk akal di keluarga ini.

"Sekali lagi kamu membiarkan dia tergores, kamu yang akan saya pecat. Tidak peduli seberapa berjasanya engkau atau seberapa bagusnya engkau."

"Maaf, Sir. Ini tidak akan terulang." Aaron membungkukkan badannya.

"Good. Sekarang pergilah!" lelaki yang kubenci itu menjentikkan jarinya, "Dan kau, kau harus segera diobati. Pergilah bersama Aaron. Bersihkan lukamu, suruh salah satu perawat mengobatimu. Aku tidak ingin darah tercecer di lantai."

Aku diam, mengekori sekertarisku.

Saat kami sudah cukup jauh aku menarik ujung jasnya, "See, aku bisa menghilang tanpa kamu sadari."

"Anda hanya beruntung. Jika malaikat maut datang lebih cepat, Anda bisa mati."

Aku tertawa, ternyata bertindak menjengkelkan itu menyenangkan. "Aku tidak takut pada kematian. Yang kutakutkan adalah, aku berhenti membenci. Karena aku hidup dari rasa benci Aaron. Maka, bencilah aku. Hahaha.."

Dia diam, meyadari bahwa peringatanku selalu berlaku padanya.

*Escape Theories*

Setelah sejam lamanya aku dijejali dengan petuah, obat dan juga beragam doktrin tentang protokoler Travensky Manor, kepalaku cukup pusing juga muak. Jadi ketika aku dipersilakan menemui seluruh anggota Travensky, yang ada dipikiranku cuma satu. Sedikit bersenang-senang.

Tapi iblis itu tidak membiarkan aku melakukan apa yang kusukai.

Ckk, sialan!

"Miroceanic Trahvensky. Kamu akan memakai nama itu. dan kamu akan bersekolah di Olimpia sama seperti Mike."

Iblis itu melemparkan sebuah map warna krem. Bahkan ketika makan malam belum berjalan setengah jam. Aku sama sekali tidak bertanya. Tapi mataku menyusuri kertas itu dengan perasaan dongkol setengah mati. Iblis itu berbakat merusak apapun, bahkan jika itu keluarganya sendiri.

Hanya orang gila yang memaksa keluarganya menerima anak haram sepertiku.

Atau iblis terkutuk yang aku yakin punya selingkuhan lebih dari sedusin di luar sana.

Sialan!

Akte baru, passport, KTP baru, dan semua tetek bengek baru-baru lainnya.

Tidak ada ekistensi Mataangin Jayalangit. Yang ada hanya Miroceanic Travensky. Aku mengepalkan tangan.

"Tapi Dad---"

Itu bukan suaraku, ada anak bodoh lain yang bisa kumanfaatkan.

"Kamu tidak berhak memberi pendapat, Mike. Dan keputusanku final."potong si Iblis dengan bengis.

"Saya tidak suka." Aku meletakkan gagang sendok. Meletakkannya dengan benar dan menyudahi makan malam yang canggung macam ini.

"Nah, Daddy denger kan?"

Lelaki itu menatapku dengan kening berkerut. Ia tampak kesal, lalu menyingkirkan piringnya dan juga serbet di pangkuannya sekalian. "Kamu, akan tetap menggunakan nama itu, Miro (mairou)" Perintahnya. Terus saja memerintah, dasar iblis!

"Saya sudah punya nama. Mataangin Jayalangit. Dan saya akan menggunakan nama itu."

"Mairou!" lelaki itu bangkit dari kursinya,

"Nama saya, Angin. Dan saya tidak akan menyahut jika Anda memanggil saya dengan nama itu."

"Nah, Daddy lihat kan. Dia, tidak suka dipanggil dengan nama yang Daddy kasih. Jadi kenapa tidak kita sekolahkan saja di tempat lain?"

"Mike.." Anna memberikan tatapan tajam kepada anak lelakinya. Berusaha mengkode supaya anak itu diam.

"Dan Mom, gak usah sok tegar dengan kehadiran anak haram Daddy yang melukai hati Mom juga." Desis Michaelangelo dingin.

"Enough!" Mr. Theodore Trahvensky kalap.

BRAK!

Meja di gebrak, tapi justru Mike yang kesal dan ikut-ikutan berdiri. Seolah menantang kekuasaan ayahnya yang tidak pernah akan ia lampaui.

"See, belum ada setengah jam dia di sini, dan semuanya kacau balau!"

"Shut up your mouth Mike!" hardik lelaki itu sambil menatap tajam ke arah anak lelaki berambut crimson itu.

"Why?!" katanya dengan mata merah karena menahan emosi. Giginya terkatup, ia seolah menahan rasa sakit yang sama sepertiku. Sakit akan kebenaran. "Keluarga kita sudah kacau semenjak Andreea pergi. Dan sampai kapanpun, Dreea yang jadi satu-satunya saudaraku. NOT HIM!" Telunjuknya mengarah kepadaku.

"Michaelangelo!" Mr. Theodore Aldrich Trahvensky menghardik anaknya sendiri. "Kau akan kuhukum!"

"Aku tidak takut, Dad." Matanya yang serupa denganku menatap mata ayahnya.

"Please..." Suara halus dan juga serak yang lain mengintrupsi kami.

Wanita itu terlihat menahan tangis. "Please... jangan membuat ini berantakan.."

Aku melihat gurat kesedihan milik wanita itu. "Mike. Duduklah. Dan Mirou, maafkan ketidaknyamanan ini." Dia berusaha tersenyum meski lemah. "Biar bagaimanapun, kau adalah bagian dari keluarga kami sekarang. Honey, take your seat, please..." ia menatap ke arah suaminya. Memohon si iblis tetap tenang dalam singgasananya.

Lelaki itu duduk, Mike juga. Dan aku justru merasa sedih hanya dengan melihat wanita itu.

Apakah, ibuku juga akan berkata begitu seandainya ia masih hidup?

Aku merasa dadaku sakit.

Joanne Annabella Sanders atau yang kini disebut sebagai Annabel Trahvensky tidak seharusnya bersedih karena kehadiranku. Harusnya aku tetap pada tempatku di kampung. Meski aku tak memiliki siapapun di sana, setidaknya aku tak perlu melihat ada lagi kesedihan.

"Ah, mama punya nama baru yang mungkin kamu akan suka. Kalau kamu merasa tidak nyaman karena dipanggil Mairou, mungkin kamu tidak keberatan kalau mama memenggilmu Sean."

Wanita itu tersenyum, aku tahu hatinya juga sakit.

"Whatever," kataku datar, membiarkan mereka bertindak semaunya. Aku takkan ada gunanya melawan, sekarang. Jadi keputusan paling realistis adalah, aku diam dan mengamati.

Aku mengakui Annabele yang membuatku setidaknya lebih melunak. Aku tidak ingin melukai hati wanita manapun. Aku melihatnya dengan harapan. Jika ibuku masih hidup, maka ia mungkin akan cantik dan bijaksana seperti dia?!

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel