Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2 Miroceanic (1)

Aku menatap lagi bangunan rumah mewah yang akan kutempati. Aku menghela napas sesak. Setelah kematian Eyang, aku tidak tahu kenapa takdir begitu kejam. Kenapa di wasiatnya justru ia meminta aku menghubungi satu nomor yang bahkan mengubah duniaku.

***

Aku cukup sakit hati ketika Eyang kakung begitu membenciku seumur hidupku. Ia, begitu membenci aku yang tidak pernah mirip dengannya. Juga keturunannya yang lain.

Kenapa? Kenapa aku tidak mempunyai kulit kuning langsat milik ibu. Atau rambut hitam legam milik seluruh keluargaku. Atau yang paling kubenci seumur hidupku, aku harus memiliki mata ini. Mata yang menyimpan kebencian dan rasa dingin. Mata yang menyimpan semua kesendirianku.

Ya, mata yang membedakan takdirku dengan cucu Eyang yang lain.

Mata berwarna abu-abu pekat.

Aku menutup mataku perlahan. Melenyapkan ingatan bahwa warna hitam manik mataku berasal dari lensa kontak. Aku meraup semua udara yang mampu ku hela. Berusaha tegar atas semua yang terjadi.

Kenangan tempo dulu meracuniku, seperti udara yang merasuki tubuhku. Begitu mencekam, masuk melalui pembuluh darah, terpompa ke jantung dan menyebar ke seluruh sel tubuhku.

*Escape Theories*

Aku lahir di kota kecil bernama Pujon. Kota kabupaten yang menghubungkan antara Kota Batu dan juga Kabupaten Blitar. Kota dengan hawa sejuk dan merupakan penghasil pertanian. Seumur hidupku kuhabiskan dengan mengabdi kepada seseorang yang merawat sekaligus membenciku. Eyang kakung.

Kata Eyang, aku hanya anak si Rahwana. Orang yang menghancurkan keluarganya, orang yang merampas ibu dari segala keindahan dunia. Yang kelak mewariskan aku ke dalam rahim anak tercintanya. Lalu aku akan membunuh ibu dengan kelahiranku.

Lucu, meski ia begitu membenciku hingga ke sumsum tulang. Ia masih merawatku bahkan ketika ibu mati karena melahirkan aku.

Atau, ia memang ingin meyiksaku setiap hari seperti yang telah kujalani selama delapan belas tahun seperti ini.

'CTASH! CTASH! CTASH!'

Aku merasakan perih di punggungku. Lelaki tua itu begitu marah karena nilai ujianku turun. Juga karena aku ketahuan membolos.

"Arepe dadi opo kowe?!" (*mau jadi apa kamu?)

"Wis rumongso pinter mergane utekmu iso minteri liyane?!" (*sudah merasa pintar karena otakmu bisa menipu orang lain?!)

Aku diam, menikmati kebencianku padanya seperti pria tua itu membenciku.

"Sampun Ndoro. Den Mas, meniko sampun kapok." (*Sudah Tuan. Tuan muda sudah kapok.)

Mbok Yem, memohonkan ampun untukku karena sudah melihat punggunggku yang berdarah karena cambukan rotan miliknya.

'CTASH!'

Satu lagi mampir di punggungku. Aku hanya tersenyum sinis. Pria tua itu, hanya tahu bagaimana menyiksaku. Kami akan memiliki kebencian yang sama. Kebencian yang menjadi semangat kami untuk hidup.

Dia akan memukulku lagi ketika Mbok Yem dengan isakannya mengeluarkan kalimat bodoh yang membuatku marasa sakit hati. "Den Mas, sowan datheng sareane Den Ayu Candrawati." (*Tuan muda, mengunjungi makam Nona Candrawati.)

Tangannya berhenti di udara.

Waktu membeku. Aku benci menjadi lemah di depannya, sama seperti ia benci terlihat lemah di depanku.

Aku merasa mataku panas dan berair. Sialan Mbok Yem! Kenapa ia bicara seperti itu, ha?! Seumur hidup aku ingin kami saling membenci. Aku tidak ingin ia mengasihaniku. Aku tidak ingin dia meyerah membenciku dan mengirimku kepadanya!

Dia, leleki tua yang kusebut sebagai Eyang kakung terhuyung. Terduduk di kursi goyangnyayang terbuat dari rotan. Memejamkan mata seolah Mbok Yem mengeluarkan kata keramat yang tidak boleh di sebut. Seperti seorang murid Hogsward yang meyebut Lord Voldemort terang-terangan.

Ratih Galuh Chandrawati.

Ibuku.

*Escape Theories*

Aku mengerjap, tersadar dari lamunan.

"Ini kamar Anda.." Seseorang pria yang berumur awal tiga puluhan membukakan pintu kamar mewah itu dengan sopan.

Aku mengangguk, mataku menelisik dan menaksir berapa kekayaan orang yang telah menjadi Rahwana untuk keluargaku. Aku percaya, segala kemewahan ini tak kan pernah mampir dalam mimpiku sekalipun.

Tv curve flat dengan ukuran jumbo, dengan sebuah sofa merah yang terlihat empuk. Karpet bulu tebal yang bahkan sayang sekali jika sekedar diinjak. Mataku lalu menoleh untuk mendapati sebuah meja belajar lengkap dengan buku juga laptop. Kamar ber-AC, dan Aaron, (pria yang sedang berada di kamar ini, aku melihat tag-name di dadanya) mengarahkan remot ke arah kelambu beludru lebar di salah satu dinding yang baru kusadari jika tirai itu melapisi sebuah jendela kaca besar.

Tapi aku merasa terasing dalam segala tetek bengek kemewahan futuristik ini. Lantai kayu, dan dinding kaca yang membuatku hampir bilang kalau pemandangan taman mini golf yang berada di luar sana sangat amazing.

Tapi aku menahan semua hal yang sudah berada di kerongkonganku dengan diam. Memuji apapun di dalam istana ini hanya melemahkan aku.

"Saya Aa-"

"Aaron Weitz, Aku tahu." Jawabku dingin.

Dia tersenyum, "Bagaimana Anda tahu jika saya belum memperkenalkan diri?"

"Ada name tag di atas sakumu. Dan aku tidak bodoh."

Dia tersenyum bangga, lalu melepas name tag yang nangkring di dadanya. "Saya terkesan, Anda cukup memperhatikan saya. Padahal dari tadi Anda seperti memperlihatkan permusuhan."

"Aku hanya tidak suka di sini." Jawabku jujur.

"Sir, apakah Anda tidak sebaiknya membersihkan diri? Ada pertemuan keluarga jam setengah tujuh."

"Kau bisa memanggilku Angin." Aku risih mendengar kata Sir, sumpah, aku tidak setua itu!

Dia tersenyum lagi, "Tidak. Tuan akan marah jika saya bertindak tidak sopan. Tuan Miroceanic adalah junjungan pribadi saya. Dan protokoler menga-"

"Namaku bukan Mairou!" aku berdesis. Enggan mengakui jika nama asliku begitu menyakiti hatiku.

"Miroseanic Trahvensky, itu yang Tuan besar katakan pada saya."

"Namaku Mataangin Jayalangit." Tegasku.

Dia diam, lalu membuka salah satu pintu di samping meja belajarku. Dan aku hampir menganga jika engsel mulutku lebih mematuhi apa yang kuhihat, untung saja semua sarafku masih mematuhi otakku.

Ada kamar lain yang lebih kecil. Aaron bilang itu adalah walk in closet milikku. Nyonya Anna (ibu tiriku, jika kalian tak risih dengan kenyataan itu) yang memilihkan segala perlengkapan itu. ia yang men-design kamar ini. Ia bahkan yang meminta seseorang meletakkan sebuah gitar akustik (yang mirip punyaku di rumah Pujon) di sebelah ranjang.

Di samping walk in closset ada sebuah kamar mandi mewah ala bintang lima. Lengkap dengan shower dan bathub. Benar-benar boros. Aku tidak menyukai semua hiperbola di kamar ini. Seolah aku sengaja diejek, bahwa aku tidak seharusnya di sini.

Tapi jalan melarikan diri yang paling aman adalah, lelaki itu mendepakku sendiri. Bukan aku melarikan diri yang berakhir sia-sia. Kekuatan pria itu tidak sebanding denganku. Aku harus memiliki sesuatu sebelum dia menyadarinya.

Aku menghela napas lagi.

"Mulai hari ini, saya adalah sekertaris Anda." Aaron tersenyum, lalu meninggalkan aku dengan kemewahan yang membuatku mual.

*Escape Theories*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel