3
Abdi baru saja sampai di kantornya kembali setelah ia merasa gagal mencoba meluluhkan hati wanita yang tetap ia cintai. Ada penyesalan mengapa dulu dengan mudah ia mempercayai kisah Lanang dan Redanti dari ibunya, juga ketololannya mengiyakan saja keinginan Redanti untuk berpisah, semua terasa terlambat sudah tapi menatap lagi foto pernikahannya dengan Redanti membuat semangatnya kembali hidup. Ia raih foto penuh kenangan itu, ia usap wajah cantik Redanti dalam balutan baju pengantin nan menawan membuat senyumnya timbul dan matanya berkaca-kaca.
"Pengakuan cintamu tadi membuat aku ingin kembali meraihmu, apapun akan aku lakukan, meski kau mengatakan tak ingin kita kembali."
"Maaas iku jenenge rai gedek (itu namanya muka tembok)."
Reflek Abdi menoleh dan wajahnya berubah marah seketika. Jika tak ingat ini kantor rasanya ingin sekali ia memukul kepala sepupunya yang lancang itu.
"Kalo nggak ingat kamu sepupuku yang kerjaannya bagus sebagai sekretarisku aku pecat kamu, keluar Net." Abdi mengusir Neta yang tiba-tiba masuk dan menimpali apa yang ia gumamkan.
"Hmmmm ... nyesel to wes tak kandani biyen kae, jik gak percoyo wae, percoyo bude Ratmi dadine ajur tenan (hmmm menyesal kan, sudah aku bilangin dulu, masih aja nggak percaya, percaya sama Bude Ratmi, jadinya berantakan)." Neta masih saja melanjutkan ocehannya.
"Heh sontoloyo, jelas aku lebih percaya ibuku sendiri dari pada kamu yang nyinyir gak karu-karuan," bentak Abdi.
"Leh, tapi aku loh gak tau bohong to Mas, mulutku memang lambe turah tapi sorry yeah no bohong kaleng-kaleng."
"Iyaaa tapi ember-ember."
Neta tertawa keras mendengar ucapan sepupunya, ia menyerahkan dokumen yang baru saja ia kerjakan.
"Nih dah selesai punya mantan istrimu yang cantik jelita tiada banding, tiada tanding."
"Iya iyaaa pergi sanaaa, rame aja, kalo bukan karena kerjaanmu yang cepet beres dan kerjaan semua gak pake lelet sudah aku pecat kamu."
"Leh piye to Mas, nggoleko sing koyo aku gak kiro nemu (lah gimana sih Mas, cari yang kayak aku gak akan Nemu)." Neta kembali terkekeh sambil berjalan ke arah pintu.
"Iyaaa gila soalnya, makanya gak kan ada duanya." Kembali tawa Neta terdengar di balik pintu. Abdi melihat semua dokumen yang diperlukan telah siap. Dan akan menyelesaikan proses hukum yang dialami oleh butik mantan istrinya.
.
.
.
Keesokan harinya ...
"Alhamdulillah, makasih ya Ca, akhirnya selesai sudah baju pengantin adikku, aku yakin ia akan semakin cantik." Lanang bangkit dan mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman, Lanang menuju pintu dan sekali lagi ia menoleh sambil tersenyum pada Redanti. Bersamaan dengan itu tiba-tiba saja Neta masuk hingga tanpa sengaja membentur Lanang.
"Eh maaf."
"Nggak papa."
"Eeeh Netaaa, masuk yuk, bai Mas Lanang."
"Ya Ca, Bai."
Redanti meraih tangan Neta dan mengajaknya masuk, mereka duduk berhadapan, Neta menatap wajah cantik mantan istri sepupunya. Neta semakin mengutuki sepupunya yang dengan tolol melepaskan wanita sabar, cantik dan ulet di depannya.
"Aku senang akhirnya kamu yang ke sini, aku sejujurnya tidak suka jika sepupumu yang ke sini." Ucapan Redanti membuat Neta tersenyum.
"Alah Mbak takut jatuh cinta lagi sama kang Masku yang ganteng to?"
"Aku masih mencintainya, tapi tidak untuk kembali padanya." Senyum Neta seketika hilang.
"Lah Mbak ini aneh, katanya cinta tapi kok gak mau kembali, ada yang lain? Apa yang tadi itu?"
"Bukaaan, yang tadi kan laki-laki yang diisukan menjalin kasih sama aku sampe sepupumu percaya aku selingkuh? Nah makanya aku enggan kembali meski masih mencintainya, ia tak cukup mempercayai aku sampe percaya ada omongan orang lain." Redanti yang sabar terlihat mulai menahan marah.
"Bukan begitu Mbak, kan yang bilang ke Mas Abdi itu ibunya, pikiran Mas Abdi kan kayaknya gak mungkin ibunya bohong, iya kan?"
"Kamu membela karena budemu kan?"
"Tidaaak aku hanya memposisikan seandainya aku yang jadi Mas Abdi, tapi ya Mas Abdi salah juga sih ia langsung saja percaya tanpa ada bukti yang jelas."
"Makanya, eh iya, kamu ke sini kan untuk kasus aku kan?"
"Iya, ini baca dulu, ada beberapa yang sudah kami revisi berkenaan dengan tuntutan Mbak." Neta menyerahkan map berwarna coklat dan Redanti mulai membaca satu persatu.
"Ok."
"Sebenarnya Mas Abdi yang mau antar itu ke sini, tapi tiba-tiba dia sakit," ujar Neta, wajah Redanti seketika berubah, ia terlihat khawatir.
"Penyakit maagnya kambuh?"tanyanya dan Neta mengangguk.
"Sejak dulu dia tetap bandel, kerja aja gak ingat makan, udah minum obat dia Net?"
"Sudah Mbak tapi kan gak bisa langsung sembuh kalo kadung sakit kan jadi gak bisa ngapa-ngapain dia."
"Dia sekarang sama siapa?" tanya Redanti lagi.
"Ya sendiri Mbak, kan sudah meninggal semua orang tua Mas Abdi."
"Lah trus gimana kalo dia sakit kayak sekarang? Apa nggak ada pembantu atau siapa di sana?" wajah Redanti semakin khawatir, senang rasanya Neta berhasil membuat Redanti khawatir, ia berharap Redanti mau menjenguk sepupunya.
"Ada tapi kan nggak bisa ngapa-ngapain juga, Mas Abdi yang ngapa-ngapain sendiri."
"Ya kamu lah Net ke sana kan kamu sepupunya."
"Yah nggak enaklah Mbak, biarin aja dia sakit sendiri."
"Apa aku ke sana ya Net? Tapi temenin aku, kami dah pisah jadi gak enak berdua di sana, mana ga ada orang lain lagi kan, mau ya Net," pinta Redanti.
"Terserah Mbak deh."
"Biasanya dia kalo sakit selama kami pisah gimana Net?" Redanti terlihat mulai berkemas.
"Ya biasanya masuk ke klinik, paling nggak kan ada perawat yang urus."
"Kok sekarang gak ke klinik?"
"Duh mbak ini niat mau jenguk nggak sih, kok tanya Mulu." Neta menahan tawa karena wajah Redanti yang cemas tapi masih saja bertanya.
"Tapiii ... aku jadi nggak enak Net kalo ikut kan kayak ngasi harapan ke dia karena kemarin waktu dia ke sini aku sudah bilang, aku memang masih mencintainya tapi nggak untuk kembali sama dia." Neta mendesah kecewa.
"Trus gimana dong Mbak?"
"Biar Mbak doain dari sini aja semoga cepet sembuh, nanti biar aku ngirim sesuatu ke dia, aku takut Net, takut tergoda lagi untuk bersama Masmu, rasanya aku masih belum bisa melupakan bagaimana dengan mudah dia nggak percaya aku."
"Kan udah lama Mbak, udah bertahun-tahun berlalu, dan kalian ternyata masih juga belum dapat pasangan artinya kan kalian belum bisa saling melupakan, kini kalian dipertemukan lagi, artinya bisa jadi kalian memang jodoh hanya caranya yang rumit." Redanti menggeleng dengan lemah.
"Nggak Net, aku nggak akan kembali, dia memang laki-laki yang sangat aku cintai tapi dia juga laki-laki yang mampu membuat aku terpuruk ke jurang kesakitan, aku jadi nggak percaya semua laki-laki, ternyata cinta tak mampu membuat Masmu mempercayai aku bahkan dengan mudah menuduh aku berbagi hati tanpa bukti, sekali lagi salam aja deh semoga lekas sembuh."
Neta menghela napas, usahanya Gagal sudah tapi ia yakin masih ada cara lain agar wanita cantik di depannya luluh pada sepupunya, tidak berhasil kali ini, ia yakin akan ada hari yang lain.
.
.
.
Abdi bergerak malas di kasurnya, perutnya masih terasa perih, pekerjaan yang banyak dan pikirannya tersita dengan sosok Redanti membuat dirinya malas menyentuh makanan hingga berujung penyakit lamanya kambuh lagi. Saat berhasil duduk tiba-tiba saja Neta masuk.
"Biasa ini, gak salam gak apa main nyelonong aja." Suara ketus Abdi membuat Neta terkekeh sambil menyerahkan box berisi kue.
"Nih makan, kue enak itu tau."
"Gak minat, males." Abdi kembali merebahkan badannya.
"Lah ya wes, aku bawa pulang, itu tadi aku sama Mbak Redanti yang ke toko, dia yang milih itu."
Seketika Abdi bangun dan melupakan perutnya yang masih perih. Ia buka boks kue lalu mengambil satu, ia makan dengan penuh perasaan sambil memejamkan mata.
"Heleh ojo lebai lah Mas."
"Biarin, aku mencoba meresapi."
"Heleh heleeeh meskipun mereskebo ya gak akan sama, coba dia ada di depan Mas dan ngerawat Mas, kan lain rasanya."
Abdi membuka matanya dan menatap Neta dengan tatapan memelas.
"Kok nggak kamu ajak sih, bilang kalo aku sakit parah."
"Yeee nyuruh aku bikin dosa, sudah aku ajak, awalnya mau, tapi dia mikir lagi takut Mas berharap banyak dan ya nggak jadi ke sini."
"Kamu gak berusaha Net, percuma aku bayar kamu mahal jadi sekretaris aku kalo kamu nggak bisa ngajak dia ke sini."
"Leh apa hubungannya kerjaanku sama menyatukan kalian lagi, salah Mas sendiri, dulu aja dia disia-siakan sekarang merengek-rengek, rasain, dia beneran nggak mau ketemu Mas lagi." Abdi menghentikan kunyahannya, ia letakkan lagi kue yang sedang ia makan.
"Iya kah? Dia bilang apa?"
"Sebesar apapun cintanya sama Mas, dia nggak akan pernah kembali lagi."
Bahu Abdi merosot, perih di perut dan hatinya menjadi satu, ia tak bisa membedakan lagi lebih perih yang mana karena sekujur tubuhnya jadi semakin lemah dan lunglai.
"Leh ... leeeeh ... Maaaaas .. Maaas laaaah pingsan ... "
