Lapang Dada
Mas Yuda benar–benar mengusirku keluar tanpa uang sepeserpun dan ponselku juga tertinggal di rumahnya. Aku ingat meletakkan tasku saat ingin membuka dus kue di dapur dan aku nggak sempat mengambilnya saat keluar rumah dengan kondisi seperti semalaman.
Aku sudah sangat syok dan nggak bisa berpikir apapun. Pikiranku kosong dan semua itu karena mas Yuda dan Rania si penggoda suami orang. Kali ini aku nggak boleh lemah dan berpikir seperti ini, kalau terus seperti ini bagaimana aku melanjutkan hidupku.
Aku harus secepatnya kembali normal, tapi aku juga nggak tahu harus ngapain. Selama ini aku hanya ngerti masak, mencuci baju dan beres—beres rumah. Keluar rumah semenjak menikah dengan mas Yuda sama sekali nggak pernah aku lakukan karena baktiku terhadap suami. Aku hanya ingin menjadi istri baik baik di rumah yang melayani suami dengan benar.
Bergegas masuk kamar mandi adalah hal yang harus aku lakukan. Aku harus bangkit dan berupaya semaksimal mungkin untuk kehidupan baru tanpa adanya mas Yuda. Aku pasti bisa melakukannya, tekad ku benar—benar sudah bulat.
“Aku harus mencari kerja,” kataku pelan sambil mengunyah makanan yang sudah dibuatkan oleh Donna, “Tapi, aku hanya lulusan sekolah menengah dengan umur juga statusku seperti saat ini. Dimana aku harus mencari pekerjaan? Apa aku tanya Donna? Emm, tapi aku udah terlalu merepotkan dia, dia bahkan nggak banyak tanya apapun,” kataku sedikit terusik dan benar-benar nggak menyangka kalau Donna hadir diwaktu yang tepat.
Aku nggak nyangka kalau Donna akan mengulurkan tangannya untuk membantuku. Dia bahkan bukan teman akrabku. Teman akrab? Hmm, rasanya aku benar-benar nggak punya teman akrab. Semua aku jalani sendiri setelah menikah dengan mas Yuda.
“Ah masa bodo, pokoknya aku harus coba dulu. Aku sebaiknya berkeliling dulu mencari pekerjaan. Siapa tahu ada restoran atau tempat apapun yang memerlukan tenagaku. Pokoknya aku harus dapat kerjaan dulu, anggap saja ini berkah kebebasanku dari mas Yuda,” kataku dengan tatapan berbinar, tapi sedikit meredup saat mengakhiri kata dengan mas Yuda.
“Aku ingat perkataan mas Yuda semalam akan mengurus surat perceraian oleh pengacaranya. Hari ini aku harus bertemu mas Yuda. Aku harus ke kantornya karena mas Yuda sudah mengatur jadwal untukku. Tapi, aku nggak tahu harus jam berapa ke kantor mas Yuda karena ponselku masih di rumahnya,” batinku terus mengoceh.
Aku mempercepat makanku. Ini memang bukan pertama kalinya aku ke kantor mas Yuda. Dia pernah beberapa kali membawaku untuk urusan kantor yang harus menghadirkan istrinya seperti makan siang dengan klien mas Yuda.
Aku nggak mau membuang waktu juga. Meski aku nggak menginginkan ini semua, tapi nasi sudah menjadi bubur, aku juga nggak mungkin menarik juga menerima perselingkuhan mas Yuda dengan Rania. Hubunganku dengan mas Yuda benar—benar akan berakhir setelah aku ke kantornya sekarang.
Aku yakin, mas Yuda sudah mengurus semua. Dia bukan tipikal laki-laki yang menunda pekerjaan. Dia akan mengambil gerakan cepat dalam hal apapun dengan apa yang sudah diputuskan.
***
Aku baru saja turun dari taksi. Kakiku sedikit bergetar, kali ini aku datang ke kantor mas Yuda untuk menyelesaikan urusan yang bukan keinginanku. Aku harus menerima semua dengan lapang, meskipun aku nggak tahu apa yang terjadi.
Aku melirik jam besar saat mendekati meja resepsionis. Tepat pukul 11 siang.
“Selamat siang, Bu Amel,” sapa resepsionis yang sudah mengenal aku sebagai istri mas Yuda.
“Bapak ada di ruangannya kan? Tadi dia sudah telepon, katanya bisa langsung ke ruangan,” kataku bersikap sewajarnya, aku nggak mau menunjukkan wajah terluka atau sedihku.
“Emmmm, a–ada, Bu, ta–pi …,” aku benar-benar bisa melihat ekspresi terkejutnya, aku sangat yakin kalau ada wanita penggoda suamiku disana.
“Oke, makasih, saya kesana dulu ya,” nggak perlu lagi mendengar penjelasan resepsionis itu, aku melangkah cepat menuju lorong dimana ruangan kerja mas Yuda.
Aku menarik napasku dalam—dalam karena ruangan mas Yuda ada di ujung lorong dan nggak ada siapapun yang boleh masuk kecuali dia yang mengizinkan. Ruangan mas Yuda ada di lantai 30.
Sepertinya ruangan mas Yuda memang sengaja nggak dikunci. Jadi, itu sudah dapat dipastikan adalah rencananya agar aku bisa melihat lagi apa yang sedang mas Yuda dan wanita penggoda suami orang itu lakukan di ruangannya.
“Ahh ahh, mas enak banget mas ahh ahh, jilat dan hisap lebih dalam lagi Mas ahhhh ummm,” tubuhku menggigil kembali saat mendengar suara desahan panas Rania.
Meski tanganku bergetar, aku tetap harus menyelesaikan semua. Aku harus masuk ke ruangan itu, meski neraka sudah menyambutku. Aku buka perlahan dan aku benar-benar melihat Rania sedang duduk di atas meja mas Yuda, kedua kakinya terbuka lebar di atas meja, lalu kepala mas Yuda sedang bermain di belahan bibir bawah milik Rania.
Aku bahkan melihat sepatu juga kain penghalang bibir bawah nya yang dilempar sembarangan. Juga aku melihat Rania sedang meremas kedua benda kenyalnya dengan penuh gairah, matanya sayu lalu ketika melihat aku datang, dia menarik bibirnya seakan mengejekku.
“Ah Rania ini benar-benar lezat dan enak, aku benar-benar nggak bosan menyantapnya. Kamu benar-benar is the best,” kata mas Yuda memuji belahan bibir bawah Rania. Jujur, belahan bibir bawahku pun ikut berkedut saat mendengar mas Yuda mengatakan hal itu.
Mas Yuda nggak pernah melakukan itu padaku. Kami hanya akan langsung melakukan tanpa ada pemanasan. Bahkan saat melakukannya denganku mas Yuda seakan terburu-buru. Menyadari kedatanganku Mas Yuda menjilati ujung bibirnya yang basah oleh cairan yang dikeluarkan oleh belahan bibir bawah Rania.
“Wow, kamu sudah datang Amel. Untung aja kamu datang lebih dulu sebelum aku rapat,” ucap mas Yuda benar benar santai dan nggak memperdulikan perasaanku. Entah semenjak kapan mas Yuda berubah seperti itu.
Mas Yuda tersenyum sinis dan meraih map yang nggak jauh dari tubuh Rania. Juga aku melihat tasku ada disana.
“Ini barangmu yang tertinggal di rumah dan tanda tangani dengan cepat. Setelah kamu tanda tangan, aku pastikan memberikan apa yang sudah aku janjikan,” kata mas Yuda dan melemparkan kembali ke kakiku.
Aku mengepalkan tanganku. Benar-benar nggak percaya kalau mas Yuda sudah seperti itu. Kasar dan dingin terhadapku. Semua ini benar-benar nggak pernah ada dalam bayangku. Penghinaan seperti itu nggak pernah kubayangkan akan terjadi di hidupku.
“Tarik napas Amel, buang dan tenanglah. Ini akan baik-baik saja. Kamu tanda tangan dan segera keluar dari ruangan ini,” kataku dalam hati, aku harus bisa mengontrol hatiku dan nggak boleh kelihatan lemah di hadapannya.
Meski jiwaku meronta dan ingin berteriak. Aku nggak memiliki bukti apapun. Yang mas Yuda tahu, aku bersalah karena berselingkuh dengan laki-laki lain dan hasil medis yang menyatakan aku mandul adalah hal yang harus aku terima dengan lapang dada.
