7. Terlalu sesak
"Ke sini, Pak Er. Mereka sudah menunggu kita." Jimmy menunjukkan jalan menuju ruang pertemuannya dengan klien.
Erlangga dan Jimmy terus berjalan dengan sedikit tergesa karena sudah telat akibat kena macet. Saat mereka tengah terburu-buru, handphone Erlangga berdering. Erlangga melihat layar itu dengan sedikit malas saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Jim, masuk duluan ya. Saya angkat telpon dulu."
Erlangga mencari tempat untuk mengangkat telponnya, sedangkan Jimmy masuk duluan. Erlangga sangat malas sebenarnya jika harus angkat telpon dari sang Papa. Karena yang di tanyain sangatlah yang tidak penting. Hanya saja Erlangga tak ingin mengecewakan papanya seperti sebelum-sebelumnya di mana Yudistira merajuk karena telponnya tak di angkat.
Setelah selesai berbasa basi dengan Yudistira, Erlangga masuk ke ruangan orang yang sudah menunggunya. "Maaf, saya barusan ada urusan sedikit," ucapnya saat memasuki ruangan itu.
"Oh iya tidak apa-apa, Pak Er."
Erlangga pun duduk di samping asistennya. Lalu menatap kedua orang yang sudah menunggunya itu. Betapa terkejutnya saat siapa yang saat ini Erlangga temui. Tidak hanya Erlangga, melainkan gadis di sembrang tempat duduknya juga sangat terkejut.
Deg!
'Kak Erlangga? Ya Allah, kenapa aku harus bertemu lagi dengannya?' gumam Zahra dalam hatinya.
'Zahra? Khanza Azzahra? Gadis yang selalu aku rindukan?' lirih Erlangga dalam hatinya pula.
Erlangga dan Zahra saling menatap. Mata mereka beradu mendalami apa yang mereka ingin tanyakan pada perasaan masing-masing. Namun, pandang-memandang itu tak berlangsung lama. Karena Andi menyadarkan mereka berdua.
"Pak Er, sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena Anda mau bertemu dengan saya. Juga terima kasih karena Anda mau bekerja sama dengan perusahaan kecil seperti perusahaan saya," ujar Andi sangat senang dengan senyum merekah.
Erlangga masih menatap Zahra yang kini menundukkan wajahnya. Zahra sudah memutuskan untuk melupakan Erlangga karena yakin jika Erlangga sudah tak punya perasaan lagi padanya. Andi yang melihat sedikit tak suka pada pandangan Erlangga yang terus menatap calon inatrinya pun menyadarkan Erlangga.
"Pak Er ... ini kenalkan calon istri saya, Khanza Az-Zahra." Andi menoleh pada Zahra yang sudah mengangkat wajahnya dan menatap Andi.
Erlangga tersadar akan kesalahannya. "Ah iya, maaf bagaimana tadi, Pak Andi?"
"He he, Bapak tidak mendengar saya karena Bapak terus saja memandang calon istri saya," kata Andi menyindir. "Apa kalian sudah saling kenal?" Andi menoleh pada Zahra lalu pada Erlangga kembali.
"Tidak, Kak. Kita baru bertemu sekarang," pungkas Zahra cepat.
Rahang Erlangga mengeras tangannya mengepal erat. Walau mungkin Zahra dan Jimmy tak mengerti dengan reaksi dari Erlangga. Akan tetapi, tidak dengan Andi yang merasa ada yang di sembunyikan oleh Erlangga. Andi ingin sekali mengoreknya, tetapi Andi juga tak ingin terlalu buru-buru.
'Apa kamu benar-benar sudah melupakan aku, Ra? Apa sudah tak ada lagi cinta di hatimu untukku, Ra? Tapi kenapa, kenapa Zahra?'
Hati Erlangga begitu sakit saat Zahra mengatakan jika mereka tak pernah saling kenal. Erlangga semakin yakin jika Zahra memang sudah bahagia dengan pria pilihan ayahnya. Erlangga menarik napasnya berusaha menetralkan emosi dan gejolak dalam hatinya.
"Tidak, Pak Andi. Saya minta maaf karena saya pikir dia adalah wanita yang pernah saya kenal. Tapi ternyata bukan," ucap Erlangga berbohong.
Erlangga berusaha untuk tidak meledakkan emosi saat pertemuan itu terjadi. Erlangga benar-benar kecewa karna Zahra ternyata sudah melupakannya. Padahal Zahra sendiri saat ini mati-matian menahan gejolak dan amarahnya pada Erlangga.
Zahra sangat marah pada dirinya karena harus terus merasa sakit saat Erlangga tak mengenalnya. Suasana jadi begitu canggung dan mencekam antara Erlangga dan Zahra. Namun, untuknya Jimmy asisten Erlangga mencairkan suasana itu.
"Jadi bagaimana Pak Er?"
Erlangga tersadar dan menoleh pasa Jimmy yang menunggu jawabannya. "Terima kerja samanya dangan kita," ucap Erlangga, lalu menoleh pada Andi. "Saya terima kerja sama ini, untuk kelanjutannya Anda bisa menghubungi asisten saya. Saya pergi dulu.' Erlangga beranjak meninggalkan kursinya dengan perasaan hancur.
Bagaimana dirinya sangat menjaga cinta untuk Zahra. Namun, ternyata Zahra malah sudah melupakannya. Melupakan semua kenangan suka cita saya bersama dulu. Erlangga hanya mengepalkan tangannya agar sedikit mengurangi amarahnya.
'Ra, apa kamu benar-benar sudah melupakan aku, Ra?' batin Erlangga sambil memejamkan matanya. 'Ini sakit sekali, Ra,' Erlangga terus mengepal dan meremas tangannya menahan amarah.
