Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab.3. Akad Nikah

Beberapa hari kemudian, segalanya sudah dipersiapkan seperti undangan, gedung, MUA terbaik, event organizer pengantin, gaun pengantin tanpa terkecuali diurus oleh Bu Arsita dan Pak Adiguna kedua orang tuanya Shabir Rizkan Adiguna sedangkan Kia tak direpotkan sedikitpun.

Hari ini Kia dan dan Shabir janjian akan melakukan foto prewedding, Kia berdandan cantik di dalam kamarnya sambil menunggu Shabir datang menjemputnya, Inara berjalan masuk ke dalam kamar kakak pertamanya itu.

“Kakak cantik juga memakai gaun yang mas Shabir berikan, aku doain semoga pernikahannya nggak batal.” Ucapnya Inara penuh arti.

Balasnya Kia dengan tenan, sabar dan bijaksana.

Inara hendak meninggalkan kamar paling sederhana di rumah itu tapi sebelum melangkah jauh kembali berkata,” apa cucian piring sama pakaian kerja kami sudah kakak cuci? Jangan sekali-kali keluar rumah tanpa mengerjakan pekerjaan paling wajib kakak.”

Kia kembali berbicara sesuai dengan karakternya kia.

Berselang beberapa menit kemudian, Kia sesekali mengecek jam di ponselnya karena janjinya Shabir seharusnya sejam yang lalu datang menjemputnya,tapi hingga hampir dua jam dia belum datang menjemputnya.

“Ya Allah,apa yang terjadi kepada Mas Shabir sudah aku chat tapi cuma centang satu aku telpon pun nggak nyambung,” gumamnya.

Inara dan Bu Tia saling pandang dari balik jendela ruang tamunya yang melihat Kia mondar mandir gelisah menunggu kedatangan Shabir.

Hingga beberapa menit kemudian barulah Shabir datang, tapi terlihat sedikit berantakan tidak rapi dan modis seperti biasanya, rambutnya nampak acak-acakan dan pakaiannya sedikit kusut.

“Maafkan aku sayang, aku sedikit terlambat soalnya banyak kerjaan di hotel,” ucapnya Shabir.

Balasnya Kia seperti biasanya sesuai dengan karakternya.

Kemudian mereka menuju ke lokasi pemotretan prewedding pernikahan mereka yang tersisa lima hari lagi mereka akan menikah.

“Bismillahirrahmanirrahim, lancarkan segalanya,” gumamnya Kia.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi pemotretan, suasana terasa berbeda. Shabir duduk di belakang kemudi dengan wajah tenang, namun jemari yang mengetuk setir dan tatapan kosongnya membuat Kia merasakan sesuatu yang janggal.

Biasanya pria itu cerewet atau setidaknya bercanda untuk mencairkan suasana, tapi kali ini diam seperti menyimpan beban.

Awalnya Kia berusaha mengabaikan, mengira Shabir hanya lelah. Namun, semakin lama, rasa penasaran itu tak bisa ia tahan. “Mas nggak apa-apa kan? Mas baik-baik saja kan?” tanyanya sambil melirik ke arah pria itu.

Shabir menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok, sayang. Aku cuma deg-degan. Rasanya nggak sabar pengin cepat nikah sama kamu,” ujarnya, seolah menepis kekhawatiran Kia.

Tak lama kemudian, mereka sampai di lokasi. Namun langkah Kia terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tak asing. Syafa, adiknya, berdiri di area pemotretan. Senyum manis langsung mengembang di wajah Syafa, seolah kedatangan itu hanya kebetulan.

“Kita ketemu di sini, Kak. Aku ke sini sama atasan, cuma mau lihat-lihat lokasi proyek,” ucap Syafa sambil melirik sekilas ke arah Shabir. Tatapan itu cepat, tapi cukup membuat Shabir salah tingkah dan buru-buru mengalihkan pandangan.

Proses pemotretan pun dimulai. Kia berpose dengan gaun indah yang membalut tubuhnya. Senyum tulusnya membuat aura cantiknya kian terpancar.

Syafa berkeliaran di sekitar area, mencari-cari kesempatan untuk berdiri dekat Shabir, meski Kia sama sekali tak curiga.

Di sela sesi, beberapa kru tak kuasa menahan kagum. “Mbak Kia kayak princess dari negeri dongeng,” puji sang make-up artist.

“Betul. Tanpa riasan aja sudah cantik, apalagi begini, makin mempesona,” sahut salah satu kru lainnya.

Pujian itu membuat Syafa mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk menahan amarah.

Sementara itu, Shabir yang sedari tadi berusaha profesional, justru mendapati pikirannya membandingkan kedua perempuan itu.

Dalam hati ia menggumam,”Kia memang terbaik segalanya.”

Selesai sesi pemotretan, udara sore mulai dingin. Kia dan Shabir berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Baru saja Shabir hendak membuka pintu, suara Syafa terdengar dari belakang.

“Aku nebeng ya sampai rumah, soalnya bos udah balik duluan,” ujarnya santai.

Kia menoleh sekilas, lalu melirik Shabir. Tanpa banyak pikir, Shabir mengangguk. Syafa langsung melangkah cepat, mengambil tempat duduk di kursi belakang.

Perjalanan pulang terasa berat bagi Kia. Tidak ada obrolan hangat seperti biasanya, hanya suara Syafa yang terus mengalir tanpa jeda. Kadang ia tertawa sendiri, kadang membumbui ceritanya dengan candaan yang entah ditujukan untuk siapa.

Begitu mobil berhenti di depan rumah, Syafa bersandar sambil tersenyum lebar.

“Mas Shabir ini paket lengkap, ganteng, kerjaannya bagus, masa depan cerah. Andaikan bisa, aku juga pengen nikah sama Mas Shabir,” katanya sambil melirik dari kaca spion.

Ucapan itu membuat Shabir kaget dan tersedak batuk. Kia hanya menatap lewat sudut mata, tapi belum sempat bersuara, Syafa menimpali dengan senyum licik yang nyaris tak kentara. “Maksudnya aku pengen kayak Kak Kia, nikah sama cowok sebaik Mas Shabir,” imbuhnya cepat.

Shabir mencoba tertawa kecil untuk mencairkan suasana, tapi sorot matanya jelas tak nyaman. Kia memilih diam. Ia tahu, tak semua kata perlu dibalas, tapi hatinya mulai merekam setiap gelagat yang terasa asing.

Beberapa hari kemudian, pagi itu terasa berbeda. Udara masih segar, tapi jantung Kia berdegup lebih cepat dari biasanya. Hari ini seharusnya menjadi awal baru dalam hidupnya. Akad nikah digelar di masjid megah tak jauh dari rumah Bu Arista dan Pak Adiguna, calon mertuanya.

Sejak matahari naik, undangan mulai berdatangan. Kursi yang disusun rapi mulai terisi. Senyum dan bisik-bisik terdengar di setiap sudut. Syafa, Inara, dan Bu Tia juga sudah hadir dengan pakaian terbaik mereka.

Kia duduk di ruang khusus pengantin wanita. Tangannya menggenggam erat buket bunga yang diberikan panitia. Matanya sesekali melirik ke arah pintu, berharap ada kabar dari Shabir.

Di luar, penghulu telah tiba. Para tamu mulai menoleh satu sama lain. “Udah sejam lebih, kok keluarga mempelai pria belum datang?” bisik salah satu undangan kepada temannya.

“Iya, aneh banget. Biasanya acara kayak gini nggak sampai nunggu lama,” sahut yang lain.

Syafa menyandarkan tubuhnya di kursi, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit ditebak artinya. Inara menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Bu Tia duduk tenang, seolah menunggu sesuatu yang sudah ia perhitungkan.

Kia menarik napas dalam-dalam. “Ya Allah, lancarkan semuanya,” gumamnya lirih, mencoba mengusir gelisah yang mulai merayap di dadanya. Namun setiap detik yang berlalu terasa seperti beban berat di pundaknya.

Hingga tiba-tiba, dari kejauhan terdengar deru mesin mobil yang berhenti di halaman masjid. Rombongan keluarga besar Shabir turun satu per satu. Ada senyum di wajah para tamu, ada bisik-bisik lega terdengar.

Kia yang sedari tadi duduk dengan jantung berdebar langsung menegakkan tubuh. Matanya berbinar, tangannya meremas buket bunga.

“Alhamdulillah… akhirnya datang juga,” batinnya sambil tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati. Rasa lega menyapu gelisahnya, seolah semua penantian itu terbayar.

Namun, senyum itu perlahan memudar saat ia melihat raut wajah Bu Arista dan Pak Adiguna. Ada sesuatu yang berbeda bukan ekspresi bahagia seorang calon besan. Langkah mereka mantap, tapi sorot mata tajam.

Bu Arista mendekat, berdiri di hadapan Kia yang masih terdiam. Pak Adiguna ada di sisinya, wajahnya tak kalah dingin.

“Kia…” ucap Bu Arista pelan tapi tegas.

Kia mencoba tersenyum, walau bibirnya terasa kaku. “Iya, Bu…” sahutnya lirih.

Kalimat berikutnya jatuh seperti palu godam di telinga Kia. Ucapan itu membuat udara seolah lenyap dari paru-parunya.

Dunia yang tadinya berputar penuh warna kini membeku dalam hening. Semua suara di sekitar terdengar jauh, bahkan detak jantungnya sendiri seperti terhenti.

Tangannya yang menggenggam buket bunga mulai gemetar. Tatapannya kosong, menatap tanpa benar-benar melihat. Di kepalanya, ratusan pertanyaan berlarian liar, tapi lidahnya kelu untuk bertanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel