
Ringkasan
Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan justru berubah menjadi mimpi buruk bagi Kia. Di hari akad nikahnya, Shabir pria yang telah ia cintai selama lima tahun membatalkan pernikahan mereka. Alasannya bukan karena rasa dan cinta yang pudar, melainkan tekanan dari kedua orang tuanya yang menolak Kia lantaran statusnya sebagai anak dari seorang perempuan penghibur. Patah hati, malu, dan terbuang dari rumah, Kia dihadapkan pada keputusan mengejutkan. Demi menjaga nama baik keluarga, Bu Tia mama tiri yang selama ini ia kira ibu kandung memaksanya menikah dengan pria acak, siapa saja asal Kia segera pergi dari rumah dan malam itu mendapatkan pria yang penampilannya urakan bak preman gaul bernama Arian Altaf Dirgantara.
Bab. 1. Butuh Kesabaran Maksimal
Kia Ayara Zahra, 26 tahun, baru pulang dari swalayan tempatnya bekerja seharian. Tubuhnya terasa letih, tapi belum sempat melepas tas selempang, tangan ibunya sudah meraih paksa. Tanpa basa-basi, Bu Tia langsung mengeluarkan amplop berisi bonus yang Kia terima bulan ini.
“Ma, sisakan satu juta saja buat bensin sebulan. Kalau semua diambil, aku mau pakai apa?” bujuk Kia pelan, berharap ibunya mau mengerti.
Inara, adik pertamanya, tersenyum sinis. “Astaga, Kia. Kamu kan gajinya paling gede di rumah ini, wajar dong setor paling banyak,” ujarnya ringan seolah itu hal yang pantas.
Syafa, si bungsu, ikut menimpali sambil menyeringai. “Iya, kak. Kamu paling tua, ya udah wajar lah kasih paling besar ke Mama,” katanya sambil melirik amplop di tangan Bu Tia.
Kia menghela napas, mencoba menahan kesal. “Gajiku lima juta, semuanya udah aku kasih ke Mama. Masa bonus sejuta ini juga mau diambil?” ucapnya, matanya menatap lelah.
Suara Bu Tia meninggi, nada marahnya membuat suasana tegang. “Kia! Apa susahnya kasih semua sama Mama? Mama udah capek besarin kamu. Inara sama Syafa kan harus nabung buat nikahan mereka. Kalau kamu udah nikah sama suami kaya, baru deh nggak perlu kerja banting tulang di swalayan,” sergahnya sambil menghitung lembar demi lembar uang bonus itu.
Tangannya berhenti sebentar. “Katanya pacarmu, Sabir, mau melamar. Kok orang tuanya nggak datang-datang? Jangan-jangan kamu cuma dijadiin mainan,” tambahnya dengan nada merendahkan.
Syafa menyikut pundak Kia sambil melenggang. “Udah deh, masuk cuci piring. Pakaian kerja aku juga numpuk, hati-hati nyucinya, mahal loh,” tukasnya.
Inara menaruh piring kotor di meja. “Maaf ya, piring numpuk. Oh iya, ambil cucian kotor aku sekalian. Kalau lapar nanti malam, beliin aja makanan. Di dapur nggak ada sisa,” ujarnya sebelum masuk kamar.
Bu Tia berlalu menuju kamarnya, mulutnya tak berhenti mengomel. “Jangan jadi perempuan cengeng. Dari kecil kan kamu bantu Mama sama adik-adik, katanya mau berbakti? Nah, kayak gini caranya,” imbuhnya tanpa menoleh.
Kia berdiri terpaku, mengusap dadanya untuk meredakan sesak. Dalam hati, ia sering bertanya-tanya, apakah ia benar anak kandung atau hanya anak pungut. Saat almarhum ayahnya, Pak Ardiansyah, masih hidup, perlakuan ini tak pernah ada. Tapi sejak ayah meninggal saat ia masih SMP, semuanya berubah. Ia dijadikan tumpuan, bahkan kadang terasa seperti sapi perah bagi keluarganya sendiri.
Dengan langkah lelah, Kia menuju kamar. Setelah mengganti baju, ia menyalakan kran di bak cuci piring. Air mengalir, dingin menusuk jemari.
“Ya Allah… sampai kapan harus seperti ini?” batinnya lirih, matanya menerawang.
Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya malam itu mulai dari mencuci piring hingga menumpuk pakaian yang baru saja dicuci tiba-tiba perut Kia berbunyi nyaring.
Ia menghela napas sambil menggeleng pelan. Astaga… sampai lupa makan lagi, batinnya. Rupanya kesibukan membuatnya melupakan jadwal makan malamnya sendiri.
Dengan langkah malas, Kia berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari kabinet, lalu kulkas, berharap menemukan sesuatu yang bisa langsung disantap. Namun sayang, tak ada satupun makanan tersisa. Yang ada hanya sepiring nasi putih yang teronggok di meja.
“Kayaknya aku goreng aja deh,” gumamnya lirih, membayangkan aroma nasi goreng panas yang menggoda.
Baru saja ia mengulurkan tangan untuk mengambil wajan, ponselnya berdering. Layarnya menyala, menampilkan nama yang langsung membuat sudut bibirnya terangkat Shabir. Kekasihnya.
Baru saja Kia hendak menggoreng nasi, nada dering ponselnya memecah kesunyian malam. Layarnya menampilkan nama Shabir. Jantungnya otomatis berdetak sedikit lebih cepat.
“Assalamualaikum, ada apa Mas?” tanya Kia sambil tetap mengaduk bawang di wajan.
“Aku ada di depan rumah. Aku bawain makanan buat kamu,” jawab Shabir dengan nada hangat.
Kia buru-buru mematikan kompor. Ada rasa hangat yang langsung mengisi dadanya. Seakan Shabir selalu tahu kapan ia sedang lelah atau butuh perhatian.
Shabir memang nyaris setiap hari membawa makanan untuk Kia, entah ke tempat kerja atau ke rumah seperti malam ini.
Padahal ia juga sibuk bekerja di hotel sebagai manajer. Tapi entah bagaimana, pria itu selalu menyisihkan waktu untuknya.
Kia bergegas ke depan rumah. Dari kejauhan, ia melihat Shabir duduk di dalam mobilnya. Senyum pria itu selalu sama tenang, hangat dan seperti bisa menenangkan badai di hati Kia.
Namun, langkahnya terhenti ketika Syafa, adiknya, tiba-tiba muncul dengan suara yang tajam menusuk.
“Setiap hari diantarin makanan. Kenapa nggak nikah aja? Apa jangan-jangan Kak Kia udah pernah tidur sama Mas Shabir, makanya dia mau aja nurutin semua kemauan kakak,” tuding Syafa.
Belum sempat Kia merespons, Inara adik bungsunya turun dari tangga dan ikut menimpali.
“Mungkin dia bayarnya pakai tubuh. Biasanya kan cowok gitu, kalau udah dikasih servis di ranjang, rela aja beliin apa pun,” ucap Inara sambil menyeringai sinis.
Kia hanya tersenyum tipis. Bukan karena tak mampu membalas, tapi sudah terlalu sering telinganya mendengar kalimat semacam ini. Seperti hujan yang tak bisa ia hentikan, hanya bisa ia terima tanpa berharap langit cepat cerah.
Suara mereka cukup keras sehingga Shabir mendengarnya. Wajahnya berubah. Tatapannya tajam namun tetap tenang.
“Jangan samakan Kia dengan kalian berdua. Aku ikhlas ngelakuin semua ini karena aku cinta sama dia. Hubungan kami nggak kayak yang kalian pikir. Dan tolong, jangan ukur orang lain pakai standar kalian,” ucap Shabir dengan senyum merendahkan, menatap Syafa dan Inara.
Kedua adik Kia itu saling pandang, lalu berjalan masuk sambil menghentakkan kaki.
“Sok suci!” ketus Syafa.
“Kalau kamu cowok baik-baik, kenapa nggak lamar Kak Kia sekalian?” dengus Inara sebelum menghilang ke lantai dua.
Kia menghela nafas, lalu melangkah ke arah Shabir. Ia menerima kantong plastik berisi makanan.
“Mas, nggak usah repot-repot gini. Aku nggak enak sama Mas,” ujarnya pelan.
Shabir tersenyum, menatap Kia dengan tatapan yang membuatnya sulit berpaling.
“Nggak apa-apa. Ini memang tanggung jawab aku sebagai calon suami kamu. Oh iya aku ke sini malam-malam juga mau kasih kabar. Hari Minggu lusa, Papa sama Mama mau datang melamar kamu,” ucapnya lembut sambil menyerahkan kantong plastik lainnya.
Kia terdiam. Bibirnya mengulas senyum, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Rasanya semua lelah, semua ucapan menyakitkan yang baru saja ia dengar, lenyap dalam satu kalimat Shabir barusan.
Kia tersenyum lebar, matanya berbinar tak mampu menyembunyikan rasa syukurnya.
“Alhamdulillah… Allahu Akbar… terima kasih banyak, ya Allah,” ujarnya pelan namun penuh rasa.
Shabir menoleh sambil menggodanya, jari telunjuknya menyentuh hidung mancung Kia.
“Bersiaplah, sayang. Tidak lama lagi kita akan menikah. Sejujurnya, aku nggak sabar ingin bersanding denganmu, menjadi suami untuk wanita paling cantik yang pernah aku temui,” imbuhnya dengan tatapan yang membuat Kia tak kuasa menahan senyum.
“Insha Allah, Mas. Lima tahun kita bareng semoga bulan ini kita resmi jadi suami istri. Mas tahu nggak, bulan ini juga hari anniversary kita yang kelima,” katanya sambil menatapnya lembut.
Shabir tersenyum, lalu mengecup kening Kia dengan penuh kelembutan.
“Masuklah, makan terus istirahat. Besok aku jemput di toko. Sekalian kita temui Mama Papa untuk membicarakan rencana lamaran sama pernikahan,” ucapnya.
Pipi Kia merona. Ada rasa hangat menjalar di dadanya, seakan semua luka dan lelahnya selama ini luluh dalam satu malam.
“Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai rumah, kabari. Chat saja,” ujarnya sambil memeluk erat kantong plastik berisi makanan itu.
Ia melangkah masuk melewati halaman rumah yang sunyi, hanya suara gesekan dedaunan terdengar dihembus angin malam.
Rumah dua lantai itu menyimpan banyak cerita pahit baginya, terutama sejak kecil. Ibunya, Bu Tia, mantan pegawai bank dan almarhum ayahnya, Pak Ardiansyah, mantan komandan polisi membesarkannya dengan aturan yang ketat.
Namun sejak sang ayah tiada, Kia merasakan perlakuan ibunya mulai berat sebelah. Kedua adiknya pun sering berlaku semena-mena, seolah Kia hanya bayangan di rumah sendiri.
Dari lantai dua, Syafa berdiri di balik jendela kamarnya. Jemarinya meremas tirai, matanya tak lepas dari punggung Shabir yang masih duduk di mobil.
“Dari dulu aku suka sama Mas Shabir kenapa dia malah pilih anak sial itu,” bisiknya pelan, suaranya nyaris seperti desis.
Tiba-tiba suara Inara terdengar dari ambang pintu. Ia menyandarkan tubuh di kusen, senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Kamu aja yang bego. Nggak mau pakai trik buat narik hati cowok, kayak yang sering kamu lakuin ke mantan-mantan kamu dulu,” ucapnya santai, tapi matanya menyimpan sinis.
Syafa menoleh, lalu tersenyum licik.
“Berarti aku boleh dong deketin Mas Shabir sampai dia milik aku. Cowok-cowok nggak berguna itu harus aku tinggalin,” imbuhnya, suaranya terdengar mantap.
Keduanya saling pandang lalu berpelukan singkat, seolah ada rencana yang tak perlu diucapkan lagi.
“Kalau kamu sama Mas Shabir… aku bakal deketin Arfa. Aku yakin lebih pantas dari kamu. Meski kalian udah sering bareng, aku lebih seksi dan tahu cara bikin dia jatuh,” batin Inara sambil tersenyum tipis.
Malam itu, di bawah atap yang sama, ada dua hati yang diam-diam merencanakan hal yang sama yaitu merebut sesuatu yang bukan milik mereka.
Sementara di luar sana, Shabir sudah melajukan mobilnya, membayangkan masa depan yang ia kira akan berjalan sesuai dengan keinginannya.
