Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tentang Irham

Lembar diary berikutnya aku buka. Tiba-tiba saja aku merasa bersemangat membaca lembar berikutnya ini. Aku menulis nama Irham di baris pertama. Sepertinya aku sedang mengulas banyak tentang dia.

2 Oktober 2000

Dear Diary

Tadi aku ngeliat Irham wajahnya pucat

Pandangan matanya juga keliatan sayu

Malah ia sempat rebahan di kelas di jam istirahat

Sepertinya dia sakit

Oh ya, tadi aku ngeliat Devi ngedeketin Irham

Nggak tahu mereka membahas apa

Aku cuma ngeliat Irham yang memandang Devi dengan sorot mata nggak suka

Dia langsung rebahan lagi di kursinya yang dijadikan satu sama kursi si Edo teman sebangkunya

Devi langsung pergi

Aku liat Devi ngobrol sama Amara

Terus Amara keliatan sedih

Matanya merah

Aku mengerutkan dahiku. Apa yang sebenarnya terjadi? Segera aku buka ke halaman berikutnya.

3 Oktober 2000

Dear Diary

Irham masih terlihat lemas hari ini

Dia nggak seceria biasanya

Tadi dia masih rebahan di jam istirahat

Sriana nyuruh aku nanyain Irham

Sriana kasian sama Irham

Dia menyuruhku membawanya ke UKS

Ingatanku kembali ke masa lalu. Masa ketika aku masih berseragam putih biru.

Aku dan Sriana habis dari kantin. Kami menemukan Irham masih tiduran di kursi dengan bantalan tas ranselnya.

”Ir, kamu sakit kan? Ke UKS aja ya?!”

Ini hari kedua aku melihat Irham lemas di kelas. Irham bangkit dari tidurannya.

”Nggak usah, Nae,”

”Tapi kamu lemes banget gitu. Mendingan di UKS. Kan bisa tiduran di kasur UKS,”

”Nggak usah. Di sini aja udah cukup,”

”Kamu kalau sakit gitu kenapa masuk sekolah sih? Harusnya izin aja,”

Irham tersenyum tipis.

”Takut ketinggalan pelajaran,”

”Kan ntar bisa tanya temen sebangku atau tanya guru langsung,”

Irham kembali tersenyum.

”Nggak apa-apa. Aku kuat kok. Cuma agak capek aja,”

”Ya udah, kalau nggak kuat bilang ya? Ntar biar dianter temen-temen ke UKS,”

Irham mengangguk. Aku pergi meninggalkannya yang kembali rebahan. Sriana sudah duduk di bangkunya. Aku awalnya juga mau duduk, tapi dari tempatku berdiri saat ini, aku melihat Edo yang ada di luar kelas. Ia berdiri dekat jendela.

Aku keluar kelas bersamaan dengan temannya Edo yang mengobrol dengannya tadi berlalu. Entah dengan siapa tadi Edo mengobrol. Anak kelas lain. Nggak tahu kelas apa. Aku nggak hafal sosoknya. Aku menghampiri Edo.

”Do, itu si Irham sakit apaan sih? Lemes banget keliatannya,”

Aku yakin Edo tahu karena ia teman sebangkunya.

”Sakit liver,”

”Haaaahhh?”

Aku kaget. Kasihan bener Irham.

”Menular nggak?”

Edo terkekeh melihat responku.

”Nggak. Kan sakit livernya cuma sakit karena hatinya patah,”

”Apaan sih? Nggak paham deh. Patah hati gitu maksudnya?'

Terlihat senyum iseng Edo mengembang lebar.

"Becanda, Nae!"

Aku bersungut kesal. Tapi akhirnya aku memburu Edo dengan pertanyaan baru.

”Dia putus sama Amara?”

”Kamu tahu juga ya kalau mereka pacaran?”

”Iya. Dikasih tahu Devi. Tapi nggak boleh bilang ke siapa-siapa. Nggak tahu kenapa dia ngasih tahu ke aku,”

”Karena kamu ketua kelas mungkin,”

”Apa hubungannya?”

”Lhah...ketua kelas kan harus tahu apa aja yang terjadi sama anak buahnya,”

”Tapi nggak sampai urusan cinta juga kali, Do. Itu bukan bagian dari tugasku sebagai ketua kelas,”

Edo tersenyum lebar.

”Jadi mereka benaran udah putus?”

Edo menggangguk.

”Kapan itu?”

”Udah lama. Nggak inget tanggal pastinya,”

”Haahh? Serius? Bukannya mereka baru jadian?”

”Iya. Mereka sebenernya pacaran cuma sebulan kok,”

”Oh ya? Cepet banget,”

Edo menggangguk.

”Emang kenapa kok mereka bisa putus gitu?”

”Amara selingkuh,”

”Serius tuh?”

Edo kembali menggangguk.

”Selingkuh sama siapa?”

”Sama anak SMA. Masih tetangganya gitu,”

Aku berseru lirih mengucapkan kata Oh dengan nada prihatin.

”Kamu tahu cerita ini dari siapa?”

”Ya dari Irham langsunglah. Kan aku teman sebangkunya. Wajar kan kalau dia suka cerita apa aja ke aku,”

Aku menggangguk setuju.

”Berarti nggak meragukan lagi. Karena langsung mendengar dari sumbernya. Bukan gosip. Pasti akurat,”

Edo menggangguk. Ada senyum tipis bangga saat ia menggangguk itu. Mungkin ia suka sewaktu kubilang informasinya pasti akurat.

Tiba-tiba saja aku teringat peristiwa kemarin hari, saat Devi kulihat sedang bercakap-cakap dengan Irham. Yang aku lihat Irham terlihat cuek terus Devi kembali ke kursinya dan mengatakan sesuatu ke Amara. Setelah itu aku lihat mata Amara merah. Sepertinya habis menangis. Waktu itu aku melihat Edo juga ada di dekat Irham. Ia sedang berdiri mengobrol sama Rifki tak jauh dari kursinya. Sepertinya Edo tahu apa yang sedang terjadi saat itu.

”Do... kemarin itu, aku lihat Devi ngobrol sama Irham. Kayaknya mereka sedang bersitegang gitu. Kamu kan ada di situ, Do. Ada apaan emang?”

Edo menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan sebelum menjawab.

”Oh, kamu ngeliat juga ya kejadian kemarin itu?”

Aku menggangguk.

”Si Amara ngajak balikan. Dia nyuruh Devi ngomong ke Irham. Kan Devi itu Mak Comblangnya Amara. Dulu yang nembak ngajak pacaran si Irham ini Amara kok. Dia nyuruh si Devi ngomong suka ke Irham dan nawarin Irham mau nggak jadi pacarnya,”

Aku cuma bisa bengong saja mendengar cerita itu.

”Sama Irham ditolak tuh. Makanya kemarin Amara nangis,” lanjut Edo.

Aku terbelalak tak percaya.

”Ini sungguh serius ya?”

”Iya. Kamu pikir bercanda? Atau kamu kira aku ngarang gitu?”

Aku jadi merasa bersalah. Suara Edo terdengar berubah. Terdengar meninggi. Mungkin dia tersinggung dengan kata-kataku. Aku segera minta maaf.

”Kasian mereka,” kataku berusaha mengalihkan topik agar Edo nggak tersinggung.

Edo menggangguk.

----------------

9 Oktober 2000

Dear Diary

Tadi aku pulang sekolah bareng sahabat-sahabatku, Nina, Nurina dan Agni

Pas kami sedang menunggu angkot, ketemu seorang kakak kelas yang juga sama- sama nunggu angkot

Dia cewek, anak kelas 3, mengaku bernama Rani

Di nama dadanya tertulis Maharani

Dia tanya kami, apa kami sekelas dengan Irham

Dia minta ke kami nomor ponselnya Irham

Tulisanku ini membuatku tersenyum. Dan kembali kejadian saat itu pun berputar di kepalaku.

Aku bersama ketiga sahabatku berdiri di pinggir jalan dekat perempatan. Aku dengan Nurina dan Nina satu arah angkotnya. Tapi Agni beda. Angkotnya baru bisa dinaiki dari perempatan itu. Akhirnya kami ikut dia jalan kaki ke arah perempatan jalan supaya Agni ada temannya.

Kami sedang berdiri dekat lampu merah saat seorang kakak kelas berkulit sawo matang dengan rambut bergelombang sepundak menyapa. Ia sudah lebih dulu ada di situ. Sepertinya ia juga menunggu angkot di situ. Entah angkot apa yang akan dinaikinya nanti.

”Kalian anak kelas 1 A ya?”

Kami berempat mengangguk nyaris bersamaan.

”Sekelas dengan Irham dong?”

Kembali kami mengangguk.

”Kalian ada yang punya nomor ponselnya Irham nggak?”

Kami kompak menggeleng. Terlihat wajah Kak Rani sedikit berubah.

”Kalau gitu aku nitip salam ya ke dia,”

Kami mengangguk. Nggak banyak percakapan kami sama Kak Rani. Tak lama setelah itu angkot yang dinaiki Agni lewat. Dia pamit duluan. Setelah itu di belakangnya angkot kami yang lewat. Kami bertiga segera pamit ke Kak Rani.

-----------------------------------

11 Oktober 2000

Dear Diary

Aku tadi pulang sekolahnya sendirian

Nina, Nurina dan Agni sudah pulang duluan

Aku pergi ke studio cetak foto dulu

Aku mau mencetak foto keluargaku

Eh, pas nunggu angkot aku ketemu lagi sama Kak Rani

Dia kali ini nitipin surat buat Irham

Iiihhh...aku ini ketua kelas apa Pak Pos sih?

Musti nganter-nganter barang ginian juga

Tulisan yang membuatku tersenyum lebar. Aku ingat surat yang dititipkan itu. Sampulnya warna pink dengan gambar mawar. Bau amplopnya wangi. Aku rasa kertas suratnya warna senada dan wangi juga. Surat itu aku sampaikan ke Irham keesokan paginya sebelum jam pelajaran sekolah dimulai.

Uniknya saat aku semangat cerita tentang pemberi suratnya, justru Irhamnya terkesan tak acuh begitu. Ingatanku kembali pada peristiwa pagi itu.

”Ini surat dari Kak Rani. Anak kelas 3. Dia tinggi. Berkulit sawo matang dan berambut sebahu,”

Irham hanya menggangguk ringan. Ekspresi wajahnya datar saja. Justru aku yang terlihat ekspresif menjelaskan. Aku kira dia akan tertarik akan sosok pengirim suratnya itu. Ternyata aku kecele.

”Kamu tahu Kak Rani?”

Irham menggelengkan.

”Kamu kenapa? Kok kayaknya nggak minat gitu sama Kak Rani?”

Irham menghembuskan nafas panjang sebelum bersuara.

”Aku sejujurnya nggak pernah tahu siapa yang mengirim surat, puisi atau kado seperti ini,”

Dahiku mengernyit.

”Kamu mau tahu sesuatu nggak?”

”Apaan tuh?”

”Sini aku kasih lihat,”

Dia memintaku merunduk untuk melihat ke laci mejanya. Aku mengintip ke dalam laci. Di situ ada kado dan surat lain selain yang aku kasih tadi itu.

”Dari siapa?” tanyaku setelah berdiri tegak di depan Irham lagi.

Irham mengedikan bahunya.

”Kamu nggak tahu?”

Irham menggangguk.

”Kejadian kayak gini tuh sering terjadi. Nggak tahu siapa yang naruh di situ. Tiap kali aku mau masukin tas, kadang aku menemukan yang seperti itu,”

”Kenapa kamu nggak lapor ke aku?”

”Lapor?”

”Iya. Aku kan ketua kelas. Paling nggak aku bisa menyelidikinya atau melaporkan ke wali kelas atau pun guru BK gitu. Ini kan mengganggumu,”

”Kalau mengganggu sih nggak. Cuma bikin kaget aja,”

”Perlu diselidiki nggak?”

”Nggak usah,”

Aku menggangguk paham. Dia berhak menentukan mau diselidiki atau tidak. Ini kan masalahnya dia.

”Emang apa isi surat dan kado itu?”

Irham kembali menggendikan bahunya.

”Kamu nggak tahu?”

Irham menggangguk.

”Kamu kemanakan benda-benda itu?”

Irham tersenyum.

”Sepulang sekolah, ibuku salalu merazia isi tasku. Jadi kado atau surat itu nggak pernah aku liat?”

”Di buang?”

”Nggak tahu di buang atau di bakar,”

”Kamu nggak buka di sekolah aja gitu?”

Irham menggeleng.

”Kenapa?”

”Nggak minat,” jawabnya sambil tersenyum.

”Oh ya, Kak Rani minta nomor ponselmu tuh,”

”Aku nggak punya ponsel. Ortuku melarang aku punya ponsel dulu saat ini,”

Aku tersenyum lebar.

”Sama deh. Aku juga nggak diizinin punya ponsel dulu sama ortuku. Takutnya aku nggak fokus belajar,”

Kami sama-sama tersenyum.

”Kamu punya nomor telepon rumah?” tanyaku.

”Dulu sih ada. Tapi sekarang di cabut. Soalnya yang telepon ke rumah suka nyari aku. Orang tuaku nggak suka itu,”

Aku mengangguk paham. Bel masuk pelajaran berdering. Kami segera kembali ke kursi masing-masing.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel