Bab 2 Tercongkel
Rasa penasaran masih bergelayut di hati. Peristiwa apa saja yang kulalui saat itu? Apakah semua tertulis di sini? Atau diaryku ini isinya hanya tentang cinta semua?
Penasaran itulah yang membuatku akhirnya membuka kembali diary itu. Kubuka lembar berikutnya. Isinya menceritakan kejadian di bulan September. Sepertinya aku memang bukan orang yang rajin menulis diary setiap hari. Hanya pada saat-saat tertentu saja menuliskannya.
15 September 2000
Dear Diary
Hiiihhh....
Aku kesal sama Erina.
Dia itu kenapa sih?
Iri dan pengen jadi ketua kelas gitukah?
Aduuuhhh....
Kalau pengen jadi ketua kelas kenapa dia nggak mencalonkan diri waktu itu?
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Aku ingat peristiwa ini. Peristiwa yang nggak akan aku lupa sampai beberapa tahun sesudahnya. Erina ini juga teman sekelasku. Ia lebih pendek dariku sekitar 5-6 cm. Berkulit kuning sama kayak aku. Berambut megar keriting. Berhidung bangir. Aku baru tahu belakangan, kalau dia ternyata juga naksir Irham.
Erina ini pernah menuduhku mencuri bukunya. Padahal dia nggak punya bukti kalau aku mengambil bukunya. Ia hanya mengira-ngira saja kalau aku mengambil bukunya. Gara-garanya sepele kalau menurutku, waktu mengambil buku paket dari ruang guru, sepertinya di tumpukan buku yang ia bawa nggak ada buku paket matematikanya, kebetulan di sekolahku untuk pembelian buku pelajaran dikoordinasi oleh pihak sekolah usai membayar uang daftar ulang. Pas dia mengambil jatah buku-buku itu kebetulan ia ke ruang gurunya bareng aku. Dia nggak mengecek jumlah bukunya.
Setelah masuk kelas, saat dia mengecek, buku paket matematikanya nggak ada, dia langsung nuduh aku mengambil bukunya. Dia langsung narik buku matematika milikku. Saat itu aku lagi asyik memberi nama di buku-buku yang sudah kuambil itu. Kebetulan buku matematika belum aku kasih nama, dia langsung merebutnya.
Jelas aku nggak terima. Aku berdiri dan merebut buku itu lagi. Begitu dapat aku langsung memberi nama di buku itu. Bahkan aku tandatangani juga karena aku takut direbut sama Erina lagi.
Sayangnya masalah nggak berhenti di situ. Saat pelajaran matematika, Erina bikin ulah. Ia lapor ke guru matematika kalau aku mencuri bukunya. Guru matematika memanggilku. Aku disuruh mengembalikan buku paket itu. Aku menolak. Itu bukuku. Erina langsung menuju mejaku dan mengambil buku paketku.
”Ini buku saya pak. Naelsa sengaja ngasih nama dan tandatangan. Biar nggak ketahuan kalau dia yang ngambil buku saya,”
Jelas aku berang. Aku nggak ngambil bukunya dituduh seperti itu. Akhirnya kami ribut di kelas. Semua murid memperhatikan. Akhirnya pak guru menyuruhku menyerahkan buku itu ke Erina. Ini yang bikin aku kesal. Aku merasa guruku nggak adil. Aku itu nggak mencuri tapi diperlakukan kayak pencuri. Padahal aku sudah bilang aku nggak mencuri bukunya Erina. Toh, Erina juga nggak bisa membuktikan kalau aku mengambil buku paket matematikanya. Dia cuma bilang buku paket matematikanya nggak ada, tapi saya ngambil buku-buku itu ke ruang guru bareng Naelsa pak. Cuma itu kata-katanya. Tapi itu kan bukan bukti kalau aku mengambil bukunya. Bisa jadi guru yang kebagian tugas membagi buku belum memasukkan buku paket matematika ke tumpukan bukunya Erina. Tapi karena Erina vokal dan berakting sebagai korban akhirnya guruku memerintahkan aku menyerahkan buku itu.
Sumpah ya, kalau inget kejadian itu aku emosi banget. Bagaimana aku sampai dapat perlakuan seperti itu? Keliatannya ini mungkin sepele buat orang lain. Tapi itu besar buat aku. Seumur hidup orang-orang akan mengenalku sebagai pencuri buku paket milik Erina. Kejadian itu bener-bener mengecewakan.
Dan khusus catatanku di diary yang barusan kubaca ini, kejadiannya di kelas 1 SMP. Waktu itu aku ketua kelas. Sepertinya bibit permusuhan antara aku dan Erina sudah ada sejak kelas 1 itu. Entah apa penyebab awalnya, tapi Erina dan aku sepertinya selalu berhadap-hadapan dengan kondisi seperti ini.
Di kelas satu itu, aku serasa mengalami fase di kudeta. Erina berusaha mendongkelku turun dari jabatan ketua kelas. Aku inget banget kejadian ini.
Waktu itu pelajaran PPKn. Guru kami Pak Riady sedang mengajar. Sewaktu beliau memberikan kesempatan bertanya, Erina tunjuk jari. Dia bertanya tentang butir-butir Pancasila yang dikait-kaitkan dengan caraku menjadi ketua kelas. Pertanyaan ini terasa menyudutkanku. Menurutku melenceng aja. Nggak ada hubungannya sama pelajaran yang habis diterangkan oleh Pak Riady. Karena menyudutkan, akhirnya sewaktu ada giliran bertanya selanjutnya aku segera tunjuk jari. Aku bertanya sambil membela diri yang aku kait-kaitkan juga dengan butir-butir Pancasila.
Akhirnya kami bersitegang. Aku merasa jawaban dari Pak Riady juga setuju dengan caraku saat mengurusi kelas. Jadi kebenaran itu kan bisa dilihat dari dua sisi. Erina inginnya dari sisi dialah yang benar. Karena kami ribut, Pak Riady bertanya ada masalah apa? Erina yang memberikan jawaban. Dan karena penjelasan itulah, Pak Riady memutuskan untuk diadakan pemilihan ketua kelas ulang. Akhirnya, hari itu kami mengadakan pemilihan ketua kelas lagi.
Aku sih nggak masalah. Toh, aku dulu juga nggak niat jadi ketua kelas. Tapi karena suara terbanyak milih aku akhirnya aku jadi ketua kelas. Jadi kalau dicongkel dari jabatan ini pun nggak masalah buatku.
Dan pemilihan ketua kelas yang di pimpin Pak Riady ini menentukan Brian sebagai ketua kelas. Aku sih cuek. Nggak ambil pusing siapa yang terpilih pada akhirnya.
Yang aku ingat, pas pelajaran Bahasa Inggris beberapa hari kemudian, si Erina dan Brian menemuiku sebelum jam masuk sekolah dimulai.
”Nae, kamu tahu kan kalau sekarang bukan ketua kelas lagi?” kata Erina.
Aku menggangguk.
”Kamu sekarang julukannya eks ketua kelas. Atau juga mantan ketua kelas,”
Aku juga meresponnya dengan anggukan.
”Nae, jangan lupa nanti pas pelajaran bahasa Inggris, kasih tahu Pak Suyanto kalau sekarang aku ketua kelasnya,” pinta Brian kepadaku.
Aku juga mengangguk.
Bagiku, dua orang ini punya karakter yang sama. Sedikit congkak. Tukang memerintah. Dan suka memancing keributan.
Singkat cerita, sewaktu pelajaran bahasa Inggris dimulai, aku minta waktu ke guruku untuk menyampaikan sesuatu. Pak Suyanto ini wali kelas kami. Beliau ini berkulit putih kemerahan. Berkacamata mirip kacamatanya Superman. Rambut beliau pendek dan model rambutnya belahan ke arah kanan.
Saat itu aku minta waktu ke beliau untuk menyampaikan perkembangan terakhir soal jabatan ketua kelas itu. Usai mendengar penjelasanku beliau marah. Langsung sekelas ditegur. Sebagai wali kelas beliau merasa dilangkahi. Pemilihan ketua kelas itu kewenangan beliau. Terus semua dinasehati banyak hal. Dan jabatan ketua kelas dikembalikan ke aku lagi. Huffttt... kenangan buruk tentang peristiwa itu kembali menguasai pikiranku. Membuat kemarahanku kembali menumpuk gara-gara mengingatnya.
Aku kembali membuka halaman diaryku yang selanjutnya. Membaca apa lagi yang kutulis saat itu. Dan tak bisa dihindari kenangan-kenangan masa lalu itu melintas di pikiranku kembali.
25 September 2000
Dear Diary
Aku tadi belajar kelompok untuk pelajaran geografi
Tadi giliran belajarnya di rumahku
Ada beberapa teman yang datang ke rumah
Termasuk Nefertiti
Dia duduk di deretan kursi dekat Irham
Tadi Nefertiti ngomongin sesuatu yang bikin aku ketawa
Dia bilang kalau Irham itu suka aku
Hahaha
Itu nggak mungkin
Sepertinya dia sedang mengarang cerita saja
Aku tersenyum tipis. Gara-gara di diary ini ada tulisanku yang mengata-ngatai temanku sebagai tukang mengarang cerita.
Aku ingat, hari itu kami sedang mengerjakan tugas berupa membuat peta geografi Indonesia. Di peta itu kami diminta membuat batas provinsi dengan warna yang berbeda agar batas provinsi jelas. Ukuran peta lumayan besar. Seukuran utuh kertas karton manila. Oleh sebab itu dikerjakan secara kelompok. Lamunanku kembali ke masa itu.
Belajar bersama sudah selesai. Nefertiti yang paling belakang pulang tiba-tiba saja mengatakan sesuatu.
”Nae, kamu tahu nggak kalau Irham itu suka sama kamu?”
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
”Dia itu suka sama kamu, Nae,”
Aku tertawa lebar. Bagiku itu lucu. Irham kan sudah pacaran sama Amara. Masak iya dia suka sama aku?
”Kamu becanda ya, Nef ?”
Nefertiti menggelengkan kepalanya.
”Tahu dari mana kalau Irham suka sama aku? Dia bilang sama kamu?”
Nefertiti menggelengkan kepalanya sekali lagi.
”Lhah... terus? Kamu tahu darimana?”
”Aku liat sendiri, Nae,”
Dahiku mengernyit. Heran. Bingung juga.
”Aku kan duduk di deretan bangku yang sebelahan sama deretan bangkunya Irham...”
Aku mengangguk paham.
”Terus?”
”Dari posisi dudukku itu, aku sering ngeliat Irham itu ngeliatin kamu, Nae,”
Aku ketawa lebar mendengarnya.
”Eh, beneran ini, Nae. Kadang dia juga suka niruin gayamu lho. Misalnya kamu lagi naruh dagu di tangan gitu ya, dia ikutan tuh. Kalau kamu lagi nyandarin kepalamu di tangan, dia ikutan juga,”
Aku terbahak-bahak mendengar itu.
”Kamu kok ketawa terus sih, Nae?”
“Ya karena lucu aja. Kapan itu kejadiannya?”
”Ya pas kita di dalam kelas. Pas kita pelajaran,”
”Kamu sering ngamatin Irham ya?”
”Nggak sering-sering juga sih sebenarnya. Beberapa kali aja,”
”Kenapa kamu ngamatin dia?”
”Iseng aja,”
Aku kembali ketawa lebar. Kurasa Nefertiti hanya mengarang cerita itu. Entah apa motifnya. Mungkin dia nggak tahu kalau Irham sudah pacaran sama Amara. Emang sih, waktu itu Devi bilang, nggak semua orang yang tahu kalau Irham dan Amara pacaran. Kayaknya Amara cerita ke Devi karena Devi teman sebangkunya saja. Yang lain nggak tahu. Dan Devi pas cerita ke aku juga mewanti-wanti supaya nggak cerita ke yang lain. Alasannya ini rahasia. Meski aku nggak tahu kenapa Devi malah cerita ke aku. Jika ini rahasia, mustinya hanya mereka-mereka saja yang tahu. Tapi nyatanya aku tahu. Entah, nggak ngerti alasan Devi memberitahuku.
