
Ringkasan
Re-new Hyunwoo adalah pria biasa, tumbuh dari keluarga yang berantakan. Sejak kecil, ia memiliki kemampuan aneh, melihat energi dan aura asli seseorang. Dari aura itu, ia tahu siapa yang tulus, siapa yang palsu, siapa yang berbahaya. Tapi hidupnya mulai berubah.. Saat dia bertemu seorang wanita. CEO, cantik, berwibawa... tapi aura di sekeliling wanita itu tak bisa dia baca. Tidak seperti manusia biasa. Energinya.. gelap, kuat dan penuh misteri. Hyunwoo jatuh. Perlahan. Terlalu dalam. Ia menjadi milik wanita itu. Tubuhnya, pikirannya, perasaannya, semua.. tunduk. Ia rela disakiti... jika itu berarti bisa berada di sisi majikannya. Di antara dominasi dan kepatuhan, cinta dan luka, siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Bab 1 - Mata terkutuk Dan Aura Misteri
Namanya Hyunwoo
Nama yang unik. Aneh, mungkin bagi sesetengah orang. Tapi bagi Hyunwoo, nama itu seperti satu beban kutukan yang melekat seja kali pertama dia membuka mata di dunia ini.
Dari kecil, dia tidak pernah merasa erti kasih sayang. Seolah-olah kehadirannya ke dunia hanyalah satu kesalahan. Satu kecelekaan.
Dia dilahirkan dalam keluarga yang tidak pernah menyambutnya dengan senyuman. Belum sempat mengenal dunia, dia sudah ditolak. Dihina. Disisih. Seakan-akan menjadi wujud yang tak sepatutnya ada.
Hyunwoo tidak seperti kanak-kanak lain.
Matanya... ya, matanya sering menjadi sasaran pupil matanya tidak sama. Mata kanan berwarna hitam kelam, tapi yang kiri... merah menyala. Membuatkan dia kelihatan seperti watak anime. Tapi ini fiksyen, ini realiti.
Dan di dunia ini, orang yang berbeza... jarang disayangi.
Walaupun matanya tidak menjelaskan penglihatan, ianya cukup untuk membuat ramai menjauh. Ada yang ketakutan. Ada yang terlalu fanatik. Tapi yang paling
banyak... adalah mereka yang menghina.
Keluarga? Jangan ditanya.
Ayahnya seorang lelaki pemarah. Suka memukul bila gagal mengawal emosi. Bila marah, tangan ayah itu akan ringan. Suaranya menjadi dentuman guruh yang menusuk. Dan bila dia berbicara... Suaranya dingin, penuh dendam.
'' Anak sial. Sejak lahir, kau bawa petaka! Dasar pembawa malang! ''
Kata-kata itu seperti lagu ngeri yang berulang dalam kepala Hyunwoo. Setiap hari. Setiap malam.
Ibunya pula... hanya bayang-bayang. Melarikan diri. Menyelamatkan diri sendiri... dan meninggalkan anaknya.
Hyunwoo ditinggalkan bersama lelaki yang sepatutnya membimbingnya. Tapi lelaki itu bukan ayah. Dia lebih seperti musuh dalam rumah.
Beberapa tahun kemudian, ayahnya berkhawin semula. Kali ini dengan seorang janda yang punya dua anak, seorang lelaki, seorang perempuan. Kedua-duanya lebih tua setahun dari Hyunwoo.
Dan begitulah hidup menjadi lebih parah.
Ibu tiri itu benci akan kewujudan Hyunwoo. Dia tak pernah cuba menyembunyikan kebenciannya. Setiap kata-kata dari mulut wanita itu adalah racun. Dan dua anaknya... mereka menjadikan Hyunwoo bahan ketawa. Bahan buli. Bahan mainan.
'' Anak monster! Hahaha! ''
Mereka mengusirnya. Menendangnya keluar dari rumah. Membiarkannya menggigil kesejukan malam, menahan lapar dan kesedihan.
Tapi takdir seolah-olah memberi ruang yang sangat kecil untuk bernapas.
Ibu tiri itu meninggal dunia tak lama selepas itu. Tapi dua anaknya masih tinggal bersama ayah Hyundai. Dan penderitaan itu... terus berlanjutan.
Hyunwoo tak bersekolah. Tak mampu. Tak berduit.
Tapi dia tak bodoh.
Dia belajar membaca dari potongan surat khabar yang dibuang. Belajar mengira dari tanda harga yang digantung di pasar malam. Dia belajar sendiri, dengan keazaman yang perlahan-lahan membentuk mentalnya menjadi lebih keras. Lebih kebal.
Dia mengisi perut dengan sisa makanan dari restoran kecil di hujung jalan. Kadang-kadang dia menyilinap masuk ke belakang dapur, mengutip nasi basi dan lauk yang hampir busuk. Tapi baginya, itu lebih baik daripada mati kelaparan.
Orang-orang sekeliling? Mereka tidak peduli.
Dia hanyalah budak sial, pengemis jalanan, manusia aneh yang tak layak dijadikan sahabat.
Namun dalam diam... Hyunwoo terus hidup.
Dia tidak menjerit, tidak menangis. Tidak merayu simpati.
Dia hanya diam, dan memandang dunia dengan sepasang mata, yang satu hitam, satu merah dan hati yang sudah keras seperti batu.
Sekarang, dia sudah berumur dua puluh tahun. Tak lama lagi, usianya akan genap dua puluh satu. Sudah cukup lama dia hidup sendiri. Rumah yang dia tinggali pun bukanlah rumah sungguhan, lebih mirip gubuk reot yang berdiri sendirian di pinggir kawasan Pyeongyang. Jauh dari ayahnya, jauh dari rumah-rumah orang.
Namun tetap saja.. masih di tempat yang sama. Pyeongyang, Seoul.
Hyunwoo sudah bekerja sekarang. Tapi pekerjaanya bukan yang bisa dibanggakan. Tak bergaji tetap. Hanya kerja serabutan di kota besar, Seoul. Setiap hari dia harus menempuh perjalanan naik subway dari Pyeongyang menuju ke pusat kota. Pergi pagi, pulang malam. Demi bertahan hidup.
Sesekali dia menyempatkan diri untuk menjenguk ayahnya. Membawa sedikit uang hasil kerja kerasnya. Memberi, seperti anak yang berbakti seharusnya. Meskipun... ayahnya masih tak sudi menoleh padanya. Seolah kehadiaran Hyunwoo tak lebih dari angin yang berlalu. Tapi baginya, hanya ayahnya lah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini.
Dia masih berharap. Suatu hari nanti, ayahnya akan membuka hati. Menerimanya kembali. Mungkin, bila dia cukup lama bertahan, cukup banyak berkorban... semuanya akan berubah.
Hari sore itu. Udara dingin menggigit. Langit mendung, suram. Hyunwoo duduk di anak tangga stasiun tua dekat kawasan perindustrian. Matanya lesu. Tenaganya terkuras. Tapi dia tak mengeluh. Baju tipisnya sudah basah dengan peluh. Kulit sawo matang dan tubuh berototnya menampakkan hasil kerja keras dan keteguhan hati. Bau peluhnya menyengat, tapi dia tak peduli.
Beberapa orang yang lalu-lalang melirik, lalu berbisik-bisik. Ada yang menutup hidung. Ada yang tersenyum sinis. Tapi Hyundai... tetap diam. Seolah semua hinaan itu menabrak dinding tak terlihat di sekelilingnya dirinya.
Dia menggigit roti keras yang dibelinya dari kedai murah tadi. Kunyahannya tenang. Perlahan. Pandangannya mengarah ke depan, ke hamparan gedung-gedung pencakar langit di seberang jalan.
Namun, satu gedung selalu menarik perhatian matanya.
Gedung itu menjulang tinggi. Menara bisnis megah yang mengalahkan semua yang lain. Di puncaknya, terasa jelas nama besar dalam huruf kapital mencolok,
A.Crop Holding World.
Perusahaan yang sangat kaya. Dikenal seluruh dunia. Siapa pun tahu namanya. Cabangnya ada di setiap negara. Sebuah kerajaan korporat yang seperti tak pernah bisa dijatuhkan.
Tapi... bagi Hyunwoo, semua itu bukan urusannya.
Dia berdiri. Membungkus sisa plastik roti dan melemparkannya ke tong sampah.
Lalu ia mendongak. Langit mulai kehitaman. Awan menggunung seperti hendak menangis. Malam akan segara turun. Dan dia.. harus pulang.
Langkah kakinya perlahan menjauh, menyusuri trotoar yang dingin.
Seorang lelaki biasa, di tengah dunia yang tak pernah benar-benar mempedulikannya.
Dalam perjalanan pulang, langkah Hyunwoo menyusuri trotoar menuju stasiun subway. Langit makin kelam, dan angin mulai dingin menusuk.
Suasana mulai lengang, hanya beberapa kenderaan yang lalu lalang, lampu-lampu mulai menyapa menyala satu per satu.
Namun di seberang jalan, sesuatu menarik perhatian matanya.
Seorang nenek tua, dengan tubuh kecil, bungkuk, sedang berusaha mendorong gerobaknya. Penuh buah-buahan. Bajunya lusuh, wajahnya bekeringat. Tapi yang membuat Hyunwoo memperlambat langkah adalah segerombolan remaja sekolah berseragam. Mereka berdiri mengelilingi si nenek.
Suara mereka ribut. Nada mereka kasar.
'' Buah gratis dong, Nek! Masa jualan tapi pelit? ''
'' Apaan nih? Bau ya? ''
Lalu terdengar tawa.
Salah satu dari mereka menendang satu apel dari atas gerobak, membuatnya jatuh berguling ke jalan.
Hyunwoo hanya berdiri sejenak. Napasnya terdengar lembut, tapi berat. Seolah menimbang.
Jalan mereka... satu arah. Sama-sama menuju ke stasiun.
Dengan langkah tenang, dia melangkah melewati kerumunan itu, lalu memungut apel yang tadi jatuh. Ia bersihkan sedikit di bajunya, lalu dengan lembut menyerahkan kepada si nenek.
'' Nek, ini,'' Katanya tenang, suaranya rendah tapi jelas.
Salah satu dari anak-anak itu menunjuk Hyunwoo sambil tertawa.
'' Siapa lu? Mau sok jadi hero ya? ''
'' Lebih kayak hero tai sih? '' Sambung yang lain.
Seorang siswi perempuan ikut menyampuk, melihat ke arah wajah Hyunwoo.
'' Lihat matanya.. serem, anjir ''
Mereka tertawa sambil menutup hidung. Sinis. Penuh ejekan.
Nenek itu menatap Hyundai khawatir.
'' Nak... sebaiknya kamu tinggalkan nenek saja. Mereka itu anak-anak nakal.. ''
Hyunwoo hanya menoleh sedikit. Ada senyum tipis di wajahnya.
'' Gapapa, Nek. Yuk.. tinggalin aja mereka. Biarin.''
Dia bukan mau berlagak jadi pahlawan.
'' WOY! Tai! Mau ke mana lu, kocak? ''
'' Ah elah, Jangan songong ''
Hyunwoo terus berjalan, seolah tak mendengar apa pun. Masih setia membantu nenek mendorong gerobaknya ke tepi trotoar. Langkahnya tetap santai.
Salah satu dari mereka mendengus kesal.
'' Gua dicuekin, SIALAN! ''
Anak itu maju cepat, melayangkan pukulan ke arah Hyunwoo.
Tapi...
Hyunwoo hanya memiringkan kepalanya sedikit. Pukulan itu meleset, hanya menyapu angin. Gerakan ringan, refleks.. tanpa emosi.
Anak itu murka, melepaskan tendangan. Namun kaki itu ditangkap oleh Hyundai, lalu dengan satu dorongan ringan, tubuhnya terhempas. Berguling sampai menyentuh aspal.
'' BANGSAT! '' Teriaknya.
Beberapa dari mereka langsung menyerbu. Emosi. Brutal.
Tapi Hyunwoo.. tetap tenang.
Dia tidak menyerang. Hanya mengelek. Menampar pipi mereka satu per satu. Ringan.. tapi cukup keras untuk membuat pipi mereka memerah panas.
Seolah mereka anak-anak SD yang baru belajar cari masalah.
Satu-satu mulai mengerang. Memegang wajah. Terhina, bukan kerana luka... tapi kerana harga diri mereka yang tercampak.
Tiba-tiba..
Salah satu dari mereka, dengan wajah frustasi, mengangkat tangan hendak memukul sang nenek.
Tapi lengannya tertahan.
Tertahan oleh Hyunwoo.
Tangannya mencengkram lengan itu erat.
Dan matanya..
Mata hitam dan merahnya menatap tajam, memancarkan aura dingin yang membuat si remaja terpaku. Tak bisa bergerak.
Mereka yang melihat... memberku seketika. Seolah hawa dingin dari mereka menjalari tulang mereka.
Hyunwoo hanya berkata satu kata.
'' Keterlaluan ''
Dengan sedikit dorongan, tubuh si anak terpental ke belakang dan jatuh.
'' Biadab '' gumam Hyunwoo perlahan.
Anak-anak itu mulai bangkit. Panik. Mereka kabur. Lari terbirit-birit, tak sempat mengambil tas atau sepatu yang lepas.
'' Nak... '' Suara nenek itu lirih. '' Terima kasih. Nenek gak bisa balas apa-apa... Tapi ini, ambillah.''
Dia menyodorkan satu bungkus plastik. Di dalamnya ada buah epal dan pir. Masih segar.
Hyunwoo menerima. Tanpa menolak.
'' Terima kasih, Nek, '' Ujarnya pelan.
Dia berdiri di tempat. Menatap punggung si nenek yang perlahan menjauh, menuntun gerobaknya.
Senyum kecil menghiasi wajah Hyundai.
Namun... senyum itu perlahan memudar. Wajahnya kembali datar.
Sejak tadi... dia merasa.
Matanya memandang ke jalan besar di sisi seberang. Di tengah deretan mobil yang mengular kerana kemacetan.. ada satu mobil mewah. Hitam legam. Berkilau. Tak bergerak.
Dari dalamnya... ada aura.
Aura itu berbeda dari yang lain. Warna aura itu hitam keunguan, berlapis energi aneh. Bukan aura musuh. Tapi bukan pula yang ramah.
Aura itu... menarik. Seperti memberi energi. Tapi juga membangkitkan sesuatu dalam diri Hyundai.
Dadanya berdesir.
Dia menatap mobil itu lama. Hingga akhirnya dia berpaling. Berjalan menjauh.
'' ... '' Hatinya tidak tenang.
Karna di balik matanya yang unik... dia tahu.
Aura itu.. bukan aura biasa.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa...
hatinya seperti disedot?
