Episode 5
Angin dingin mulai menggigit kulit mereka saat rombongan kecil itu meninggalkan perkemahan. Matahari baru saja terbit, tetapi cahayanya tampak redup di tengah awan kelabu yang menggantung di atas langit. Ayla, Kieran, dan Elyse bergerak cepat, menembus hutan lebat menuju wilayah utara, tempat reruntuhan Sanctum Luminis berada.
Ayla memegang peta yang Elyse berikan, matanya memperhatikan jalur yang mereka tempuh. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, baik karena kegembiraan maupun kecemasan. Perjalanan ini bukan hanya tentang menyelamatkan dunia mereka—ini juga tentang menemukan siapa dirinya sebenarnya di tengah misteri Aetheria.
"Kita akan melewati Sungai Crystaline hari ini," ujar Kieran sambil memandang ke arah depan. Suaranya tegas dan dingin seperti biasa, tetapi ada ketenangan dalam nadanya yang membuat Ayla merasa sedikit lebih tenang. "Setelah itu, kita harus berhati-hati. Hutan Utara penuh dengan makhluk yang tidak ramah."
"Mereka bukan hanya makhluk biasa," tambah Elyse sambil memegang tongkat sihirnya. "Banyak yang percaya bahwa energi Aetheria di daerah ini memengaruhi mereka, membuat mereka menjadi lebih agresif."
Ayla mengangguk pelan. "Jadi, kita harus siap menghadapi apa pun."
Kieran melirik Ayla, matanya tajam. "Jangan terlalu percaya diri. Ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga kecerdikan. Kalau kamu lengah, itu bisa jadi kesalahan terakhirmu."
Ayla menahan diri untuk tidak mendebatnya. Dia tahu Kieran punya maksud baik, meskipun caranya mengungkapkan selalu terasa dingin dan keras.
---
Menjelang Tengah Hari
Rombongan mereka tiba di tepi Sungai Crystaline. Airnya jernih, memantulkan cahaya matahari yang kini berhasil menembus awan kelabu. Di permukaannya, serpihan-serpihan kristal mengapung, mengalir mengikuti arus. Namun, suasana damai itu terasa janggal, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik pepohonan di sekitar mereka.
"Kita harus menyeberangi sungai ini," ujar Elyse sambil mengamati aliran air. "Tapi arusnya cukup deras, dan dasar sungai dipenuhi pecahan kristal. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terluka."
Kieran meneliti sekeliling sebelum berujar, "Aku akan mencari tempat yang lebih dangkal. Tetap di sini sampai aku kembali."
Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Ayla memandang punggung Kieran yang menjauh, merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Meskipun Kieran selalu bersikap dingin, dia sepertinya memiliki beban yang lebih berat dari biasanya.
"Ayla," panggil Elyse, memotong pikirannya. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang salah di sekitar sini?"
Ayla mengerutkan dahi. "Aku merasakan energi yang aneh... seperti ada yang mengawasi kita."
Elyse mengangguk, memegang tongkatnya lebih erat. "Aku juga merasakannya. Bersiaplah. Kita mungkin tidak sendirian."
---
Serangan Tak Terduga
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari dalam hutan. Seekor makhluk besar melompat keluar, tubuhnya tertutup kulit hitam yang keras seperti batu, dan matanya bersinar merah. Makhluk itu menggeram, menunjukkan deretan taring tajam yang meneteskan cairan hijau beracun.
"Beast Aetherial," gumam Elyse dengan nada khawatir. "Makhluk ini adalah hasil mutasi dari energi Aetheria yang tidak stabil!"
Makhluk itu menyerang tanpa peringatan, melompat ke arah Ayla dengan kecepatan yang mengejutkan. Ayla mengangkat tangannya, memanggil energi Aetheria yang menyala biru di sekelilingnya, menciptakan perisai pelindung. Benturan itu membuat Ayla terhuyung mundur, tetapi dia berhasil menahan serangan tersebut.
"Elyse, apa yang harus kita lakukan?" Ayla berteriak sambil mencoba menstabilkan dirinya.
"Kita harus mengalahkannya sebelum dia memanggil kawanan lainnya!" Elyse menjawab, melontarkan serangan sihir ke arah makhluk itu. Cahaya emas menyambar tubuh makhluk tersebut, tetapi serangan itu hanya membuatnya semakin marah.
Makhluk itu mengarahkan serangan ke Elyse, tetapi sebelum cakar tajamnya bisa mengenai, Kieran muncul dari balik pepohonan. Dengan satu ayunan pedangnya yang dipenuhi energi Aetheria, dia menebas makhluk itu dengan presisi sempurna. Makhluk itu menggeram kesakitan sebelum akhirnya jatuh ke tanah, tubuhnya meleleh menjadi cairan hitam yang menyatu dengan tanah.
"Kau terlalu lambat," ujar Kieran dingin, menatap Elyse dan Ayla. "Makhluk ini hanya pembuka. Kita harus bergerak cepat sebelum kawanan lainnya datang."
Ayla merasa hatinya berdebar. Dia tahu Kieran benar, tetapi cara pria itu berbicara selalu membuatnya merasa seperti beban. Namun, dia menepis perasaan itu, fokus pada tugas yang ada.
---
Menjelang Malam
Setelah berhasil menyeberangi sungai dan menjauh dari hutan, mereka mendirikan perkemahan di area dataran tinggi. Elyse sibuk menyiapkan perlindungan sihir di sekitar perkemahan, sementara Kieran mengasah pedangnya dalam keheningan.
Ayla mendekat, duduk di sebelah Kieran. "Terima kasih telah menyelamatkan kami tadi," katanya pelan.
Kieran tidak menjawab langsung, hanya mengangkat pandangan sekilas. "Jangan berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan."
"Tapi tanpa kamu, aku mungkin tidak akan selamat," lanjut Ayla. "Aku ingin menjadi lebih kuat, agar aku tidak selalu bergantung padamu atau Elyse."
Kieran akhirnya berhenti mengasah pedangnya, menatap Ayla dengan mata dinginnya yang seperti menusuk. "Kekuatanmu tidak hanya tentang seberapa besar energi yang bisa kamu keluarkan. Kekuatan itu tentang keputusan yang kamu buat—tentang seberapa jauh kamu bersedia melangkah untuk melindungi apa yang kamu percaya."
Ayla terdiam, merenungkan kata-kata itu. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa di balik sikap dingin dan datarnya, Kieran menyimpan kebijaksanaan yang dalam.
Malam itu, saat mereka beristirahat, Ayla memandangi bintang-bintang di langit. Perjalanan mereka masih panjang, tetapi dia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sebuah keyakinan baru untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Kieran berjaga malam itu, duduk dengan punggung bersandar pada pohon besar. Tangan kanannya memegang gagang pedang yang bersinar redup di bawah cahaya bulan, sementara matanya tetap tajam mengawasi sekeliling. Angin dingin menusuk kulit, tetapi dia tidak terganggu. Keheningan malam hanya dipecahkan oleh suara api unggun yang berderak pelan dan tarikan napas teratur dari Ayla dan Elyse yang sedang tidur.
Di seberang api, Ayla tampak gelisah. Meskipun matanya terpejam, tubuhnya bergerak kecil, seolah berusaha melawan mimpi buruk. Cahaya biru samar dari Aetheria yang melekat pada dirinya tampak berdenyut, mengikuti ritme jantungnya.
Kieran menghela napas. Dia tahu Ayla sedang menghadapi tekanan besar, tetapi dia juga tahu bahwa gadis itu memiliki kekuatan yang belum sepenuhnya dia pahami. Dalam hatinya, dia berharap Ayla mampu mengendalikan kekuatan itu sebelum semuanya terlambat.
---
Mimpi Ayla
Dalam mimpinya, Ayla berdiri di tengah lautan cahaya yang berputar-putar, seolah-olah dunia di sekitarnya adalah pusaran energi tanpa ujung. Di hadapannya berdiri sosok bayangan yang familiar—sosok yang sama yang mereka temui di perkemahan.
"Kau tidak tahu apa yang kau hadapi," ujar sosok itu, suaranya berat dan dalam. "Aetheria bukan hanya kekuatan. Ia adalah kehendak. Dan kehendaknya tidak selalu sejalan dengan kehendakmu."
"Apa maksudmu?" tanya Ayla, suaranya gemetar tetapi penuh keberanian.
Bayangan itu tertawa pelan, suara yang bergema hingga ke sumsum tulangnya. "Kau akan tahu, Ayla. Cepat atau lambat, kau akan tahu. Tetapi ketika saat itu tiba, pertanyaannya adalah... apakah kau akan memilih untuk melawan, atau menyerah?"
Ayla merasa dadanya sesak. Sebelum dia bisa menjawab, cahaya di sekitarnya semakin terang, dan bayangan itu lenyap. Dia terbangun dengan napas terengah-engah.
---
Pagi Hari
Ketika matahari mulai terbit, rombongan kecil itu bersiap melanjutkan perjalanan. Ayla tetap diam sepanjang pagi, memikirkan mimpi aneh yang dia alami. Dia ingin membicarakannya dengan Elyse, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ragu—mungkin karena rasa takut bahwa mimpinya memiliki makna yang lebih dalam daripada yang dia bayangkan.
Kieran, seperti biasa, memimpin jalan dengan langkah tegap dan tanpa ragu. Elyse berjalan di belakangnya, sesekali memeriksa peta untuk memastikan arah mereka. Ayla mengikuti, matanya tertuju pada punggung Kieran. Ada sesuatu yang membuatnya ingin memahami pria itu lebih dalam, meskipun dingin dan sikap datarnya sering kali membuatnya kesal.
"Ayla," suara Elyse memanggil, memotong lamunannya. "Kau terlihat cemas. Ada yang ingin kau ceritakan?"
Ayla ragu sejenak sebelum mengangguk. "Aku bermimpi lagi. Tentang sosok bayangan itu."
Elyse menghentikan langkahnya, ekspresinya serius. "Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang... Aetheria bukan hanya kekuatan, tapi kehendak. Dan kehendaknya tidak selalu sejalan dengan kehendakku," jawab Ayla, suaranya pelan. "Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi rasanya... seolah dia memperingatkanku."
Elyse mengangguk pelan, ekspresi di wajahnya sulit dibaca. "Itu mungkin bukan sekadar mimpi. Energi Aetheria yang mengelilingimu sangat kuat, Ayla. Kadang-kadang, energi itu mencoba berkomunikasi melalui mimpi atau visi."
Kieran, yang telah mendengar percakapan mereka, berhenti dan menoleh. "Kalau begitu, kau harus lebih berhati-hati. Aetheria bisa menjadi sekutumu, tetapi juga musuhmu. Jangan biarkan dirimu kehilangan kendali."
Ayla menatap Kieran, mencoba membaca ekspresi dinginnya. "Kau berbicara seolah-olah kau tahu banyak tentang Aetheria."
Kieran tidak menjawab. Dia hanya kembali melangkah, meninggalkan Ayla dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
---
Menjelang Sore
Saat mereka mendekati perbatasan Hutan Beku, udara semakin dingin, dan salju mulai menutupi tanah di bawah kaki mereka. Pohon-pohon tinggi yang sebelumnya hijau kini berubah menjadi raksasa beku yang berdiri diam seperti penjaga bisu. Langit mulai gelap, meskipun malam masih jauh.
"Kita harus menemukan tempat untuk bermalam sebelum badai datang," ujar Elyse, menunjuk ke arah awan hitam di kejauhan.
Kieran mengangguk dan memimpin mereka ke sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik bukit. Mereka membuat api unggun, mencoba menghangatkan diri dari dinginnya udara.
Namun, suasana yang awalnya tenang berubah ketika suara geraman rendah terdengar dari luar gua. Elyse berdiri dengan cepat, tongkat sihirnya sudah bersinar. Ayla merasa tubuhnya tegang, dan Kieran telah menghunus pedangnya.
Dari kegelapan, sepasang mata merah menyala muncul, diikuti oleh tubuh besar makhluk yang menyerupai serigala, tetapi dengan kulit berlapis es. Makhluk itu menggeram, taringnya meneteskan cairan biru yang tampak beracun.
"Kita tidak bisa melawan di sini. Ruang terlalu sempit," ujar Kieran tegas. "Kita harus keluar dan memancingnya menjauh."
Elyse melirik Ayla. "Kau siap?"
Ayla menelan ludah, tetapi dia mengangguk. "Aku akan mencoba."
Ketiganya melangkah keluar dari gua, menghadapi makhluk besar itu di bawah langit yang mulai bersalju. Ayla merasakan kekuatan Aetheria berdenyut di dalam dirinya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang mungkin menjadi salah satu yang paling menantang.
Ayla berdiri di belakang Kieran, tubuhnya tegang. Angin dingin bertiup semakin kencang, membawa serpihan salju yang memecahkan keheningan malam. Serigala es itu mengeluarkan geraman rendah, suara yang terasa menggetarkan tanah. Makhluk itu lebih besar dari yang terlihat sebelumnya—seukuran kuda dewasa, dengan mata merah menyala yang tajam seperti pisau.
"Kau tinggal di sini," perintah Kieran kepada Ayla tanpa menoleh. "Jangan bergerak tanpa aba-aba."
Ayla ingin membantah, tetapi Elyse menepuk pundaknya lembut. "Percayalah padanya. Dia tahu apa yang dia lakukan."
Sementara itu, Kieran melangkah maju, pedangnya yang berkilauan seperti bulan purnama siap menghadapi ancaman. Suaranya tenang, namun tajam, seperti embusan angin dingin. "Kau hanya buang waktu kalau mengancam kami. Jika kau mencari makan, cari di tempat lain."
Namun, serigala es itu tidak mundur. Malahan, makhluk itu melangkah maju, kukunya yang tajam mencakar tanah berbatu, meninggalkan bekas berkilauan.
"Ayla," Elyse berbisik cepat, "bantulah aku menyiapkan mantra pelindung. Kita mungkin butuh waktu untuk melarikan diri."
Ayla mengangguk, berusaha mengendalikan rasa takutnya. Bersama Elyse, dia mulai merapal mantra perlindungan, suaranya bergetar tetapi cukup stabil untuk mengaktifkan sihir yang mulai membentuk lapisan transparan di sekitar mereka.
Pertempuran Dimulai
Tanpa aba-aba, serigala es melompat ke arah Kieran dengan kecepatan mengejutkan. Namun, Kieran, dengan ketenangan luar biasa, menghindar ke samping. Pedangnya berkilat, memotong udara dengan kecepatan mematikan. Serangan itu mengenai sisi makhluk itu, menciptakan retakan kecil pada lapisan es yang melindungi tubuhnya.
Makhluk itu mengerang, tetapi tidak terjatuh. Sebaliknya, ia semakin buas, menyerang dengan cakarnya yang tajam. Kieran bertahan dengan tenang, menggunakan gerakan lincah untuk menghindar dan menyerang balik. Ayla menyaksikan, kagum sekaligus cemas.
"Kieran itu bukan manusia biasa," gumam Ayla tanpa sadar.
Elyse meliriknya. "Tentu saja tidak. Dia pernah..." Elyse menghentikan kalimatnya, seolah menyadari bahwa dia hampir mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan.
Aetheria Bereaksi
Saat pertempuran berlangsung, Ayla merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Aetheria, yang biasanya hanya memberikan getaran ringan, kini terasa berdenyut lebih kuat. Cahaya biru samar mulai merembes keluar dari tangannya tanpa dia sadari.
"Ayla, kau harus tenang!" Elyse memperingatkan, melihat cahaya itu.
"Aku tidak bisa mengendalikannya!" Ayla berteriak. Dia merasakan energi itu seperti arus deras yang ingin melepaskan diri.
Kieran, yang mendengar itu, menoleh sekilas. Ekspresinya tetap dingin, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan. "Jika kau tidak bisa mengendalikannya, maka jangan lawan. Biarkan energi itu mengalir, tetapi tetap fokus."
Kata-kata Kieran membuat Ayla sedikit tenang. Dia memejamkan mata, mencoba memahami aliran energi dalam tubuhnya. Dalam sekejap, sebuah kilatan cahaya biru terang keluar dari tubuhnya, menciptakan gelombang kejut yang mendorong serigala es menjauh.
Makhluk itu terjatuh, tubuhnya mulai retak lebih parah. Namun, alih-alih melarikan diri, ia mengeluarkan raungan keras yang menggema di seluruh hutan.
Bahaya Baru
Raungan itu disambut oleh suara serupa dari kejauhan. Elyse tampak panik. "Kita harus pergi sekarang. Raungan itu adalah panggilan—makhluk lain akan segera datang."
"Tidak. Kita selesaikan ini dulu," ujar Kieran dingin.
"Apa?!" Elyse membalas dengan nada hampir berteriak. "Kau mau mati di sini?"
Kieran tidak menjawab. Dia melangkah maju, menatap serigala es yang kini bangkit meskipun tubuhnya penuh luka. Dengan gerakan cepat, dia meletakkan pedangnya di tanah, lalu merapalkan sesuatu yang tidak pernah Ayla atau Elyse dengar sebelumnya.
Tanah di bawah kaki Kieran bergetar, dan sebuah lingkaran bercahaya muncul di sekitarnya. Serigala es itu tampak ragu, tetapi sebelum makhluk itu sempat bereaksi, Kieran mengayunkan tangannya. Dari lingkaran itu, muncul rantai hitam yang melesat ke arah makhluk itu, membelit tubuhnya dengan kuat.
Dengan raungan terakhir, serigala es itu jatuh ke tanah, tubuhnya hancur menjadi pecahan es yang tersebar di udara.
---
Setelah Pertempuran
Ayla dan Elyse berdiri membeku, menyaksikan pemandangan itu dengan takjub. Kieran, dengan wajah yang tetap datar, mengambil pedangnya dan memasukkannya kembali ke sarung.
"Sudah selesai. Kita harus bergerak sebelum teman-temannya datang," ujarnya singkat.
Ayla mendekat, masih terengah-engah. "Apa... apa itu tadi? Kau—kau menggunakan sihir?"
Kieran menatapnya sejenak, lalu melangkah pergi tanpa menjawab.
Elyse menyentuh bahu Ayla, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. "Kieran punya caranya sendiri. Kau akan tahu nanti, tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah kita bertahan hidup."
Ayla ingin bertanya lebih jauh, tetapi dia memilih untuk menyimpan pertanyaannya. Ada sesuatu yang jelas disembunyikan oleh Kieran, sesuatu yang membuatnya semakin misterius dan, di mata Ayla, semakin tak tersentuh.
---
