Part 8
Airaa merenggut kesal pada kedua orang tuanya, ternyata dugaan dia benar kan! jika kedua orang tuanya mengajak dirinya ikut hanya untuk mengetahui rencana perjodohan yang sudah mereka rencanakan.
Kedua orang tuanya merencanakan perjodohan untuknya tanpa sepengetahuan dirinya maupun izin darinya. Itulah yang membuat Airaa kesal setengah mati, jika saja mama dan papanya bicara jujur lebih awal padanya. Kemungkinan besar, Airaa tak akan semarah ini.
Dan kemarahan Airaa seakan mau meledak saat lelaki yang ingin di jodohkan dengannya tak kunjung datang. Ia merasa keluarga lelaki itu seperti ingin mengerjai dirinya beserta kedua orang tuanya.
"Sudah, cukup!" teriak Airaa kesal dan menutup kedua telinganya dengan tangan.
Sejak pulang tadi Airaa langsung mengunci dirinya di dalam kamar, ketukan pintu dan suara sang ibu yang tak kunjung berhenti memanggil namanya pun tak ia gubris sama sekali.
Masa bodo bagi Airaa jika di cap sebagai anak durhaka yang kurang ajar. Toh, pada kenyataannya seharusnya ialah yang berhak marah karena merasa telah di tipu.
Jadi, untuk sekali ini saja izinkan Airaa marah. Izinkan Airaa untuk sendiri saat ini, lelah sudah ia selalu menuruti segala keinginan maupun perintah kedua orang tuanya.
Hanya satu keinginan lagi yang belum bisa Airaa penuhi, kedua orang tuanya menginginkan Airaa hijrah dan menjadi seperti Kia.
Apapun itu, jika mengenai Kia maka kedua orang tuanya juga ingin Airaa seperti sepupunya. Kia yang cantik dan soleha, Kia wanita baik bersahaja.
Terkadang Airaa merasa cemburu bila selalu di banding-bandingkan dengan Kia. Tapi Airaa juga tak memungkiri jika ia juga sangat ingin seperti Kia.
Hanya saja semua butuh proses, bukannya instan langsung jadi. Semua orang ingin berubah menjadi orang yang lebih baik lagi, dan itu juga harus melewati proses yang panjang bukan? dan yang terpenting niat, juga kesabaran.
Sampai saat ini niat itu ada, hanya saja Airaa masih belum mampu untuk menjalankannya.
********
Tepukan di punggungnya membuat Dava tersentak bangun, ia menoleh ingin melihat siapa orang yang telah berani membangunkannya.
"Nando?" tanyanya seperti orang linglung.
"Iyee, ini gue."
"Ck. Ngapain lo disini?" tanya Dava seraya mengangkat kepalanya dari meja yang ia tiduri.
"Lhaa, kan, lu yang nelpon gue."
"Apa? Nelpon lu?" Nando mengangguk.
Dava berusaha mengingat-ingat, benarkah yang Nando katakan itu. Jika ia yang lebih dulu menelpon Nando.
"Lu minum?" tanya Nando melihat gelagat Dava seperti orang yang hampir mabuk, dan melihat beberapa botol alkohol kosong yang tergeletak di sofa.
Dava mengangguk. "Minum dikit."
"Dan berakhir ketiduran di sini." ucap Nando merasa iba melihat sahabat somplaknya.
"Memangnya ini dimana?" tanya Dava melihat ke segala arah dan seketika ia sadar jika sekarang ini lagi di kantor.
"Lo ini minum alkohol aja sampai hilang ingatan ya Dav, ckckck." dengus Nando geleng-geleng kepala.
Dava terkekeh sembari memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa berdenyut, mungkin efek alkohol yang ia minum.
"Buang itu!" titah Nando menunjuk ke arah botol-botol kosong itu.
"Udah pagi ya?" tanya Dava seraya memunguti botol-botol alkohol kosong lalu ia masukkan ke dalam plastik kresek kosong.
"Jam dua dini hari," Dava hanya ber-oh-ria menanggapi jawaban Nando.
"Ayo, aku antar pulang!" ajak Nando.
"Gue bawa mobil Ndo."
"Terus, ngapain lo nelpon gue bambang." pecah sudah ke-kesalan Nando.
"Mungkin pas gue nelpon lo itu di antara ambang batas kesadaran dan tidak."
"Di antara ambang batas kesadaran dan tidak. Ehmm, kenapa tidak mati sekalian saja." ucap Nando semakin kesal mendengar ucapan enteng Dava.
"Astogeh Dav, lu doain gue cepat mati ya." cicit Dava seraya menggetok meja, menghalau ucapan Nando yang baginya sangat buruk di dengar.
"Hhh, takut mati juga kan lu."
"Ya iyalah,"
"Ya sudahlah aku pulang saja, daripada menanggapi orang stress disini. Enakan pulang terus melanjutkan hal yang tertunda tadi." ucap Nando senang seraya membayangkan wajah cantik Kia yang sudah ia pastikan telah tertidur.
Tak tahukah Dava saat ia menelpon tadi, sahabatnya itu tengah memadu kasih dengan sang istri di ranjang. Tapi sih sialan Dava seakan memang menguji kesabarannya menelpon berulang kali menimbulkan bunyi suara yang nyaring. Memecahkan segala konsentrasi Nando yang ingin melakukan... Ah, sudahlah. Nando semakin tak tahan jika terus membayangkan dan melanjutkan ucapannya, sebaiknya memang ia pulang dan meminta Kia untuk melakukan 'itu'.
"Jangan lupa buang sampah botol-botol mu itu!" teriak Nando sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Dava yang masih termenung.
