Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10

"Mungkin sekarang kamu biasa saja, tapi nanti? Ingat, penyesalan selalu datang di akhir."

***

Rachel menghela napas seraya menatap pintu rumahnya yang terkunci rapat. Tangannya bergetar, dan nyalinya terlalu kecil hanya untuk mengetuk pintu jati yang sudah tidak kokoh itu.

Baru saja tangan Rachel terangkat, pintu itu terbuka. Berganti dengan sosok Ibu tirinya yang sudah berpakaian rapi. Padahal, ini sudah terlalu malam untuk Ibunya keluar rumah.

"Masih inget rumah ya, kamu?" nada sinis Lena membuat bulu kuduk Rachel berdiri.

"Tadi, aku .... " Rachel menggigit bibir bawahnya. Mata Rachel menatap ke sana kemari, mencari alasan yang tepat agar Lena tidak marah. Tidak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya kalau ia pingsan dan ditolong oleh Aldi, bukan?

"Sudah, masuk sana. Mood saya lagi bagus." Lena mendorong tubuh Rachel masuk ke dalam rumah. "Sebagai hukuman, malam ini kamu nggak usah makan."

Setelah berucap seperti itu, Lena melengos. Perempuan itu pergi entah ke mana, meninggalkan Rachel sendirian.

Rachel bisa menghela napas lega. Setidaknya Lena tidak menyiksa Rachel karena gadis itu pulang terlambat. Itu sudah lebih cukup daripada ia dipukuli oleh Lena dan mendapat hukuman ganda. Dipukul dan tidak diberi makan.

Dengan langkah lunglai, Rachel mulai berjalan menuju kamarnya. Gadis itu segera membaringkan tubuh mungilnya ke atas kasur. Lelah, seluruh tubuh Rachel rasakan.

Gadis itu menghela napas, ia baru menyadari efek dari hujan tadi. Badannya mulai terasa demam, kepalanya sakit dan seluruh tulangnya terasa remuk.

Ditambah lagi yang paling sakit saat ini adalah, hatinya.

"Lo udah lepas dari Darren, Chel. Lo harus move on, lo bisa. Ngadepin Mama Lena aja lo kuat, masa ngadepin patah hati nggak bisa?" ucap Rachel pada dirinya.

Tidak ada yang menyemangati Rachel, tidak ada yang mendukung Rachel. Ia harus bisa berdiri sendiri.

Di tengah lamunannya, ponsel Rachel berdering. Gadis itu segera meraih ponselnya yang ada di kantong seragam, kemudian menggeser icon hijau di layar.

"Halo?"

"Chel, lo nggak papa?" Sambar Luna begitu teleponnya tersambung.

Rachel menarik senyum. "Nggak papa, Lun."

"Nggak papa apanya? Suara lo lemes banget kayak nggak makan setahun. Ngaku lo diapain sama Mama tiri lo, Chel!" Hardik Luna. Gadis itu memang selalu paham keadaan Rachel.

"Lo tahu sendiri lah gimana nyokap gue, Lun."

"Kata Aldi tadi lo pingsan?"

"Iya, tadi gue hujan-hujanan."

"Gue on the way ke rumah lo sekarang, Chel. Lo tunggu, ya!" ucap Luna di sebrang sana.

Rachel kembali menarik senyum. Ia beruntung memiliki sahabat seperti Luna. "Nggak usah, Lun. Rumah gue dikunci dari luar."

"Bukan Luna namanya, kalau hal kecil kayak gitu doang gue nggak bisa." Luna kemudian mematikan sepihak teleponnya.

***

Darren baru saja tiba di Warkop Gastra. Cowok itu belum pulang ke rumah, dan masih memakai seragam putih abu-abunya.

Baru saja Darren duduk di sebelah Mika, cowok itu langsung berdiri. Darren mendongakkan kepalanya, menatap Mika yang berdiri di sampingnya dengan kerutan di dahi.

"Mau ke mana, lo?" tanya Darren.

"Luna minta temenin gue ke rumah Rachel, gawat katanya," jawab Mika. Cowok itu nampak bergegas.

"Lo nggak jadi putus?" Darren menaikkan sebelah alisnya.

"Justru gue bakalan putus beneran kalo gue nggak nyamperin Luna sekarang," Mika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "lo nggak ikut, Dar? Ke rumah cewek lo ini."

"Nggak." Darren bangkit dari posisinya dan berjalan masuk ke dalam warkop.

Mika menatap Darren seraya menggelengkan kepalanya, tepukan di bahu membuat Mika menoleh ke belakang dan mendapati Bara yang juga tengah menatap Darren dengan tatapan yang sama dengannya.

"Itu orang keknya lagi banyak masalah," gumam Brian.

Mika menaikkan sebelah alisnya. "Kata siapa?"

"Dari mukanya keliatan." Bara menunjuk Darren dengan dagunya, "tuh, dia ngambil rokok."

"Darren kan ngerokok kalau dia ngerasa nggak nyaman atau gelisah."

Mika menoleh ke arah Bara. "Iya juga. Kenapa, ya? Dihukum Bu Fero apa gimana?"

"Sekolah mana ngaruh bikin dia kek gitu? Pasti ada sangkutan sama keluarganya," ucap Bara. Cowok itu tahu betul Darren.

"Gu–" ucapan Mika terhenti saat ponselnya berdering.

Mika merogoh saku jaketnya, meraih benda pipih itu. Matanya membulat sempurna ketika deret nama Luna terpampang di sana, Mika menepuk jidat.

"Anjir, mampus gue!" Cowok itu langsung berlari ke arah motornya.

"Mik!" Teriak Bara saat Mika pergi begitu saja. Cowok itu mendesis. "Dasar bucin."

"Mungkin sekarang kamu biasa saja, tapi nanti? Ingat, penyesalan selalu datang di akhir."

***

Rachel menghela napas seraya menatap pintu rumahnya yang terkunci rapat. Tangannya bergetar, dan nyalinya terlalu kecil hanya untuk mengetuk pintu jati yang sudah tidak kokoh itu.

Baru saja tangan Rachel terangkat, pintu itu terbuka. Berganti dengan sosok Ibu tirinya yang sudah berpakaian rapi. Padahal, ini sudah terlalu malam untuk Ibunya keluar rumah.

"Masih inget rumah ya, kamu?" nada sinis Lena membuat bulu kuduk Rachel berdiri.

"Tadi, aku .... " Rachel menggigit bibir bawahnya. Mata Rachel menatap ke sana kemari, mencari alasan yang tepat agar Lena tidak marah. Tidak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya kalau ia pingsan dan ditolong oleh Aldi, bukan?

"Sudah, masuk sana. Mood saya lagi bagus." Lena mendorong tubuh Rachel masuk ke dalam rumah. "Sebagai hukuman, malam ini kamu nggak usah makan."

Setelah berucap seperti itu, Lena melengos. Perempuan itu pergi entah ke mana, meninggalkan Rachel sendirian.

Rachel bisa menghela napas lega. Setidaknya Lena tidak menyiksa Rachel karena gadis itu pulang terlambat. Itu sudah lebih cukup daripada ia dipukuli oleh Lena dan mendapat hukuman ganda. Dipukul dan tidak diberi makan.

Dengan langkah lunglai, Rachel mulai berjalan menuju kamarnya. Gadis itu segera membaringkan tubuh mungilnya ke atas kasur. Lelah, seluruh tubuh Rachel rasakan.

Gadis itu menghela napas, ia baru menyadari efek dari hujan tadi. Badannya mulai terasa demam, kepalanya sakit dan seluruh tulangnya terasa remuk.

Ditambah lagi yang paling sakit saat ini adalah, hatinya.

"Lo udah lepas dari Darren, Chel. Lo harus move on, lo bisa. Ngadepin Mama Lena aja lo kuat, masa ngadepin patah hati nggak bisa?" ucap Rachel pada dirinya.

Tidak ada yang menyemangati Rachel, tidak ada yang mendukung Rachel. Ia harus bisa berdiri sendiri.

Di tengah lamunannya, ponsel Rachel berdering. Gadis itu segera meraih ponselnya yang ada di kantong seragam, kemudian menggeser icon hijau di layar.

"Halo?"

"Chel, lo nggak papa?" Sambar Luna begitu teleponnya tersambung.

Rachel menarik senyum. "Nggak papa, Lun."

"Nggak papa apanya? Suara lo lemes banget kayak nggak makan setahun. Ngaku lo diapain sama Mama tiri lo, Chel!" Hardik Luna. Gadis itu memang selalu paham keadaan Rachel.

"Lo tahu sendiri lah gimana nyokap gue, Lun."

"Kata Aldi tadi lo pingsan?"

"Iya, tadi gue hujan-hujanan."

"Gue on the way ke rumah lo sekarang, Chel. Lo tunggu, ya!" ucap Luna di sebrang sana.

Rachel kembali menarik senyum. Ia beruntung memiliki sahabat seperti Luna. "Nggak usah, Lun. Rumah gue dikunci dari luar."

"Bukan Luna namanya, kalau hal kecil kayak gitu doang gue nggak bisa." Luna kemudian mematikan sepihak teleponnya.

***

Darren baru saja tiba di Warkop Gastra. Cowok itu belum pulang ke rumah, dan masih memakai seragam putih abu-abunya.

Baru saja Darren duduk di sebelah Mika, cowok itu langsung berdiri. Darren mendongakkan kepalanya, menatap Mika yang berdiri di sampingnya dengan kerutan di dahi.

"Mau ke mana, lo?" tanya Darren.

"Luna minta temenin gue ke rumah Rachel, gawat katanya," jawab Mika. Cowok itu nampak bergegas.

"Lo nggak jadi putus?" Darren menaikkan sebelah alisnya.

"Justru gue bakalan putus beneran kalo gue nggak nyamperin Luna sekarang," Mika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "lo nggak ikut, Dar? Ke rumah cewek lo ini."

"Nggak." Darren bangkit dari posisinya dan berjalan masuk ke dalam warkop.

Mika menatap Darren seraya menggelengkan kepalanya, tepukan di bahu membuat Mika menoleh ke belakang dan mendapati Bara yang juga tengah menatap Darren dengan tatapan yang sama dengannya.

"Itu orang keknya lagi banyak masalah," gumam Brian.

Mika menaikkan sebelah alisnya. "Kata siapa?"

"Dari mukanya keliatan." Bara menunjuk Darren dengan dagunya, "tuh, dia ngambil rokok."

"Darren kan ngerokok kalau dia ngerasa nggak nyaman atau gelisah."

Mika menoleh ke arah Bara. "Iya juga. Kenapa, ya? Dihukum Bu Fero apa gimana?"

"Sekolah mana ngaruh bikin dia kek gitu? Pasti ada sangkutan sama keluarganya," ucap Bara. Cowok itu tahu betul Darren.

"Gu–" ucapan Mika terhenti saat ponselnya berdering.

Mika merogoh saku jaketnya, meraih benda pipih itu. Matanya membulat sempurna ketika deret nama Luna terpampang di sana, Mika menepuk jidat.

"Anjir, mampus gue!" Cowok itu langsung berlari ke arah motornya.

"Mik!" Teriak Bara saat Mika pergi begitu saja. Cowok itu mendesis. "Dasar bucin."

REVISI 17 MEI 2020

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel