Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 1

Perkenalkan pria yang sekarang sedang duduk di meja kerja dengan kopi hangat di tangan sebagai pengawal untuk paginya. Pria dengan wajah sedikit oriental tapi memiliki rahang tegas dengan kulit yang cukup gelap. Jangan lupakan tinggi badan dengan tubuh yang proporsional itu.

Namanya Dante Derova Reuven.

Jika kalian tak asing dengan nama belakangnya, maka mungkin tebakan sebagian dari kalian itu benar. Dialah si sulung dari kembar tiga pasangan Alder dan Lova. Pasangan paling fenomenal tahun 2k19. Hahaha...

Dan, sapaannya, baru menginjak umur 23 tahun. Tapi sekarang dia sudah menjabat sebagai ketua devisi radiologi di rumah sakit milik ayahnya sendiri. Anggap saja dia beruntung karena langsung bekerja setelah lulus meski di rumah sakit milik sang ayah, tapi Dante akan bekerja dengan sepenuh hatinya untuk membantu orang yang membutuhkan.

Awalnya, Dan tidak berniat menjadi seorang radiografer. Tapi melihat kedua saudaranya yang sudah memiliki pandangan untuk masa depan mereka masing-masing, Dan akhirnya memilih radiologi untuk pendidikan selanjutnya. Delaney sudah menjadi dosen di Universitas milik keluarga Prasiarkana. Lalu Declan, meski belum menyelesaikan kuliahnya, tapi si bungsu itu sudah memiliki banyak pekerjaan untuk memenuhi uang jajannya sendiri.

“Ibu sih terserah kamu aja, Mas. Mau jadi dokter sekalian juga nggak papa,” ujar ibunya beberapa tahun yang lalu kala Dante menanyakan soal kelangsungan pendidikannya.

“Sekolah kedokteran mah lama, Mom,” balas Dan.

“Ato kamu nikah aja deh, Mas. Kan Ibu bisa cepet jadi nenek.”

Dante menyipitkan matanya saat melihat ada binar harapan dari wajah sang ibu. “Mom! We just talked about my education. Tiba-tiba ngomongin nikah masa. Umur Dan belum cukup 20 tahun. Baru dapet KTP setahun lalu loh, Mom.”

Terdengar dengusan dari sang ibu. “Tapi bilangnya kedokteran lama pendidikannya. Sekali ibu minta kamu nikah nggak mau juga.”

“Ya nggak harus nikah juga dong, Mom.”

“Tauk, ah! Tanya aja sana sama daddymu. Ibu nggak tahu yang begituan.” Lova, sang ibu, berdiri dan berlalu.

“Mom! Kok pergi? Ngambekkan, ih,” teriak Dante dengan melihat punggung ibunya.

“Terserah. Ibu sebel.” Tanpa menoleh, sang ibu membalas.

Dante hanya bisa menghela napas dengan sikap sang ibu yang memang terlihat seperti gadis remaja. Dikelilingi empat orang laki-laki membuat ibunya cenderung bersikap manja. Karena empat pria di rumah itu tidak ingin mencari masalah dengan si pemilik kekuasaan keturunan kedua dan ketiga keluarga Reuven.

Tidak akan ada makanan untuk sarapan, makan siang bahkan makan malam jika mereka membuat tuan Ratu itu marah. Ruang TV akan menjadi sepi karena diam adalah amarah paling menakutkan dari tuan Ratu yang membuat seluruh penghuni rumah itu takut untuk keluar dari kamar.

“Maklumin deh. Umur ibu kalian hampir enam puluh. Emosinya udah level nini-nini,” ujar sang paman kala itu pada Dante dan kedua saudara kembarnya. Petuah yang membuat si paman berakhir dengan biru di lengannya karena gigitan sang ibu.

Tak terkecuali ayah mereka. Jika ibunya marah, maka sang ayah mungkin akan mengungsi tidur di salah satu kamar anak-anaknya. Tidak ada bisikkan-bisikkan manja sebelum tidur, atau helaan napas berat untuk memanaskan malam mereka, pun ciuman pengantar tidur. Alder, ayah mereka, bahkan tidak bisa masuk ke kamar karena tuan Ratu sedang marah, mengunci pintu dan ingin tidur sendiri.

Pernah sekali waktu, Dante terlonjak kaget saat membuka kamarnya yang sudah terang karena sang ayah sudah tengkurap di atas kasur untuk bersiap tidur.

“Daddy tidur sama kamu ya, Mas? Ibu lagi ngambek gara-gara daddy lupa kapan harusnya ibu dateng bulan.”

Dante meringis tak percaya. “Timbang dateng bulan doang, Dad. Mom bener-bener tega deh sama Daddy.”

Terdengar kekehan dari sang ayah yang masih tengkurap. “Ibu marah gitu ngegemesin tahu, Mas. Daddy nggak bisa sebel, pengennya makin ngelonin gitu. Tapi nggak dibukain kamar sih.”

“Segitu sayangnya ya, Daddy sama Mom?” Tidak bisa Dante pungkiri bahwa sang ayah adalah manusia tersabar yang bisa menghadapi segala sifat sensitif si ibu.

Usia pernikahan kedua orang tuanya hampir memasuki tahun ke-25. Tapi Dante bahkan tidak pernah melewatkan sikap mesra kedua orang tuanya setiap hari. Kecuali jika si ibu marah.

Dante berbaring di samping ayahnya yang membuka mata dengan senyuman hangat.

“Someday, kamu bakal ngerti, Mas. Cinta sama sayang itu kalo udah bersatu jadi kuat banget. Mau gimana juga sifat pasangan yang harus dihadapi, hidup bersama tetep harga mati yang kedua belah pihak inginkan. Dan asal kamu tahu, ngedapetin ibu kalian itu payah banget. Jadi nggak mungkin kalo Daddy gitu aja berpaling cuma gara-gara ibu sering ngambek begitu.” Kekehan kembali terdengar sebagai penutup penuturan sang ayah.

Apa ini yang dinamakan couple goals? Atau relationship goals? Dante tidak bisa mengelak jika dia benar-benar mengidolakan kedua orang tuanya. Mengharapkan, suatu saat nanti juga akan menemukan perempuan yang bisa membuatnya terus mencintai tanpa rasa bosan karena sifatnya. Juga berharap, dia akan menjadi laki-laki penyabar seperti sang ayah.

Dari ayahnya, Dante belajar banyak hal. Selain dari sikap penyabar, Dante juga sering bertukar pikiran tentang apa yang harus diambil soal masa depannya. Bukan Dante tidak bisa memutuskan sendiri, tapi rasanya pendapat ayahnya seperti sebuah restu yang akan membuat usahanya berhasil nanti.

“Ambil radiografi aja, Mas. Rumah sakit daddy kekurangan tenaga radiografer. Nanti kalo kamu udah selesai pendidikan, langsung kerja di rumah sakit aja bantuin Unclemu.”

“Pendidikannya lama nggak, Dad?”

“Dari kemarin itu aja sih yang ditakutin, Mas.” Mohon mengerti bahwa itu suara ibunya yang sekarang terlihat kesal. “Gak ada pendidikan yang sebentar. Tapi kalo kamu beneran cerdas, yang lama itu bakal kamu lalui dengan baik dan keliatannya jadi bentar. Kalo nggak mau lama ya nggak usah sekolah aja.”

Dante tersungut mendengar omelan sang ibu. Melihat ke arah ayahnya dengan wajah meminta bantuan. Dan senyuman hangat itu menjadi awal balasan untuk omelan ibunya dari sang ayah.

“Sayang. Ditanyain anaknya kok marah-marah, sih? Anaknya jadi takut loh.”

Lova melirik Dante yang mengerucutkan bibirnya. “Gak usah manyun-manyun, Mas. Ibu tahu kamu seneng Ibu diomelin Daddy.” Ucapan sang ibu membuat Dante merapatkan bibirnya untuk menahan kekehan.

“Ambil yang 7 semester aja, Mas. Cari PTN yang menyediakan jurusan radiografi yang 7 semester. Jadi lulusnya langsung ke spesialis, Sp. Rad. Tapi tetep, kamu harus ikut pendidikan kedokteran lebih dulu, baru ambil spesialis. Nggak papa lama, Mas. Biar kamu lebih diandelin nantinya.”

Itulah kenapa Dante selalu menghormati ayahnya lebih dari apa pun. Selalu ada kalimat-kalimat penenang yang sarat akan nasihat untuk mengambil keputusan yang lebih baik.

Dante kembali menyesap kopinya dengan senyuman setelah mengingat keputusannya menjadi radiografer. Toh nyatanya sekarang, dia sudah melalui dengan baik dan menunaikan pekerjaannya dengan selalu berusaha maksimal.

***

“Pam.” Dante menepuk pelan bahu seseorang yang sedang sibuk dengan papan pemerikasaan di tangannya.

Terdengar decakan kesal dari orang itu setelah menoleh. “Dibilang jangan manggil begitu. Panggil Uncle, Dan. Biar keren ini Unclemu. Jangan Pam Pam, kayak apaan aja coba. Didenger pasien malu, tauk.”

Dante terkekeh melihat wajah kesal dari Arnav, sang Paman. “Pam itu kan singkatan dari Paman, Pam. Apa bedanya Uncle sama Paman coba? Artinya sama aja.”

“Tetep beda! Uncle ini udah keren dari jaman pendidikan kedokteran dulu ya, Dan. Jangan jatuhin pamor.”

“Ih, ganjen. Aku bilangin Titi Eplin baru tahu rasa deh.”

“Tuh, kan. Mainnya ngadu-ngadu kayak bocah TK dipelorotin celananya.”

Dante kembali terkekeh. Pamannya ini adalah adik dari sang Ibu yang sekarang menjabat sebagai Direktur Utama rumah sakit. Karena Ayahnya tidak memiliki bakat di dunia kesehatan dan tidak memiliki saudara, jadilah sang Paman yang diberikan amanah untuk menjalankan rumah sakit keluarga Reuven itu.

“Setelah makan siang kita ada rapat ya, Dan. Udah tahu kan kalo ada penambahan perawat buat radiografi?” Dante mengangguk menanggapi ucapan Pamannya. “Good. Karna kamu Dokter Ketua devisinya, Uncle nggak kasih keringanan kalo kamu telat rapat nanti.”

“Siap, Pam.”

“Masih aja!”

Tawa tak lagi bisa ditahan Dante setelah melihat wajah kesal pamannya yang langsung berlalu. Yang Dante tahu bahwa Pamannya ini memang orang yang humoris. Tapi jangan tanyakan soal profesionalitas. Sang paman sangat tegas dan tidak mentolerir orang-orang yang tidak bisa menjaga tanggung jawab. Dari pamannya, Dante belajar soal profesionalitas kerja. Ayahnya juga sempat mengatakan hal serupa tentang sang Paman.

“Jangan ngerasa kamu anak Daddy terus Unclemu bakal meng-anak emaskan kamu, Mas. For your information, Uncle itu lebih tegas daripada Daddy.” Dan sekarang, Dante percaya itu.

Karena tidak ingin mendapat hukuman dari Pamannya, setelah menghabiskan bekal dari sang Ibu, Dante bergegas menuju ruang rapat perkenalan calon-calon perawat baru untuk timnya.

“Ck! Shit!” Dante mengumpat karena melupakan jas putih yang menandakan dia tenaga kesehatan itu di ruangan kerjanya.

Dante berbalik arah untuk kembali ke ruangannya. Karena tidak terlalu fokus, Dante berjalan dengan melihat berkali-kali ke arah jamnya. Sehingga membuatnya menabrak seseorang.

“Gosh! Are you blind?” teriakkan itu membuat Dante sedikit terkejut. Gadis dengan baju putih dari atas sampai ke sepatunya itu melihat Dante dengan wajah kesal. “Beresin berkas-berkas gue!” Nada itu benar-benar penuh dengan perintah.

Dante berkerut. “What?”

Gadis itu menutup matanya sekilas. Rambut sebahunya menari pelan. “Lo yang nabrak gue dan buat berkas-berkas gue berantakan di lantai kayak gini. Jadi lo harus tanggung jawab dan beresin semuanya. Gue harus cepet karena ada rapat penting.” Gadis itu mendekat ke arah Dante yang bergeming. “Gak perlu ada perdebatan. Do it, now!”

Dante memang tak berniat untuk mendebat. Dengan wajah datar, Dante memungut berkas-berkas gadis yang berdiri dengan menyilangkan lengannya itu.

“Lo gak berniat bilang ‘sorry’ ke gue?” tanya gadis itu setelah Dante mengulurkan berkas-berkasnya yang sudah kembali rapi.

“Gue punya urusan yang jauh lebih penting dari pada cuma bilang sorry ke elo.” Dante berlalu tanpa menunggu reaksi gadis yang sudah hendak kembali berbicara itu.

Gadis itu melihat ke arah Dante dengan wajah kesal. “Cih! Ganteng-ganteng sok ganteng. Untung beneran ganteng, sombongnya gak sia-sia.” Gadis itu juga berlalu. Meninggalkan tempat pertemuannya dan Dante.

Dante menghentikan langkahnya. Lalu menoleh dan melihat punggung gadis yang berjalan sedikit tergesa itu. “Keitha Evolet,” gumamnya tak di dengar siapa pun.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel