Bab 7. Gadis Menyebalkan dan Merepotkan
Vintari meringis menahan nyeri saat perawat mencabut selang infus dari tangannya. Matanya terpejam rapat karena tak ingin melihat darahnya yang sedikit naik pada ujung selang dekat jarum. Hal itu membuat Zeus memicingkan matanya, heran dengan sikap Vintari yang menurutnya terlalu berlebihan.
Setelah perawat tadi keluar dari kamar rawat, Zeus menyilangkan tangannya di depan dada, sambil bersandar pada dinding dekat sofa. “Ceroboh, tak bisa merawat diri sendiri, dan takut dengan jarum. Benar-benar ciri khas dari gadis kecil,” ucapnya sinis.
Vintari menoleh sambil mengerutkan keningnya. Sorot matanya terlihat ganas, seakan ingin menelan pria yang terus-terusan membuatnya kesal. “Sebagai informasi, aku tidak takut jarum, ya!” sanggahnya.
Zeus menyeringai tak percaya, lalu menurunkan kedua tangannya dan berjalan menuju pintu. “Cuci muka dan rapikan rambutmu. Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya, sesaat sebelum dia benar-benar menutup pintu kamar.
Vintari mengerang sambil meremas ujung selimut yang masih menutup separuh kakinya. Sikap Zeus benar-benar menguras energinya. Perlahan, dia turun dari ranjang pasien dan menuju ke kamar mandi. Pantulan wajahnya pada cermin wastafel yang masih sedikit pucat terlihat menyedihkan. Helaan napas terdengar sebelum dia menyalakan kran air. Sejak ucapan perjodohan terlontar dari kedua orang tuanya, hidupnya menjadi tidak baik-baik saja.
Tak lama, Zeus kembali saat Vintari keluar dari kamar mandi. “Kau sudah selesai? Ayo pulang,” ucapnya datar tanpa basa-basi.
Vintari hanya menoleh, melengos sambil berlalu di depan Zeus untuk keluar dari kamar rawat. Zeus menghela napas kesal melihat sikap Vintari yang menurutnya sangat kekanak-kanakan. Jika saja dia tidak ingat penyebab sakitnya gadis itu karenanya, dia pasti sudah membiarkannya pulang sendiri.
Di dalam mobil, Zeus segera menyalakan penghangat mobil dan memastikan Vintari sudah memasang sabuk pengaman dengan benar. Bukan karena peduli, tapi dia adalah tipe orang yang sangat mengutamakan keselamatan dalam berkendara.
Vintari memperhatikan Zeus yang sedang mengemudi. Pikirannya sedang berdebat untuk menanyakan tentang keberadaan pria itu di kampusnya, atau tidak membahasnya sama sekali. Masalahnya, hatinya menjadi tak tenang jika tidak mengetahuinya.
“Tadi ..., kenapa kau ada di sana?” tanya Vintari, pada akhirnya. Gadis itu sudah mati penasaran ingin tahu kenapa bisa Zeus berada di kampusnya.
“Di sana? Di mana maksudmu?” Zeus balik bertanya tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan.
“Kampusku, di mana lagi. Ck! Katakana kenapa kau di sana?” ketus Vintari.
Zeus memandang Vintari sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan yang padat. “Ada hal yang harus kulakukan, dan itu bukan urusanmu. Jangan terlalu banyak ingin tahu tentang apa yang bukan menjadi urusanmu.”
Vintari terdiam mendengar jawaban Zeus. Baginya, sikap dingin dan seenaknya sendiri memang sudah melekat pada sosok pria itu. Namun, mendengar nada ketusnya yang seperti itu tetap saja membuat dadanya sesak.
“Sudah kuduga, pasti itu hanya kebetulan. Mana mungkin dia datang untuk menemuiku,” gerutu Vintari pelan.
Meskipun Vintari mengatakan itu dengan sangat pelan, tapi Zeus samar-samar mendengarnya. Pria itu menatap Vintari dari sudut matanya. “Kau bilang apa?”
Vintari menggeleng sambil memandang pemandangan malam dari balik jendela mobil. “Bukan apa-apa. Fokus saja menyetirnya. Jangan hiraukan semua hal yang kukatakan atau kulakukan.”
Mendengar itu, Zeus sedikit merasa bersalah dan menganggap dirinya terlalu ketus pada gadis itu. Akan tetapi, pria itu tak mungkin bersikap berpura-pura baik. Dia melirik jam di dasbord mobil. Sudah jam makan malam tiba. Kali ini, dia tidak ingin dituduh lagi sebagai orang yang tidak bertanggung jawab pada perut Vintari. Dia membelokkan mobilnya pada sebuah restoran populer yang terlihat telah ramai oleh para pengunjung.
“Vintari, bisakah kau turun dulu untuk mencari tempat? Aku akan memarkir mobilku dulu,” ucap Zeus setelah berhenti tepat di depan restoran.
Vintari memperhatikan sekeliling, lalu menatap Zeus dengan tatapan bingung dan tak mengerti. “Kau mengajakku makan dulu di sana?” tunjuknya ke restoran yang dimaksud oleh Zeus.
Zeus mengangguk. “Cepatlah turun dan carikan tempat. Ok? Aku parkir dulu.”
Pengunjung di restoran itu cukup ramai. Zeus melihat banyak mobil yang parkir. Pria itu sengaja meminta Vintari mencari tempat lebih dulu, sedangkan dirinya mencari tempat untuk parkir.
“Jadi aku turun sendiri?” tanya Vintari lagi.
Zeus berusaha bersabar. “Kau dengar apa yang aku katakana tadi, kan?”
Vintari berdecak pelan. “Iya-iya. Kau galak sekali.”
Vintari mencebikkan bibirnya sambil membuka pintu mobil dengan kasar. Meskipun malam ini sikap Zeus lebih baik dari kemarin, tapi tetap saja ada bagian yang membuatnya kesal. Hawa dingin bulan Desember membuat tubuhnya mengejang. Coat yang tidak begitu tebal segera dia rapatkan—sebelum berlari kecil menuju pintu restoran populer yang terletak di pusat kota Manhattan.
Ini adalah kunjungannya kesekian kali. Suasana yang akrab membuatnya tidak canggung untuk mencari tempat. Seorang waitres menyapanya ramah, lalu menunjukkan sebuah meja untuk dua orang di sisi kanan restoran—yang menempel pada dinding dengan lukisan abstrak yang menggantung setelah Vintari mengatakan dia datang berdua.
Vintari mengucap terima kasih, lalu melangkah penuh percaya diri ke arah meja yang ditunjuk. Pada saat itu juga, dia menemukan sosok yang membuatnya panik karena salah tingkah. Zayn—pria yang dia cintai juga berada di sana dengan teman-temannya. Refleks langkahnya tertahan untuk menatap Zayn lebih lama.
Setidaknya, itu adalah rencana awal sebelum Zayn menengok padanya dan membuatnya langsung melompat cepat ke balik pohon natal besar yang berada di dekatnya. Jantungnya berdetak kencang. Walaupun dia merasa ini adalah kebetulan yang manis, tapi dia tidak ingin Zayn melihatnya. Terlebih dia datang bersama dengan Zeus. Jika saja Vintari datang hanya sendiri, dia tidak akan sepanik ini. Ah, sial! Vintari meloloskan umpatan dalam hati.
Tepukan di pundak berhasil membuat Vintari berjingkat terkejut. Maniknya membulat sempurna, tapi langsung berganti dengan napas lega saat menyadari bahwa Zeus yang berada di depannya. Kening pria itu mengerut sampai alisnya bertaut.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak salah mencari tempat, kan?” tanya Zeus, dengan raut menuntut penjelasan kenapa Vintari justru bersembunyi di balik pohon natal ini, alih-alih mencari meja.
“Sssssttt! Jangan berisik.” Telunjuk Vintari terangkat dan mengarah pada bibirnya. “Ada orang yang kusukai di sini. Bisakah kita mencari tempat lain saja? Please!”
Raut wajah Zeus berubah mendengar permintaan konyol dari Vintari. Detik itu juga dia menarik tangan Vintari sampai dia berdiri dengan terhuyung. Pria itu merasa kesal dengan tingkah Vintari yang selalu membuatnya pusing.
“No! Kita sudah di sini, buat apa mencari restoran lain?” ketus Zeus.
Vintari masih berusaha memelas pada Zeus. Dia benar-benar tidak ingin Zayn melihat keberadaannya di sini. “Tolonglah, aku tidak ingin dia melihatku sedang bersamamu,” ucapnya, dengan tetap menahan tangan Zeus.
“What the fuck! Urusan percintaanmu tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak peduli orang yang kau sukai itu melihat kita. Lagi pula, itu adalah cinta sepihak, kan? Kau yang mengaguminya, dan bisa saja pria itu tidak peduli sama sekali denganmu. Jadi, buat apa kau bertingkah seperti ini?” Zeus melontarkan kalimat pedas.
Wajah Vintari telah memerah karena menahan kesal. Dia tak lagi memedulikan beberapa pasang mata yang memperhatikan perdebatan mereka. “Kau benar-benar tidak memiliki empati, ya!? Rasa kemanusiaanmu sudah hilang atau memang tak ada sedikit pun? Aku hanya meminta tolong hal sederhana seperti itu, tapi kau benar-benar tidak mau membantuku!” Gadis itu memberanikan diri menyemburkan emosinya.
Zeus sedikit terkejut melihat reaksi dari Vintari. Dia menjadi penasaran dengan sosok yang telah membuat gadis ceroboh itu tergila-gila. Pandangannya menyebar pada seluruh ruangan yang bisa dijangkau oleh matanya. Namun, sebelum dia berhasil menemukan sosok itu—Vintari telah benar-benar menariknya ke luar restoran. Kali ini, Zeus tidak menahannya lagi. Dia membiarkan Vintari untuk menarik lengannya sampai di depan mobil yang terparkir jarak tiga blok dari restoran.
“Buka mobilmu,” ketus Vintari.
Zeus mengumpat dalam hati. Dia malas berdebat yang ujungnya akan menjadi pusat perhatian banyak orang. Terpaksa pria itu menurutinya tanpa bicara, sedangkan Vintari segera masuk ke dalam mobil. Helaan napas lega terdengar beberapa kali pada gadis itu yang tengah bersandar sambil memejamkan matanya. Sementara Zeus, kesabarannya benar-benar merasa diuji atas tingkah Vintari yang membuatnya sangat kesal.
“Shit! Apakah aku harus benar-benar menikah dengan gadis merepotkan seperti bocah ini?!” umpat Zeus dengan penuh rasa jengkel.
