Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1

Januari 2011

Prang... !!

Aku terkesiap saat melihat piring ke 3 yang sudah aku jatuhkan.

"KIRANA!!" suara teriakan itu menggema di restoran tempatku bekerja.

"KAU BISA KERJA ATAU TIDAK, HAH!!!" Suara itu membuat seisi restoran melihat ke arahku dan juga Bu Siska yang tengah memarahiku.

"Maafkan saya, Bu. Saya-"

"Kau dipecat!! Pergi dari sini!!"

"T-tidak, Bu. T-tolong jangan pecat saya. Saya membutuhkan pekerjaan ini." Aku berlutut di depan Bu Siska, tanganku memegang kakinya.

"Kau akan membuatku bangkrut!! Kerja tidak becus, melamun dan memecahkan piring-piringku. Pergi dari sini!! Tidak ada lagi pekerjaan untukmu!!" Bu Siska menyentak tanganku lalu segera pergi.

Aku segera bangkit, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.

"Kak Rana." Langkahku terhenti. Itu suara Nadia, tetangga di kontrakanku.

"Ada apa, Nad?"

"Nenek, Kak. Nenek tidak sadarkan diri, sekarang dibawa ke rumah sakit sama Ibu."

Jantungku seakan lepas, aku sudah terlalu sering berada dalam situasi ini tapi aku masih belum terbiasa.

"K-kita ke rumah sakit, Nad. A-ayo." Aku segera berlari, tidak penting pekerjaanku saat ini, yang paling penting adalah nenekku, satu-satunya keluarga yang aku miliki saat ini.

Tubuhku sudah berkeringat dingin, tidak Tuhan. Jangan kehilangan lagi, jangan ambil orang yang aku sayangi dari hidupku lagi. Jangan berikan aku kedukaan yang bahkan saat ini belum sembuh aku rasakan. Aku mohon, Tuhan. Hanya kali ini saja.

**

Aku termangu duduk sendirian di depan ruang rawat nenekku. Kanker hati yang ia derita semakin memburuk, dokter mengatakan kalau nenek harus segera menerima donor hati, Tuhan, segala cobaan telah aku rasakan dan sekarang dari mana aku bisa dapatkan uang 1,5 milyar dalam waktu dekat ini. Aku tidak memiliki apa-apa untuk aku jual, aku juga hanya memiliki uang 1 juta yang merupakan uang kontrakan yang dua bulan belum aku bayar. Tuhan, tak bisakah engkau lihat kalau aku sudah tidak bisa melewati batas cobaanmu.

Aku menangis, menangis sendirian lagi. Beban selalu memberatkan pundakku, bagaimana caraku menyelamatkan nenekku, bagaimana caraku mendapatkan uang itu? Kenapa Tuhan? Kenapa selalu duka dan derita yang datang padaku? Kau berikan aku bahagia yang sangat singkat lalu setelahnya kau hempas aku ke jurang tak berdasar yang bernama derita dan duka. Aku terombang-ambing, tersesat mencari jalan keluar dari semua duka yang aku rasakan. Aku tersesat untuk kembali mendapatkan senyuman diwajahku.

"Kak Rana." Nadia memegang bahuku.

Aku segera menghapus air mataku, tersenyum palsu seperti biasanya.

"Tidak usah memaksakan tersenyum kalau tidak bisa, Kak. Manusiawi jika Kakak menangis." Nadia duduk disebelahku.

"Tuhan tidak pernah tidur, Kak. Dia akan membantu hambanya yang terus berdoa." Nadia menyemangatiku.

"Kurang sabar apalagi aku, Nad? Kurang berdoa apalagi aku, Nad? Setiap hari aku menjalankan perintah agama, setiap hari aku panjatkan lantunan doa sederhana untuk kehidupanku dan juga nenekku. Tapi Tuhan tidur, Nad. Dia tidur, tidak pernah mendengarkan doa-doaku. Dia tidak memberikan hidup yang baik untukku dan juga nenekku tapi malah mendatangkan duka dan penyakit yang untuk menyembuhkannya saja sulit. Apa mungkin doaku tidak pernah sampai, ya, Nad?" Air mataku menetes lagi, aku benci menangis di depan orang lain, tapi saat ini aku sudah tidak bisa menyembunyikan airmataku lagi. Aku lelah Tuhan, aku lelah berpijak di bumi yang kejam ini, aku lelah berusaha untuk hidup lebih baik. Aku lelah terus menerjang badai yang menghantamku. Aku lelah pada hidupku.

"Kak, Kakak tidak boleh menyerah. Tuhan masih merasa kakak sanggup menghadapi ini jadi dia memberikan cobaan ini untuk mendewasakan kakak, untuk menguatkan kakak, untuk menjadikan kakak seorang wanita yang memiliki keimanan yang kuat."

"1,5 milyar bukan suatu yang sanggup aku hadapi, Nad. Aku tidak memilliki tabungan, aku tidak memiliki barang berharga yang bisa aku jual. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana menebus obat nenek untuk besok hari. Dari mana Tuhan melihat aku sanggup melewati ini, Nad?"

Nadia terdiam, bukan dia yang merasakan ini tapi aku. Aku yang dihadapkan pada kesulitan yang tak kutemukan jalan untuk menyelesaikannya.

"Akan selalu ada jalan, Kak. Percayalah pada Tuhanmu.

"Tapi kini aku tidak percaya padanya lagi, Nad. Sudah lelah rasanya aku berpegang teguh padanya. Tiap malam aku meluangkan waktu untuk lebih dekat padanya tapi dia menjauh, Nad. Dia tidak ingin merangkulku. Dia membuat semesta menolakku. Dia mendatangkan hujan hitam yang menerjangku sampai ke dasar kepahitan. Aku lelah, Nad. Lelah berpegang teguh pada keyakinanku." Aku menghapus air mataku. Untuk apa aku menangis, tak ada air mata yang menyelesaikan masalah.

"Jagain Nenek sebentar, Nad. Kak Rana keluar sebentar, mau cari udara segar." Aku bangkit dari tempat dudukku. Udara segar? Tak akan ada udara segar untukku, tidak akan ada selama duka itu terus menghantuiku seperti kutukan yang terus ada hingga aku mati.

"Ya, Kak."

Aku meninggalkan Rana, melangkah menyusuri koridor dengan langkah lemah. Tuhan, maafkan aku jika kali ini aku berjalan menjauh dari ajaran mu. Maafkan aku jika pada akhirnya aku jatuh pada lumpur dosa yang sangat kau benci.

**

"Lo serius mau lakuin itu, Rana?" ini pertanyaan ke 10 Sisil tentang tekadku.

"Gue serius, Sil. Gue butuh duit, nenek gue sakit keras, Sil. Maaf kalo gue datang ke loe saat gue susah."

"Apaansih loe, Na." Sisil menatapku tak suka. "Ini bukan jalan bener, Na. Loe tahukan ini dosa besar."

"Surga belum tentu buat gue, Sil. Neraka gue juga bukan urusan orang lain. Gue butuh duit, itu aja. Bantuin gue, Sil."

"Clarissa, dia gak ada duit buat pinjemin loe?"

"Duit yang gue butuhin bukan dikit, Sil. Gue butuh 1,5 milyar buat transplantasi hati nenek gue."

"1,5 milyar, Na?" Sisil membulatkan matanya.

"Gue gak peduli berapa orang yang harus gue layanin, gue gak peduli kalau gue harus kerja tiap saat. Gue mohon, Sil. Bantu gue."

Sisil memandangku sedih, aku sangat jarang bahkan sangat tidak pernah memohon dan meminta tolong pada temanku tapi kali ini aku benar-benar butuh pertolongan.

Sisil menggenggam tanganku. "Gue cariin secepatnya, Na. Loe cukup kumpulin 1,2 Milyar, biar sisanya gue tambahin.Gue gak pinjemin, Na. Gue kasih buat nenek lo."

"Gue bakal bales semua yang udah lo lakuin buat gue, Sil. Makasih karena udah mau nolongi gue yang bukan siapa-siapa lo ini."

"Lo temen gue, Na. Lo temen terbaik yang pernah gue milikki. Meski kita gak kayak temen lain yang pergi bareng dan saling bertukar cerita tapi bagi gue lo temen gue. Temen yang harus gue bantu saat lo susah."

Aku memeluk Sisil. Di dunia ini aku hanya memiliki Sisil dan Clarissa sebagai orang terdekatku. Sisil adalah temanku sejak aku sekolah menengah pertama tapi aku tidak terlalu dekat dengannya sementara Clarissa, aku sangat dekat dengan wanita itu. Kami bersahabat baik hingga saat ini meski saat sekolah menengah atas kami tidak bersama tapi kami tetap bersahabat sementara dengan Sisil kami masih berteman hingga ke sekolah menengah atas karena kami satu sekolahan, kami tidak pernah berbincang seperti layaknya teman, hanya sekedar menyapa saat kami bertemu. Sisil adalah wanita yang baik meski dia memilih jalan yang salah, Sisil sudah jatuh ke dunia prostitusi saat dia kelas 2 sekolah menengah atas. Himpitan ekonomi memang bisa mengubah wanita polos jadi binatang jalang.

**

Aku kembali ke rumah sakit, melihat nenek yang terbaring di ranjang rumah sakit.

"Nana." Nenek memanggilku, tangan keriputnya meraih tanganku.

"Kenapa, Nek?" Aku tersenyum padanya, menyiratkan bahwa tak ada masalah yang aku lalui.

"Nenek tidak usah dioperasi. Dokter bukan Tuhan, Na. Dokter bisa memprediksi tapi Tuhan yang tetap menentukan apakah Nenek akan tetap hidup atau kembali padaNYA."

"Nenek nggak usah mikirin ini, yah. Nana yang bakal urus. Tuhan memang yang menentukan, Nek. Tapi Tuhan juga nganjurin umatnya untuk berobat kalau sakit, berusaha saat susah."

"Nenek baik-baik aja, Na. Nenek sudah terlalu banyak nyusahin kamu."

Aku tersenyum lembut padanya, mengecup buku tangannya. "Cuma Nenek yang Nana punya di dunia ini, kalau Nenek nggak ada, Nana sama siapa? Nana nggak bisa hidup kalau nggak dengerin ocehan cerewet Nenek, kalau nggak makan bareng sama Nenek, kalau nggak tidur di sebelah Nenek. Nana belum bisa sendiri, Nek. Nenek jangan pikirin apapun lagi, yah. Nana akan usaha untuk Nenek. Ada temen Nana yang bisa pinjemin Nana uang."

Aku menelan pahitnya tangis dengan senyuman palsuku, aku harus kuat, iya aku harus kuat, demi Nenek.

"Nenek Nana tinggal dulu ya, Nana harus beli makanan. Nana laper." Aku mengelus perutku seolah aku memang kelaparan. Tidak, aku tidak sedang ingin makan, aku hanya tidak sanggup menahan air mataku lebih lama, membayangkan aku kehilangan Nenek membuat seakan seluruh organ tubuhku terlepas dari tubuhku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel