Pustaka
Bahasa Indonesia

Cinta Tanpa Syarat

49.0K · Tamat
Yuyun Batalia
37
Bab
23.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Pernahkah kalian berada dalam situasi dimana alam seakan tak pernah mendukung kalian? Pernakah kalian merasa bahwa hanya ada luka yang kalian rasakan? Pernakah kalian merasakan banyak kehilangan di hidup kalian? Aku,, aku merasakan itu,, aku hidup dengan semua kehilangan, dengan semua luka, rasanya terbuang, diabaikan dan dianggap tak ada itu sudah pernah aku rasakan, kehilangan? Tak ada jenis kehilangan yang tak aku rasakan. Hidup itu kejam, benar,, tapi aku masih berpijak di bumi meski kejam itu terus menerjangku seperti badai di tengah gurun pasir. "Aku pernah mencintai, dan akhir dari yang aku rasakan hanyalah sakit, Gas."  Kirana Cantika.  Pernahkah kalian mencintai seseorang yang tidak pernah mencintai kalian? Pernahkah kalian memandang ke satu orang namun orang itu memandang ke tempat yang lain? Aku pernah merasakan itu, dan aku tidak ingin merasakannya lagi. Aku sakit karena itu tapi aku bangkit karena hal yang sama. "Aku tahu rasanya sakit karena cinta, Na. Karena aku juga pernah merasakan hal yang sama dan karena itu aku benci banget sama kamu, Na."   Bagasditya Angelo

RomansaPresdirBillionaireIstriAnak KecilRevengePengkhianatanMemanjakanKeluargaPernikahan

Prolog

Jakarta, 14 Januari 2017

Hari yang cerah memiliki banyak arti, ada yang mengatakan hari yang cerah itu hari dimana langit terlihat terang dengan awan indah dan matahari yang bersahabat. Ada juga yang mengatakaan hari yang cerah itu saat mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dan bagiku, hari yang cerah itu melihat putraku, Bintang Marcello tersenyum bahagia.

"Bunda." Dia melambaikan tangannya padaku, saat ini putra tampanku itu sedang bermain bersama dengan teman-temannya. Hari ini adalah hari pertama dia bersekolah di taman kanak-kanak, aku harus menceritakan bagaimana semangatnya Bintang saat ia bangun dari tidurnya, Bintang memang anak yang selalu suka dengan hal-hal yang baru, seperti sekolah ini misalnya. Ia bahkan membangunkan aku jam 6 pagi saking bersemangatnnya padahal ia sekolah jam 8 pagi. Ia menarikku ke kamar mandi dengan handuk yang ia selempangkan di pundaknya lalu segera mandi dengan wajah ceria yang sudah jelas karena ini hari pertamanya sekolah.

Bintang, seperti namanya dia adalah penerang hidupku setelah semua pedih dan sakit yang aku rasakan. Aku bisa kehilangan segalanya tapi aku tidak ingin kehilangan Bintang, tidak ingin kehilangan anak untuk yang kedua kalinya.

"Bunda, sini." Dia memanggilku dengan suara kecilnya. Putraku yang menggemaskan. Aku segera melangkah mendekatinya yang bermain mangkuk putar.

"Kenapa, Kak?" Aku bertanya padanya, Kak, aku memang memanggilnya Kak.

"Main bareng sama Kakak, susah muternya, Bun." Dia bersuara dengan suara periangnya. Bintang, memang selalu seperti ini, periang, dia selalu bisa membuatku tertawa saat aku mengalami banyak masalah.

"Ya udah, Bunda putarin." Aku naik ke mangkuk putar lalu memutar setir mangkuk putar tersebut. Bintang terus tertawa karena aku memutar mangkuk tersebut dengan sangat kencang.

"Bunda, Kakak mau pipis." Dan aku menghentikan putaran karena Bintang ingin buang air kecil.

"Bunda antar, ya."

"Nggak, Ah. Emangnya Bintang anak kecil yang pipis aja mau ditemenin." Mulutnya bergerak lucu, memangnya sudah sebesar apa dia? Dasar Bintang.

Aku tertawa kecil, "Ya udah, pipis sana."

Aku kembali duduk ke tempatku dan menunggu Bintang selesai dari pipisnya.

"Kamu udah punya anak lagi, Na?" Suara itu membuat tubuhku menegang.

"B-bagas?"

"Aku kira kamu bakal gila karena gak bisa liat anak kamu tapi nyatanya kamu cepet banget ya lupain anak kamu sendiri."

Kedua tanganku meremas satu sama lain, air mataku ingin terjatuh karena kata-katanya.

"Nana." Seorang wanita memanggil nama panggilanku,

"Clarissa."

"Ya ampun, Na. Lama banget kita nggak ketemu. Udah 6 tahun kayaknya. Aku kangen banget sama kamu, Na. Kamu kok ngilang gitu aja." Clarissa, sahabatku yang aku kenal sejak sekolah menengah pertama memelukku.

"P-panjang ceritanya, Sa." Aku menatap ke Clarissa yang tersenyum dengan semua kecantikan di wajahnya.

"Papa." Suara itu membuat jantungku terasa sangat sakit.

Putriku,, Karrenina Angellyn

"Sayang, sudah beli ice creamnya?" Clarissa meraih tubuh gadis mungil yang membuat air mataku terjatuh.

"Udah, Ma." Balas gadisku yang berada di gendongan Clarissa

Ma?? Apakah aku salah dengar? putriku memanggil wanita lain dengan sebutan Mama.

"Bunda..." Suara itu membuatku segera menghapus air mataku. Bintang tidak suka aku menangis, katanya aku jelek dengan air mata diwajahku.

"Bunda? Anak kamu, Na?" Carissa melihat ke Bintang yang menggenggam tanganku.

"Iya, Sa. Putraku, namanya Bintang." Aku memperkenalkan Bintang pada Clarissa. "Sayang, salam dulu sama tantenya."

"Bintang, Tante." Bintang sudah mencium tangan Clarissa.

"Ini Om Bagas. Salam juga, Sayang."

"Nggak mau, Bun. Takut." Bintang bersembunyi dibelakangku.

"Gak usah dipaksa kalau gak mau, Na." Kata Bagas dengan matanya yang menatapku dingin. Tatapannya tetap tidak berubah, mencela, merendahkan dan dingin.

"Anak kamu sekolah disini juga ya, Na? Kami baru daftarin Karren sekolah disini. Ini kebetulan banget ya, Na. Kita bisa menyambung persahabatan kita yang putus waktu itu."

Aku memandang Bagas dan Karrenina bergantian, Tuhan, aku tidak tahu ini cobaan ataukah anugrah untukku. Aku kembali bertemu dengan pria masalalu yang aku pikir tak cinta tapi nyatanya aku cinta, aku bertemu kembali dengan putriku yang harus aku anggap tidak ada karena Bagas menginginkan seperti itu.

Hari ini membuatku kembali mengingat masalalu, masa dimana aku bersama dengan Bagas, Masa dimana aku tidak bisa merasakan aku mencintainya sampai suatu hari dia menghapusku dalam hidupnya.

tbc