Bab 2. Fauzana
“Ayo Son, Andra diminum kopinya! Nanti keburu dingin nggak enak.” sambung Doddy, kedua temannya itu pun menyeruput kopi yang disugguhkan Bu Hasnah.
“Ntar malam kita mau jalan ke mana Bro?” tanya Andra.
“Terserah kalian, aku ngikut aja. Asal jangan ke kafe yang semalam, tempatnya nggak asyik.” jawab Doddy.
“Pasti karena cewek-cewek di kafe itu genit-genit ya? Sampai kamu nggak nyaman digodain, masa cowok cemen sama cewek?! Ha..! Ha..! Ha..!” ujar Sony, lalu ia dan Andra tertawa berbarengan.
Seperti biasa ketika malam datang Doddy tak pernah berada di rumah, apalagi ini malam minggu dengan mengendarai motor ninja ia dan teman-temannya keluyuran ke sana ke mari, herannya ia tak seperti anak muda yang lain jika ke luar rumah apalagi malam minggu pasti pergi dengan sang kekasih. Bukan dia tidak respect dengan lawan jenisnya, namun memang hingga saat ini belum ada gadis yang benar-benar mampu membuatnya jatuh hati.
Kebanyakan dari wanita yang pernah dijumpainya hanya sebatas teman ngobrol, bahkan dua orang di antaranya ia jadikan sebagai asisten untuk mengurus catatan uang masuk dan ke luar serta keperluan sehari-hari bagi pekerja di perkebunan kelapa sawit yang ia miliki. Bagi wanita-wanita yang pernah mengenal Doddy akan menaruh rasa simpatik, karena sosok Doddy bagi mereka sangat asyik orangnya.
Meskipun hidup serba berkecukupan namun penampilannya tetap sederhana, bahkan seorang Doddy dikenal pula sebagai sosok yang ramah dan humoris. Kebiasaan jelek yang ada di dirinya itu suka keluyuran hingga larut malam bahkan sampai subuh, game judi online dan minum-minuman keras, itu semua akibat pengaruh negatif dari teman-temannya yang gemar melakukan hal yang sama.
******
Malam minggu itu Doddy beserta Sony dan Andra, duduk di sebuah cafe yang berada di tengah-tengah Kota Kabupaten, cafe itu cukup luas karena tidak terpokus pada satu ruangan yang tertutup, melainkan kursi dan meja para pengunjung dibuat seapik mungkin berada di luar ruangan di halaman terbuka, hingga suasana dan pandangan berasa lepas ke seluruh arah, apalagi di masa pandemi cafe itu sepertinya telah benar-benar menerapkan protokol kesehatan.
“Doddy, aku heran sama kamu dari dulu hingga sekarang belum pernah aku lihat kamu jalan dengan cewek.” tutur Andra membuka pembicaraan saat mereka bertiga duduk di sebuah tempat yang disana hanya tersedia empat buah kursi yang mengitari meja bulat.
“Ada kok, kamu aja yang nggak pernah lihat. Aku sering nemani adik ku jika ada pesta pernikahan temannya dan kadang aku juga suka mengantar Ibu ku ke pasar. He..! He..!” canda Doddy membuat Sony hampir saja menyemburkan minuman yang baru saja ia teguk di mulutnya.
“Maksudku bukan itu, aku nggak pernah lihat kamu pacaran.” Andra menjelaskan.
“Emang, asyik ya pacaran?” Doddy balik bertanya.
“Ya asyiklah Bro, kita merasa diperhatikan dan hari-hari berasa lebih hidup.” Doddy terlihat senyum-senyum mendengar perkataan temannya itu.
“Jika hanya untuk mendapat perhatian dari seorang wanita, saat ini belum ada yang mengalahkan perhatian Ibuku. Hari-hari berasa hidup gimana yang kamu maksud? Kamu pikir kita jalan begini berasa dirimu mati, gitu?! Ha..! Ha..! Ha..!” Doddy dan Sony tertawa mengakak, hingga beberapa pasang mata yang ada di halaman cafe yang luas itu mengarah pada mereka.
Andra tak teruskan ucapannya, dia berfikir percuma saja menjelaskan pada Doddy yang ada dia akan selalu jadi bahan tertawaan. Tepat jam 12 malam mereka meninggalkan cafe itu, karena memang sebentar lagi kafe yang disinggahi mereka akan tutup, mereka bertiga terlihat mengarah ke pantai yang berjarak kurang lebih 5 KM dari jantung Kota Kabupaten itu.
******
Minggu siang Anisa menerima kedatangan sahabat karibnya bertamu ke rumahnya, sahabat karibnya yang bernama Fauzana itu lebih tua dua tahun darinya, Fauzana juga seorang PNS di instansi pemerintah daerah, sebagai senior Fauzana sering membantu serta mengajarkan Anisa dalam menyelesaikan tugas-tugas di perkantoran, karena satu kantor serta sering membantu itulah Fauzana jadi akrab dan menjadi sahabat karib Anisa.
Di ruangan tamu yang cukup luas berjejer sofa-sofa empuk dan cantik, di sana terlihat dua gadis saling bercakap-cakap dengan sesekali tampak tersenyum dan tertawa kecil. Seperti halnya Anisa, sosok Fauzana adalah gadis yang selalu berpakaian sopan serta mengenakan hijab menutupi kepala ke mana dan di manapun ia berada.
“Sekarang umur kak Fauzana sudah masuk 23 tahun ya? Kapan nih rencananya mau menikah?” tanya Anisa mengawali pembicaraan.
“Menikah? Cowok aja aku nggak punya.” jawab Fauzana sembari tersenyum.
“Masa sih, orang secantik kakak belum punya cowok?” tanya Anisa lagi.
“Emang kenyataannya begitu Anisa, sampai saat ini kakak masih fokus sama pekerjaan sama sekali belum kepikiran ke arah sana.” lagi-lagi Fauzana tersenyum.
“Hemmm, aku tahu juga kalau kakak adalah primadona di desa ini bahkan di kantor tak sedikit dari teman-teman pria yang menanyakan apakah kakak sudah punya cowok atau belum. Barangkali kakak belum menemukan sosok pria yang kakak ingini ya?” Anisa kembali bertanya.
“Ya begitulah kira-kira, aku orangnya nggak suka habiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Mungkin sebagian besar teman-teman di kantor dan di desa ini banyak yang beranggapan kalau aku kuper, tapi biarlah toh itu sebuah prinsip dan aku merasa nyaman dengan prinsip hidup yang ku jalani saat ini.” tutur Fauzana dengan senyum manisnya.
“Kalau boleh tahu sosok pria yang gimana sih yang menjadi kriteria baik dan yang kakak ingini?” tanya Anisa sambil mengambil sepotong kue kering, yang ada di dalam toples di atas meja di depan mereka duduk itu.
“Hemmm, menurut ku simpel saja. Pria yang baik itu pria yang pandai bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya, selalu menjalankan sholat lima waktu serta ibadah lainnya. Seperti halnya puasa yang seminggu lagi kita sebagai umat muslim akan memasuki bulan suci ramadan.” tutur Fauzana membuat Anisa mengangguk-anguk.
“Apa cuma itu? Bagaimana pandangan kakak tentang aspek pendidikan dan pekerjaan seorang pria? Karena kan seorang pria juga harus bertanggung jawab jika kelak ia menjadi imam dalam keluarga?” Fauzana kembali tersenyum mendengar pertanyaan Anisa.
“Bagi ku pangkat dan kedudukan bukan jaminan, seorang pria yang bertanggung jawab itu adalah pria yang suka berkerja keras serta pandai bersyukur.” jawab Fauzana.
Tengah asyik mereka bercakap-cakap, Doddy yang saat itu telah bangun dan mandi secara tak sengaja lewat di ruang tamu itu, ia bermaksud ingin menemui Ibunya di depan teras rumah yang sedang menyiram beberapa pot bunga.
