Episode 7
Ferdi masuk ke dalam kamar tidurnya. Kamar ini sudah 4 tahun ditinggalkannya, namun interior dan posisi barang-barang di dalam kamar itu masih sama seperti yang di tinggalkannya dulu. "Kenapa kamar ini nggak pernah direnovasi selama aku tinggalkan." Pria itu bertanya dengan tersenyum tipis.
Ferdi melangkahkan kakinya menuju ke arah lemari pakaian miliknya. Kakinya terhenti ketika berada di salah satu pintu lemari yang menjadi tujuannya. Dibukanya pintu lemari tersebut dan membuka laci kecil dengan menggunakan kunci yang diambilnya dari dalam saku celananya. Ferdi mengambil surat yang pernah diberikan oleh neneknya Azahra kepadanya.
Surat ini selalu disimpannya dengan sebaik mungkin. Ferdi berjalan menuju ke tempat tidur. Ia duduk di atas tempat tidur dengan menurunkan kakinya ke lantai. Dibukanya surat itu dan membacanya. Surat ini begitu sering dibacanya ketika dirinya merindukan mama Nurjannah.
“Mama selama ini aku selalu mengatakan kepada mama, bahwa aku tidak bisa melupakan Alisa. sampai detik inipun aku belum menikah, karena aku tidak pernah merasakan menyukai wanita lain. Mama pasti sangat mengetahui semuanya, karena aku sering bercerita dengan mama tentang hal ini. Aku selalu menunjukkan sikap ku yang biasa, dan Azahra yang selalu aku jadikan alasan bila ada yang menanyakan tentang calon istri. Kenangan bersamanya begitu sangat manis, sehingga aku tidak bisa melupakannya, Aku tidak pernah menyukai wanita lain. Namun sekarang aku merasakan sesuatu yang berbeda ma, aku merasakan degup jantung yang berdetak dengan sangat hebatnya.”
Ferdi merasa sangat merindukan mama Nurjanah, ketika bayangan wajah pucat milik mama Nurjanah melintas dipandangannya. Ferdi mengingat bagaimana dulu dirinya yang sangat dekat dengan nenek Azahra.
"Sekarang aku merasakan sesuatu yang berbeda ma. Aku seakan seperti orang yang sedang merasakan cinta.” Ferdi tersenyum saat kalimat itu lolos dari bibirnya.
“Aku tidak mengerti dengan rasa ini ma. Aku baru berjumpa dengan dia. Bila nanti aku sudah memastikan dan menetapkan perasaan ku, Aku akan menceritakan semuanya dengan Mama. Oh iya ma, besok aku akan ke rumah. Mama aku akan ziarah mengunjungi mama. Maafkan aku yang sudah 4 tahun tidak mengunjungi Mama.” Ferdi berkata ketika Ia melipat surat yang ada di tangannya. Surat ini merupakan kenangan-kenangan yang diberikan oleh Mama Nurjanah kepadanya, surat itu disimpannya dengan sebaik mungkin.
Ferdi membuka pakaiannya dan kemudian membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Saat ini ia merasa tubuhnya begitu sangat capek.
Ferdi berdiri di bawah cucuran air shower dengan memejamkan matanya. bayangan wajah Azahra selalu melintas di dalam pandangannya. “Apa ini artinya aku sudah mencintainya,” ungkapnya. Pria itu masih mempertanyakan tentang perasaan dan juga rasa yang dimilikinya.
Setelah tubuhnya terasa bersih, pria keluar dari dalam kamar ia mengambil celana pendek dan juga baju kaos.
Ferdi memandang jam yang menempel di dinding kamarnya, biasanya di jam-jam seperti ini mama dan Papanya sudah pulang dari tempat dinas mereka, pria itu keluar dari dalam kamarnya menuju ruang tamu. Matanya memandang ke arah kursi sofa berwarna coklat muda. Saat ini Mama dan papanya sedang duduk di sofa itu. Kedua orang tuanya sedang duduk santai di kursi ruang tamu dengan menikmati cake dan meminum kopi.
“Udah pulang ma, pa?" tanya Ferdi yang ikut duduk di sofa.
“Iya,” jawab Andi yang memandang putranya.
Ferdi mengambil cangkir yang berisi kopi di atas meja dan meminumnya.
“Duh pa sakit," keluhnya saat tangan papanya menarik daun telinganya.
"Itu kopi papa yang punya," jelas Andi. Meskipun pria itu terlihat marah kepada putranya, namun sikap putranya seperti ini selalu sangat dirindukannya.
“Cuma minum dikit aja kok,” jawab Ferdi.
Andi hanya diam memandang putranya. “Jadi gimana?" Tanyanya.
“Apanya?" Ferdi meletakkan cangkir ke atas meja.
“Calon istri kamu,” jawab Andi yang sudah tidak ingin lagi berbasa-basi kepada putranya.
“Secara hukum negara belum bisa nikah,” jawab Ferdi. Pria itu selalu menjawab pertanyaan Papanya dengan candaan. “Aduh sakit,” keluhnya yang memegang daun telinganya.
“Jangan bercanda lagi." Andi berkata dengan raut wajah yang serius.
“Papa gimana sih aku itu baru datang pa, 4 tahun lho aku itu nggak pulang ke rumah, dan sekarang papa tarik-tarik ini telinga." Ferdi mengusap-ngusap telinganya yang sudah memerah.
“Kalau nggak mau itu telinga ditarik ngomong yang jelas, jangan main-main terus,” omel Indah.
“Iya dia belum bisa dinikahi pa.” Ferdi mengulang kalimatnya.
“Maksud kamu Azahra,” tanya Andi yang tersenyum tipis. Meskipun pria itu sudah tau siapa yang dimaksud putranya, namun ia tetap memperjelas nama gadis itu. Andi dapat mengambil kesimpulan ketika melihat wajah putranya yang memerah dan salah tingkah.
Wajah Ferdi memerah ketika nama Gadis itu disebutkan.
“Beberapa bulan lagi 19 tahun," Andi tersenyum dan menepuk pundak putranya.
“Apa benar maunya sama Azahra,” tanya Indah.
“Kalau kamu tidak ada pilihan lain Papa tidak keberatan bila Azahra jadi mantu kami. Papa ini sudah tua, sebentar lagi akan pensiun. Tiap sebentar undangan datang ke rumah, mereka mengundang Papa ke acara pesta anak-anak mereka. Mulai dari anak pertama, hingga anak yang bungsu mereka, satu persatu sudah mulai menikah, sedangkan anak Papa sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda akan menikah,” ungkap Andi.
“Iya Mama juga gak keberatan bila Azahra jadi menantu kita. Anaknya baik pintar, penurut, rajin, cantik, pokoknya paket komplit. Tapi yang jadi masalahnya itu Azahra apa mau sama kamu,” Indah mengerutkan keningnya.
“Itu dia yang buat Papa ragu,” ucap Andi.
Ferdi merasa tadi tubuhnya terbang ke awan-awan, namun kini dengan tidak enaknya ditarik kembali.
“Mama gak bisa bayangin Azahra, umur mamanya sama umur suaminya sama,” Indah dengan sengaja memandang wajah Ferdi.
Ferdi diam mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya.
“Jadi Gimana apa beneran maunya sama Azahra. Kalau benar Papa akan lamar Azahra sama uncle kamu.”
Ferdi diam tanpa bisa menjawab.
“Kalau diam berarti mau ya,” Indah mengambil kesimpulan.
“Kamu itu udah tua, kalau kamu undur-undur lagi punya istri, Kapan kami mau punya cucu,” ungkap Andi.
“Pa, aku selesaikan dulu lah satu persatu urusan aku. Setelah itu barulah masalah ini,” pinta Ferdi.
“Satu-persatu apa,” tanya Indah.
“Papa sama Mama minta aku untuk menetap di Jakarta. Jadi aku akan mengurus pensiun muda aku di kesatuan, aku juga akan merintis dulu bisnis aku, nanti setelah itu selesai aku akan pikirkan bagaimana selanjutnya,” ucap Ferdi.
“Setelah menikah kamu bisa urus semua,” ucap Andi.
“Iya uncle pasti akan membantu kamu, membimbing kamu. Apanya yang pikirkan,” ucap Indah.
Ferdi hanya diam ketika mendengar bermacam pertanyaan yang tertuju padanya.
“Jadi beneran ya maunya sama Azahra,” Indah menggoda putranya.
“Kalau nggak ada yang lain berarti maunya sama Azahrakan,” ucap Andi.
“Bentar Pa ada telepon,” Ferdi merasa mendapat angina segar ketika dering ponsel di saku celananya.
Jantungnya semakin berdegup dengan sangat hebatnya, ketika memandang foto profil Azahra yang saat ini memanggilnya.
Ferdi memandang kearah Mama serta Papanya. Kedua orang tuanya terlihat sedang memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia pergi meninggalkan ruang tamu. pria itu melangkahkan kakinya menuju halaman. "Halo assalamu’alaikum,” Ferdi menjawab sambungan telepon tersebut saat posisinya sudah jauh dengan posisi kedua orang tuanya.
“Halo wa’alaikumsalam. Abang lagi apa,” sapa Azahra.
Ferdi merasa sangat senang ketika mendengar suara halus dari dalam ponselnya. Senyum terukir di wajah tampannya. “Baru selesai mandi, tadi lagi minum kopi sama Papa Mama,” jawabnya.
“Nanti malam jadi ke sini bawa Akbar jalan-jalan, soalnya Akbar udah sibuk, Katanya pengen jalan-jalan sama abang, ini dianya sudah minta siap-siap padahal masih sore,” jelas Azahra.
Ferdi diam dan menganggukkan kepalanya. Ferdi tersenyum kecil ketika menyadari Gadis itu tidak akan melihat gerakan yang dilakukannya. “Iya nanti lepas magrib ya abang ke rumah,” jawab Ferdi.
“Rara dibawakan,” tanya Azahra.
“Kalau mau ikut boleh, nggak ikut juga nggak apa,” jawab Ferdi.
“Kalau gitu Rara ikut ya bang,” pinta Azahra.
Mendengar apa yang dikatakan oleh azzahra membuat hati pria itu begitu sangat senang. “Iya boleh,” jawabnya.
“Ya udah kalau gitu Rara mau siap-siap dulu, biar nanti pas abang jemput Rara sudah cantik,” Azahra berkata dengan tersenyum.
“Apa belum mandi,” tanya Ferdi.
“Belum,” jawab Azahra.
“Pantas saja dari tadi di sini baunya nggak enak.”
Azahra tertawa ketika mendengar ucapan pria itu. “Apa sampai Bang,” tanyanya.
“Iya sampai, buktinya ini baunya nggak enak,” Ferdi memegang hidungnya.
Azahra hanya tersenyum ketika mendengar ucapan pria itu. “Kalau gitu Rara pakai parfum ya bang,” usulnya yang membuat Ferdi tertawa.
“Kok pakai parfum?" tanya Ferdi.
“Iya biar wangi.”
“Bukannya langsung mandi?"
“Rara pakai parfum dulu Bang berhubungan sekarang lagi nelpon, nanti setelah telepon baru mandi,” Rara menjelaskan.
Ferdi tertawa saat mendengar apa yang dikatakan oleh azzahra. “Ya udah mandi lagi, nanti selepas magrib abang jemput ya,” perintahnya
“Iya Bang ini Rara mandi, assalamu’alaikum,” ucap Azahra.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Ferdi yang tersenyum dan memegang dadanya, saat ini hatinya merasa begitu sangat bahagia, walaupun Ia begitu sangat malu untuk mengakui hal tersebut.
****
