Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CPP - 2

“Harusnya kamu intropeksi diri, kenapa aku memilih Ivanka. Pria mana yang akan menikah dengan wanita macam kamu?”

Kalimat itu terus terngiang di telinga Eliana. Elaina meledak, berteriak tapi Fidell memberi tanda pada penjaga untuk menyeretnya turun dari pelaminan. Walaupun seorang wanita namun dua penjaga yang menyeretnya membutuhkan tenaga extra untuk menyeret tubuh ramping Eliana. Wanita marah dan Vodka, sebuah kombinasi yang cukup merepotkan kaum pria.

“Jangan kamu pikir masalah ini akan selesai, Fidell. Kamu harus terima pembalasankuuu!”

Fidell kembali ke sisi istrinya, mengawasi Elaina yang diseret keluar dari ballroom. Matanya tidak lepas memperhatikan tubuh mantan tunangannya itu diseret keluar dengan paksa, hingga menghilang di balik kerumunan tamu undangan yang hadir. Diam-diam ia merasa lega karena gadis itu berhasil diamankan, setidaknya untuk mala mini ia terbebas dari keributan.

la tidak menyangka kalau Elaina berani datang ke tempat ini. Bukankah tamu yang datang harus menggunakan barcode undangan? Siapa yang memberinya? Fidell menatap para tamu dengan kritis, mencoba menduga siapa yang telah membantu wanita itu masuk ke dalam ballroom ini. Dirinya kembali memasang senyuman di wajahh saat merasakan sentuhan istrinya di pinggang.

“Iya, Sayang.”

Ivanka menyipit, wajahnya terlihat kesal dari balik riasan yang dipakainya. Riasan yang tadinya membuat wajahnya bersinar Bahagia, kini seolah meredup, tergantikan aura curiga dan emosi. Menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya. Kedatangan Elaina yang mengamuk, membuat mood-nya yang semula bagus menjadi hancur.

“Fidell, jangan berani-berani kamu bermain gila di belakangku,” desisnya mengancam.

Fidell meraih tangan sang istri dan mengecupnya.

“Mana berani aku? Kamu adalah wanita satu-satunya yang aku cintai. Aku dan wanita itu memang pernah dekat, tapi dulu sekali. Setelah itu dia seolah terobsesi denganku. Bukankah disampingku ada orang tuaku? Kenapa kamu nggak tanya mereka biar percaya?”

Ivanka ingin membantah dan bertanya langsung pada kedua mertuanya, tapi ia memilih untuk menutup mulut karena saat ini tamu sudah mengular untuk memberi selamat. Sementara ini ia akan menyimpan rasa ingin tahunya pada wanita yang baru saja datang untuk merusak pestanya. la tidak akan tinggal diam dengan wanita itu. Elaina harus mendapatkan balasan karena sudah membuatnya malu.

Selama beberapa bulan, pesta pernikahan ini sudah ia rencanakan dengan sangat matang dan hati-hati. Mengundang ribuan orang, ia ingin menciptakan rasa kagum sekaligus iri pada para undangan yang datang. Ia ingin pernikahannya menjadi moment yang diingat dan disorot oleh media dan menjadi perbincangan di kalangan elit.

Tidak semua orang bisa mewujudkan pesta pernikahan impian. Masalah terbesar adalah biaya. Sebagai anak pengusaha batu bara, ia punya segalanya untuk digunakan, uang dan juga kekuasaan. Kalau Elaina berani mengacau di sini, berarti gadis itu mencari masalah dengannya.

la mengusap lengan sang mama dan berbisik lirih. “Maa, minta orang awasi gadis gila itu. Jangan sampai mengacau lagi”

Sang mama mengangguk. “Tenang saja, papamu sudah mengaturnya. Kurang ajar sekali Fidell mengundang gadis itu kemari.”

“Maa, Fidell nggak undang dia. Nggak tahu dapat undangan dari mana.”

“Kalau begitu, biar para penjaga yang mengatasinya.”

Ivanka mengangguk, dendam dan kemarahan menyala di hati. Ivanka mengubah ekpresi wajahnya dari kesal menjadi penuh senyum saat kembali berjabatan dengan para tamu. Ini adalah harinya, dan tidak ada seorang pun yang berhak merusaknya. Tidak juga seorang Eliana.

Tiga pria berseragam mencengkeram lengan Elaina. Tidak peduli meski gadis itu berteriak kesakitan. Mereka mendapatkan perintah untuk membuang gadis ini jauh-jauh dari tempat pesta, dan itu yang sedang mereka lakukan.

“Kurang ajar kalian! Lepaskan lenganku!”

Elaina berteriak, menyadari kalau kepalanya pusing dan perutnya mual. la sudah datang ke tempat ini dengan penuh keberanian, berusaha menegakan apa yang disebutnya keadilan bagi dirinya. Namun, pada akhirnya tetap saja kalah. Para penjaga itu membawanya turun dengan lift menyeret paksa dirinya keluar dan melemparkannya ke lobi.

“Dilarang masuk!” teriak salah seorang dari mereka.

Elaina terhempas ke marmer yang keras dengan satu sepatu di kaki kiri, dan kaki kanannya bertelanjang kaki. la mengernyit, merasakan tulang pinggulnya nyeri, akibat benturan tubuhnya dengan marmer sungguh tidak main-main. Eliana memang tidak kurus, namun lapisan lemak di bawah kulitnya juga tidak bisa dikatakan tebal.

la tersentak, saat sebuah lengan yang kokoh terulur untuk membantunya berdiri. Lengan dengan balutan tuxedo hitam pekat, serta aroma musk yang terkesan maskulin, membuat otaknya yang berada di bawah pengaruh Vodka Martini jadi semakin oleng.

“Kalian kasar sekali dengan wanita!”

Elaina menatap sosok yang bicara, seorang pria tinggi dengan jambang tipis membingkai rahang tegasnya, serta memakai kacamata frameless yang menambah penampilannya terlihat sangat manly. Pria itu menunduk, mengusap lembut siku Elaina yang sukses memberikan sengatan listrik statis pada tubuh Eliana.

“Kamu nggak apa-apa?”

Elaina meneguk ludah. “Nggak apa-apa, terima kasih.”

“Tunggu di sini.”

Pria itu memberi perintah pada Elaina yang terdiam. Maju beberapa langkah pria itu berkata tenang pada penjaga. “Kalian naik, biar aku yang urus wanita ini.”

“Siapa kamu?” Satu penjaga bertanya dengan keras. Nada bicaranya masih sama seperti saat ia mengusir dan menyeret Eliana.

Pria itu tersenyum, mengambil kartu nama dari dompet. Saat melihatnya, ketiga pria saling pandang, mengangguk sesaat lalu berbalik dan masuk ke dalam lift.

Elaina mendengkus, menenteng satu sepatu dan menuju ke mesin penjual minuman. Sambil mengernyit ia merogoh koin dalam dompet, dan memasukkannya ke mesin. Memencet bir. Tiga kaleng menggelinding keluar. la mengambil semua, duduk didekat mesin dan tidak peduli pada pandangan orang-orang yang berlalu lalang.

Membuka kaleng pertama dan menandaskannya. Kaleng kedua menyusul habis, dan saat kaleng ketiga baru dibuka, pria berkacamata berjongkok di sampingnya.

“Kamu mau mabuk-mabukan di sini?”

Elaina menggeleng. “Nggak, mau pulang.”

“Pulang kemana? Ayo, aku antar.”

“Kamu antar?” Elaina bertanya bingung.

Pria itu mengangguk. “Iya. Ayo, bangun, awas sepatumu.”

Elaina berdiri sempoyongan. “Sepatu, mana sepatuku?”

“Hanya ada satu.”

“Ya, satu lagi aku pakai buat lempar muka Fidell. Pria sialan! Kurang ajar!”

“Awas langkah!”

Elaina tidak bisa berpikir jernih, tentang siapa yang menggandengnya dan akan kemana dibawa pergi. la hanya ingin keluar dari hotel, menjauh dari orang-orang yang membencinya.

“Fidell, suatu saat aku akan membunuhmu.”

“Ah, tapi membunuh itu dosa.”

Elaina mengangguk. “Benar, membunuh itu dosa. Dan aku bisa di penjara.”

Pria berkacamata frameless itu tersenyum lirih, memanggil petugas parkir. “Tunggu sebentar. Mobil lagi diambil.”

Elaina terkikik, saat tiba di teras hotel menatap pria di sebelahnya. Sangat tinggi, tegap, dan tampan meskipun dagunya tertutup rambut tipis. la mendekat, lalu merangkul leher pria itu.

“Kamu tampan.”

Pria itu menunduk, sepasang labium yang merekah terlihat dekat sekali dengan bibirnya.

“Kamu mabuk,” bisiknya.

Elaina menggeleng. “Nggak, aku sadar.”

“Kamu sadar? Apa kamu tahu sedang memelukku di keramaian?” Pria itu mengulurkan tangan untuk mendekap pinggang Elaina saat serombongan orang lewat dan hampir menabuste houderknya.

Elaina menghela napas, menghirup aroma maskulin dari tubuh pria yang memeluknya. Diraupnya aroma itu dengan rakus, seolah angin yang berhembus akan segera menghapusnya. Tidak masuk akal, tapi anehnya menenangkan. Untuk pertamakalinya Eliana mengakui jika aroma maskulin ini membuatnya tenang sekalipun mereka tidak saling kenal.

“Elaina....”

Pria itu memanggil namanya. Elaina tersenyum.

“Aku suka suaramu.”

Tangan pria itu mengusap pinggangnya. “Aku suka semua tentangmu. Sebelum kita ditangkap security karena melakukan tindakan asusila di sini, lebih baik kalau kita pergi sekarang. Ayo, ke rumahku.”

“Ke rumahmu?”

“Iya, awas kepala.”

Elaina tidak menolak saat dibantu masuk ke mobil. Pikirannya keruh, tidak lagi bisa membedakan mana yang seharusnya boleh dilakukan dan mana yang tidak. Seorang gadis ikut bersama pria yang tidak dikenal adalah hal bahaya, anehnya Elaina tidak memerdulikan itu. Otaknya hanya berisi rasa marah, kesal dan kesedihan karena pengkhianatan Fidell.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel