Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Mama apaan sih! Asal bilang iya aja ke orang tadi." Gue masih nggak terima sama keputusan Mama. Mama setuju untuk menerima lamaran Pak Sigit Winagung seminggu lagi. Yang artinya gue bakalan nikah sama Remon si cowok setan itu secepatnya. Gila! Memang sih, Ramon itu ganteng, tingginya sekitar 180cm, kulitnya putih bahkan lebih putih dari kulit gue. Rambutnya lurus agak panjang dikit, bentuk wajahnya oval dan tubuhnya atletis. Sebenarnya cukup mempesona, tapi karna kejadian tadi itu, gue jadi ilfiil banget liat dia.

"Lira, kamu semalam tidur nggak sadar lho. Kamu nggak tau kan, dia udah ngapain aja ke kamu. Nurut aja sama Mama. Mama nggak mau ya, kamu dilecehin begitu. Emang dia harus tanggung jawab, kan?" Mama berjalan kedapur, mencuci sawi di wastafle.

"Ma, kita nggak kenal lho, sama mereka. Kalau mereka bukan orang baik gimana coba? Kalau ternyata dia pembunuh atau yang suka nyulik anak buat dijual organ tubuhnya itu, gimana? Kita kan nggak tau, Ma."

Mama mengulurkan senampan bumbu. "Itu bawangnya dikupas, cabenya diiris." Perintah Mama. Udah biasa sih, gue memang selalu bantuin kerjaan Mama didapur, atau pekerjaan lainnya. "Kamu mikirnya kejauhan, Lir. Kamu nggak liat, apa? Tadi Papinya pakai seragam polisi?" lanjut Mama.

Kening berkerut, mencoba mengingat. "Masa' sih, Ma?" Saking marahnya, gue memang nggak sempat perhatiin baju yang dipakai Papinya Remon. "Sama aja, Ma. Aku kan masih kelas 11. Masa' udah mau dinikahin sih, Ma?"

"Salah sendiri tidur keluyuran." Sewot Mama.

"Huuuffttt ...." Hembuskan nafas kesal. Frustasi, keputusan Mama udah bulat. "Eh tapi kan Papa nggak ada dirumah, Ma. Emang kita nggak nunggu Papa pulang dulu, ya?"

"Papa pulang empat hari lagi kok. Nah, bener tuh, kalo Papa tau, kamu udah pernah tidur sama cowok, menurut kamu tanggapan Papa gimana tuh? Diem terus nerima gitu?" Tanya Mama dengan tatapan menantang, udah kaya' ngajak tinju aja.

Kalau sudah begini, gue mau jawab apa coba? Karna gue memang nggak tau, saat malam itu Remon udah ngapain aja. Huuh! Hari yang sangat sial. Udah tidur cuma empat jam, bangun-bangun dapat calon suami. Kan kamvret!

Pukul 6.30 am

Menatap bayangan diri dicermin, merapikan poni yang hampir menutupi mata. Lalu mengikat rambut panjang layaknya ekor kuda. Pakai sepatu kets warna hitam yang sama seperti celana jeans yang nempel di kaki. Udah kebiasaan sih, kalau sekolah selalu berangkat pakai celana jeans karna gue berangkat naik ninja merah kesayangan. Kalau udah sampai sekolah, baru deh, ganti pakai rok. Dengan malas, berjalan menuruni tiap anak tangga. Lalu meminum segelas susu diatas meja dan mencomot sepotong sandwick yang sudah tersaji. Disana udah ada Linxi yang lagi makan sandwick.

"Kenapa lo? Muka ditekuk gitu, jelek amat." Linxi menyapa.

Males buat nanggapi, karna semua masalah ini berasal dari dia. Cukup memutar bola mata, jengah. "Lira berangkat dulu ya, Ma." Tanpa menunggu jawaban Mama yang entah ada dimana, aku langsung keluar rumah.

Linxi ikut keluar rumah, mengekor dibelakang. Segera buka pintu mobil dan masuk. Detik kemudian, mobil melaju meninggalkan rumah. Kita memang nggak pernah berangkat sekolah bareng. Kecuali kalau kendaraan bermasalah, baru deh saling nebeng.

Segera gue naik keatas motor, memasang helm, sarung tangan dan segera tancap gas. Saat melewati depan rumah Remon, terlihat Remon dan Kristan sedang berdiri di samping mobil sport warna putih sambil perhatiin gue. Gue sih cuek!

**

Secepat kilat memarkirkan motor diparkiran siswa yang sudah penuh oleh beberapa motor. Sialnya, baru aja nyopot helm, bel tanda masuk udah bunyi. Buru-buru gue lari ke kamar mandi untuk ganti pakai rok. Setelahnya, lanjut berlari menuju kelas yang berada dideretan nomor dua paling ujung. Baru aja sampai didepan kelas 11 IPS1, Pak Zainal, guru Matematika yang jam ini ngajar dikelas gue udah hampir masuk kelas. Segera gue lari secepat mungkin, dan sebelum kaki Pak Zainal melangkah masuk, gue lebih dulu masuk.

"Pagi Pak." Sapa gue dengan senyum termanis.

Pak Zainal terlihat sedikit menjingkat, lalu mengelus dada. “Lira, kamu ngagetin Bapak!”

Gue nyengir dan buru-buru duduk dibanggu deretan nomor 3 dari depan, paling pojok.

"Tumben, lo dateng siang banget, Lir?" Tanya Yuni teman sebangku. Memasang kaca didepan meja, lalu mulai melotot benerin bulu mata kuda yang di lem disana.

"Semalem nggak bisa tidur." Jawab gue singkat.

"Lir, lo tadi dicari Duta." Kata si Dira yang duduk dibelakang gue.

"Ngapain?" tanya gue antusias.

"Ngajakin cebok." Gue melotot kearah Wuri yang duduk tepat disebelah Dira. "Ya ... mana gue tau. Tanya aja sendiri." Lanjutnya dengan mulut yang sengaja dibikin miring-miring. Baru aja tangan gue mau jitak kepala Wuri, Pak Zainal udah manggil.

"Lira, maju kedepan dan tulis jawaban untuk soal nomor empat halaman 132." Perintah Pak Zainal si guru matematika yang wajahnya udah mirip akar kuadrat.

Langsung berdiri, bawa buku tugas, nonyor kepala Wuri sebelum benar-benar maju kedepan.

“Kamvret lo, Lir!” umpat Wuri tak terima.

Gue memang ter-cap anak brandal, tapi bukan berarti nggak peduli sama pelajaran, ya. Bolos itu sering, tapi ngejar pelajaran yang tertinggal itu penting.

**

Hingga beberapa menit berlalu, jam pelajaran Pak Zainal pun usai.

"Kantin yuk, Lir. Laper nih." Ajak Dira, temen gue yang paling doyan tidur.

"Iya, yuk." Timpal si Yuni.

"Gue lagi nggak mood. Gue dikelas aja, ya."

"Yah, nggak asik lo, Lir. Gue traktir deh, yuk." Bujuk Dira.

"Nggak, ah, Dir. Gue beneran ngantuk banget, semalem kurang tidur. Kalian ke kantin sono."

Akhirnya Wuri menepuk kepala lembut. “Yaudah, med bobok, ya. Jan bawel, kita ke kantin dulu.”

“Jijik, Wur!” guetepis tangannya kasar. Dianya nyengenges.

Seperginya teman-teman, gue langsung rebahin kepala ke bangku. Mulai merem bebas, tapi lagi-lagi kepikiran sama kejadian yang tadi. Seminggu lagi ada acara resmi lamaran, dan sudah pasti setelahnya kita akan menikah. Nggak bisa membayangkan, gue yang masih bocah begini punya suami. Bahkan sekedar pacaran aja belom pernah, dan ini langsung menikah. Gila sumpah!

Lebih gila lagi ngebayangin serumah sama Remon. Lelaki mesum yang udah pasti nggak ngenakin banget.

Aargg! Kesel banget! Udah merem, tapi otak nggak mau berhenti mikir!

Tetiba Duta duduk didepan gue. Duta, cowok kelas 12 IPA2 yang cukup populer dan tentunya badboy SMA Srikandi ini. Ganteng dan lumayan pintar, itulah dia.

Mata gue sedikit terbelalak lihat Duta anteng ngelihatin. "Eh, monyet! ngagetin aja lo!" Umpat gue. Karna memang mata setengah merem, jadi beneran kaget.

Duta Cuma senyum manis dengan tetap natap gue.

“Ada apa, Dut? Tumben nyamperin kesini?”

"Malem minggu akhir bulan, temenin gue, ya.” Pintanya.

Kening gue berkerut. “Kemana?”

“Keacara ulang tahunnya Frista. Teman sekelas gue. Mau, kan?” pintanya lagi sedikit mengiba. “Pliis,” Duta memang sering ngajakin keacara-acara begini. Sampai dikira kita itu punya hubungan lebih, padahal enggak ada apapun. Tapi dia itu selalu buat gue ngerasa nyaman. Apalagi kita memang udah kenal sejak kecil.

"Ntar, gue tanya Mama dulu, ya." Nolak langsung, kan nggak enak. Mending digantungin dulu. Karna jujur, gue lagi males kemana-mana. Galau banget, pengennya mager, istirahat dirumah. "Ok. Ntar langsung kabari, yak."

Cukup ngangguk tipis. “Yaudah sono. Gue ngantuk, pengen tidur.” Kembali merebahkan kepala di bangku. Ambil posisi ternyaman dan merem lagi. Nggak gue pedulikan Duta yang masih duduk ditempatnya.

Terasa sebuah tangan yang mengusap kepala lembut. “Selamat merem, cantik. Mimpiin gue, ya.” Lalu terdengar suara langkah menjauh.

bersambung.............

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel