Bab 17
"Pagi ma, pa, Ipar." Sapa gue saat mulai menuruni tangga.
Karna di meja makan udah ngumpul semua kecuali gue, dan ... bini gue nggak tau dimana. Di kamar juga udah nggak ada.
"Pagi juga, Remon," balas Mama.
"Hari ini kamu ada acara apa?" tanya Papa.
Gue duduk dikursi dekat Linxi. "Mau ke kantor, Pa. Ada beberapa berkas yang perlu aku periksa sendiri."
"Ajak Lira sekalian. Biar dia tau kerjaan kamu." sahut Mama.
"Ajak kemana?" Lira datang dari dapur, duduk di sebelah gue.
"Nanti kamu ikut Remon ke kantornya. Sekalian kamu bantuin dia." kata Papa.
"Nggak, ah, enakan main ps." Lira mulai ngambil nasi, lauknya, lalu makan.
"Lira, itu suaminya diambilin dong." Ini mama yang ngomong.
"Ambilin apa?"
"Nasi dan lauknya. Apa lagi?" sahut Mama.
"Dia kan punya tangan. Tangannya juga dua. Normal semua, nggak ada yang patah." Lira natap gue. "Elo bisa ambil sendiri, kan?"
"Lira, dia itu suami kamu, yang sopan dong." Papa belain gue.
Gue ketawa dalam hati. Enakan ngerjain Lira, biar dia kena omel. "Nggak apa-apa, Pa. Remon ambil sendiri aja. Kasian Lira pasti capek."
"Dia capek ngapain? Dari pagi cuma main ps." Sahut Mama.
"Capek semalam." jawab gue ngasal.
"Uhuk ... Uhuk ... Uhuk." Lira keselek nasinya.
"Nih, minum." Gue sodorin segelas air putih.
Linxi nggak ikutan usul apapun. Dia cuma ketawa kecil dan fokus makan.
"Emang semalem lo apain gue?" tanya Lira nge gas.
"Harus nya gue yang nanya. Lo semalem apain gue, hum?"
"Emang gue ngapain?"
"Lo dorong gue sampai jatuh, lo tendang gue sampai jatuh dari kasur, lo bogem gue sampai gue jatuh lagi. Saat gue udah pindah tidur di bawah, lo injak perut gue. Gue kurang gimana coba? Padahal ni ya, gue nggak nyentuh seinci kulit elo." Jelas gue panjang kali tinggi kali lebar dan bagi rata. Jujur, gue emang kesal, semalem bobok gue menderita banget.
Papa, Mama dan Linxi terkejut dengerin cerita gue. Linxi langsung ketawa kecil.
"Yaampun Lira, beneran kamu semalem KDRT sama suamimu?" tanya Mama sambil natap Lira tajam.
Lira nyengeges. "Lira nggak tau. Lira kan tidur."
Papa geleng-geleng kepala. "Dulu saat pertama nikah, Papa sama Mama juga bobok bareng, Lir. Papa juga masih sekolah kelas 12. Sama kaya' Remon. Umur Papa jauh dibawah umur Mama, tapi Mama selalu nge hormati Papa. Papa nggak pernah di KDRT lho. Kamu ini, baru semalam nyandang jadi istri kok udah gitu?"
"Ya kan Lira tidur, Pa. Mana Lira tau kalo udah nendang Remon."
"Linxi berangkat, ya." Linxi nyalami Papa dan Mama, lalu pergi.
Nyalami orangtua saat berangkat sekolah. Huufftt, sesuatu yang nggak pernah gue lakukan. Karna dari kecil gue jarang tinggal sama mami papi.
"Abis makan, kamu beresi barang-barang kamu. Kamu tinggal dirumah Remon." lanjut papa.
Gue ketawa seneng dalam hati. Hahahahhh ... berhasil deh.
"Lho Papa kok ngusir Lira sih? Papa udah nggak sayang sama Lira!" Dia ngambek, manyun dan pergi naik tangga.
"Dia ngambek, Pa." ucap gue lirih.
"Maafin Lira ya, Remon. Dari kecil dia emang manja. Kamu yang sabar, ya ngadapi dia." Pesan Mama. Gue hanya senyum dan ngangguk. "Nanti Mama coba ngomong sama dia."
**
Karna Lira ngambek, gue nggak jadi ajak dia ke kantor. Gue serahin kunci rumah ke Mama, dan langsung berangkat ke kantor karna ini udah telat pakai banget.
Sesampainya di kantor, udah disuguhin setumpuk berkas yang perlu gue cek sendiri.
"Percaya deh, elo pengantin baru. Sampai janjian jam tujuh datang jam sembilan. Jam di kamar lo mati atau udah nggak normal?" Sapaan Kristan saat gue baru aja duduk di kursi kebanggaan.
Nggak gue gubris ocehan dia. "Kita jadi meeting hari ini?" tanya gue.
"Jadi, nanti jam sepuluh, sebelum makan siang. Tante Dinda nanti kesini mimpin meeting." jelas Kristan.
"Jadi gue mesti ngebut baca setumpuk ini?" Memilah-milah tumpukan kertas folio di depan gue.
"Gue bantu." Kristan ambil satu bendel berkas.
Kami pun diam dengan keseriusan. Hingga tak terasa jarum jam sudah berada di angka sepuluh. Waktunya meeting.
"Re, nyokap lo udah di ruang meeting." Fani asisten kepercayaan gue masuk ke ruangan.
"Ok, Fan." Kristan yang jawab.
"Elo duluan, Kris, gue perlu ngomong bentar sama Fani."
Kristan ngangguk, ngerti. Dia keluar membawa beberapa berkas.
"Elo mau ngomong apa?"
"Elo ada hubungan apa sama Dewa?"
Dia keliatan kaget banget sama pertanyaan gue. Sampai matanya membulat. "Elo kok tau Dewa?"
"Elo hati-hati sama dia."
"Dia calon suami gue." Jawaban yang agak nge gas.
"Tinggalin dia, dia bukan cowok baik."
"Kok lo bisa ngomong gitu sih? Dia itu cowok gue. Gue udah lama kenal sama dia. Lo tau apa tentang dia!" Tambah nge gas, nggak terima.
"Gue peduli sama elo. Gue cukup kenal sama Dewa."
"Gue udah terlalu jauh sama dia. Gue nggak bisa." Dia geleng kepala.
"Dia penjahat wanita, Fan. Gue sering jumpai dia di club. Dia bandar ganja."
Fani nyandarin tubuh di pintu ruangan. Wajahnya terlihat frustasi. "Gue nggak ada pilihan lain, Re. Cuma dia yang mau nge save gue. Cuma dia yang peduli sama gue. Gue udah rusak sama dia." Mulai ada bulir bening yang netes dipipinya.
"Elo bisa keseret didalamnya, Fan. Namanya ada didaftar hitam kepolisian."
"Tolong jangan bilang ini ke Pak Sigit, Re. Gue nggak mau kehilangan dia. Dia penting buat gue."
"Gue nggak akan ngomong apapun. Tapi Papi udah tau, gue nggak bisa ikut campur soal kek gini."
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruangan diketuk dari luar.
"Re, nyokap lo marah. Lo kelamaan." Itu suara Kristan.
Gue deketin Fani. "Elo tenangin diri, pikirin baik-baik, gue peduli sama elo, gue nggak mau lo kenapa-napa. Gue meeting dulu."
Gue tinggalin dia sendirian dengan isakan tangis yang semakin menjadi.
Fani adalah anak yatim, lebih tepatnya anaknya Bik Sari pembantu dirumah Mami. Dia teman bermain gue sedari kecil, umur kami tak beda jauh. Dia lulus SMA tahun kemarin.
**
Meeting yang berlangsung sekitar satu setengah jam. Gue langsung balik ke ruangan. Saat buka pintu, Fani masih duduk di sofa sambil sibuk ngusap air mata.
Gue duduk disebelahnya, menyentuh bahunya. "Fan, tinggalin dia, ya. Kasian Bibik kalau sampai elo kenapa-napa."
"Makasih, Re, udah peduli sama gue. Emang cuma elo yang selalu care ke gue. Gue hutang banyak banget ke elo." Mengusap kasar pipinya yang basah.
"Jelas gue peduli sama elo, dari dulu juga gue selalu care sama elo, kan." Gue sentuh pipinya yang basah, mengusapnya lembut, dan mata kita jadi ketemu.
"Sorry gue ganggu." Suara yang sangat gue kenal. Lira berdiri di belakang gue dengan wajah yang nggak ngenakin.
"Gue cuma disuruh Mama ngaterin ini buat makan siang elo." Dia nyodorin kantong warna coklat berisi dua lunch box.
Gue terima yang dia kasih. "Elo jangan salah faham, ya. Dia Fani, teman gue."
"Iisshh, gue biasa aja. Lo mikir apa? Gue pergi, ya." Lira berbalik dan keluar ruangan.
Tentu gue langsung kejar Lira, menarik lengannya. "Yank, elo marah?"
Dia kibasin tangan gue. "Atas dasar apa gue marah? Gue emang ada janji sama temen."
"Elo temenin gue disini, bentar lagi kelar kok."
"Oga dugong! itu cewek mau elo apain?" nge gas lagi.
Gue senyum, menarik tangannya buat masuk ke ruangan. Bikin dia tambh manyun.
"Fan, kenalin. Ini Lira istri sah gue." Gue jujur, toh Fani udah nggak sekolah lagi. Dia juga nggak bakalan macem-macem.
Mata Lira membulat saat natap Fani. Pasti dia tau kalo Fani ini pacarnya Dewa. Fani pun langsung berdiri dan ngulurin tangan ke Lira.
"Hey, gue Fani, asistennya Remon. Elo nggak perlu cemburu, gue dari kecil emang udah dekat sama suami elo." Si Fani senyum ramah.
Lira balas uluran tangan Fani sambil senyum canggung. "Iya, nggak papa kok."
"Kalo gitu gue keluar, ya." Fani pun keluar ruangan.
"Re, itu kan pacarnya kak Dewa. Elo ingat kan, yang kemarin di rumahnya Wuri itu."
Kembali duduk di kursi kebanggaan, Lira berdiri di samping gue. "Elo jangan pernah datang ke rumah Wuri lagi, ya. Disana bahaya."
Keningnya berkerut. "Bahaya gimana sih? Wuri kan temen gue."
Gue tarik tangannya sampai dia duduk dipangkuan. Melingkarkan tangan di pinggangnya. Dia berontak kencang banget.
"Lo apa-apaan sih Setan! Lepasin!"
"Bentar aja."
"Nggak mau! Lepasin! Gue bogem beneran lo, ya!"
Ceklek!
Pintu ruangan kebuka. Mami muncul, matanya melotot kaget. Lira pun sama, beda sama gue. Gue udah biasa kek gini. Beda nya, sekarang sama istri sah.
"Mami," ucap Lira lirih.
Mami senyum senang. "Mami cuma mau pamit, mau ke kantor. Kalian, terusin aja. Mami balik ya, Lira sayang."
"Ii—iiya, Mi." Mumpung tangan Lira berontaknya ngendor, langsung aja gue eratin pelukan. Tubuh Lira wangi banget, dan gue udah candu sama wangi tubuhnya yang seperti ini.
"Remoonn! Elo apaan sih, gue sumpek! Lepasin monyet!" dia pukuli punggung gue.
"Gue lepasin, tapi elo suapin gue, ya." Gue natap dia, wajah kita pun begitu dekat. Dia cantik banget, sempurna. Gue selalu gemes kalo liat dia.
"Tangan elo mau ngapain?"
"Mau lanjut kerjain tugas-tugas. biar cepet kelar juga kerjaan gue."
"Yaudah, lepasin." Gue lepasin pelukan gue, dia pun langsung berdiri. "Elo nggak malu apa, diliat Mami tadi."
"Nggak tuh." Gue lanjutin baca-baca berkas yang masih ada beberapa, membuka laptop.
Lira nonyor kepala gue. "Emang mesum lo, ya!"
"Kebiasaan deh tangan nya gitu. Sekarang biasain jangan suka ngumpat jelek-jelek, Lir. Elo tuh cewek, nggak bagus."
"Iya bawel! Nih." Dia nyodorin sesuap makanan buat gue.
Gue senyum dan buka mulut.
