Menantu Keluarga Angkasa
Dalam perjalanan pulang, Pramudya meminta izin berhenti sebentar di sebuah toko pakaian wanita. Dia hendak membelikan istrinya baju karena Mentari tidak membawa apapun saat ke rumah Pak RT. Hanya pakaian yang melekat di tubuhnya saja yang dia bawa. Pramudya turun sendiri meminta Mentari, Pak Saman dan Pak Sam, supir, menunggu.
Tak perlu waktu lama, Pramudya kembali ke dalam mobil. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah keluarga Angkasa.
Setibanya di rumah, terlihat Bu Rukaiya yang menunggu dengan cemas. Beliau terlihat mondar-mandir. "Bagaimana, Pa?" tanya Bu Rukaiya sambil menghampiri Pak samat yang sedang masuk rumah.
"Alhamdulillah, Ma. Lancar," jawab Pak Saman seraya melepaskan kancing tangan kemejanya.
"Paman, Bibi, Pram sama Tari mau langsung ke kamar dulu ya?" izin Pramudya dengan menggenggam tangan Mentari, menuntunnya menuju kamar. Saat melewati Pak Saman dan Bu Rukaiya, Mentari tersenyum sambil menunduk sopan. Dia menggunakan feeling saja untuk memastikan keberadaan paman dan bibi suaminya.
Mata Bu Rukaiya bergerak mengikuti Mentari. Yang buta saja cantik apalagi saudaranya yang merupakan pacar Arjuna, pikir Bu Rukaiya. "Dia seperti tidak buta, Pa?" tanya Bu Rukaiya curiga. Dalam pikirannya buta itu seperti memejamkan mata. Tapi mata Mentari terlihat seperti mata orang normal pada umumnya.
"Dia memang buta, Ma," jelas Pak Saman. " Bagaimana manapun dia, sekarang dia sudah menjadi menantu keluarga Angkasa."
Bu Rukaiya menoleh ke arah suaminya. "Tapi, Pa? Apa kita harus memperkenalkan dirinya pada orang lain termasuk rekan bisnis kita?" Bu Rukaiya mulai takut kalau nama keluarganya akan tercemar saat orang lain tahu menantu yang buta.
"Paman dan Bibi tidak perlu memberitahukan soal Tari. Dia istriku bukan istri Arjuna," perkataan itu membuat Pak Saman dan Bu Rukaiya menoleh ke arah Pramudya.
Dia tadi hendak ke dapur mengambilkan minuman untuk sang istri. Dan mendengar obrolan paman bibinya.
"Bukan begitu maksud kami, Pram," sela Pak Saman.
Pramudya tersenyum. Dia mengerti maksud pamannya. Dia benar-benar tidak mempersalahkan andai Mentari tidak di akui sebagai menantu keluarga Angkasa. Pramudya sendiri sudah lama menganggap dirinya bukan anggota keluarga Angkasa. Dia takut disangka anak yang tidak tahu balas budi. Dia tidak mengharapkan apapun dari perusahaan pamannya. Yang tanpa dia sadari itu adalah perusahaannya. Dia akan berusaha berdiri sendiri tanpa ada bantuan keluarga pamannya.
"Aku mengerti maksud Paman. Paman tak perlu cemas," Pramudya mencoba menenangkan sang paman. "Aku permisi dulu. Mau mengantar minuman untuk Tari."
Pramudya segera berjalan menuju kamarnya. Menemui istrinya yang membuatnya ingin menatap wajah ayu istrinya.
Sesampainya di kamar, Pramudya langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Kebiasaan yang semestinya harus berubah. Sekarang dia tak lagi sendiri menghuni kamar tersebut.
Di dalam kamar, Mentari terperanjat saat mendengar pintu kamar terbuka. "Mas?" tanyanya ragu-ragu.
Pramudya hanya tersenyum mendengar ucapan Mentari. Dia tidak berkata apapun. Dia berjalan mendekati istrinya. Sedangkan Mentari nampak ketakutan. Dia mencengkeram sprei dan menggeser mundur posisi duduknya.
"Aku hanya mengambilkan air putih, tak apakan?" ucap Pramudya sambil meraih tangan Mentari lalu menyerahkan gelas yang dipegangnya. Mengetahui yang masuk ke kamar adalah Pramudya, Mentari menghela napas lega.
Segera diminum air yang di ambilkan suaminya. Pramudya tetap memandang kagum sosok wanita di depannya. Kemudian dia duduk di samping sang istri.
"Istirahatlah dulu. Nanti sore kita akan pergi membeli beberapa baju lagi untukmu. Aku tadi sengaja membelikan satu karena tidak tahu bagaimana seleramu," ucap Pramudya lagi.
Setibanya di kamar tadi, Pramudya memang menyuruh Mentari untuk ganti baju dengan yang dia belikan dadakan. Lalu Pramudya turun untuk mengambil air minum.
Pramudya tadi membelikan sebuah dress dengan panjang dibawah lutut dan lengannya sampai siku. Itu rekomendasi dari SPG toko.
Sedari tadi Mentari menatap lurus ke depan. Setelah mendengar ucapan Pramudya, dia segera menoleh ke arah sang suami yang duduk di sampingnya
"Tak perlu, Mas. Nanti kita bisa pulang mengambil baju di rumah," ucap Mentari merasa sungkan
"Tidak-tidak," ucap Pramudya sambil menggeleng dan istrinya tidak bisa melihat itu. "Kita memulai semua dengan yang baru. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan keluarga, tapi yang aku lihat saat kamu berbicara dengan Papa tadi, itu bukan hal yang baik."
Mentari meraba-raba ke arah Pramudya. Setelah itu dia mengusap pelan lengan suaminya.
"Kita tidak perlu membuang-buang uang untuk beli baju. Aku masih punya baju yang masih layak digunakan," ucapnya sambil tersenyum manis. Manis sekali bagi Pramudya.
"Kita masih mempunyai banyak waktu untuk saling mengenal. Nanti aku pasti akan menceritakan semua. Seperti yang Mas Pram katakan, kita adalah partner hidup. Kita berdua akan menjalani pernikahan ini dengan kejujuran dan saling terbuka."
Pramudya terdiam mendengar ucapan istrinya. Dia segera meraih gelas yang di pegang Mentari kemudian menaruhnya di atas nakas. Setelah itu Pramudya menggenggam kedua tangan Mentari dan mencium punggung tangan gadis itu. Sebenarnya ingin sekali Pramudya mencium bibir mungil itu, tapi dia belum berani. Tanpa sadar Pramudya melakukan itu. Dan Mentari langsung tersipu mendapat perlakuan yang manis ini. Pengalaman pertama yang dia rasakan.
"Walau pernikahan kita awalnya ketidaksengajaan dan paksaan. Tapi kita akan berusaha menjadikan pernikahan ini abadi sampai Jannah. Berusahalah untuk mencintaiku. Aku juga akan berusaha mencintaimu," ucap Pramudya lembut tapi penuh ketegasan. "Kita harus saling membantu dan saling mengingatkan sebagai partner hidup agar perjalanan kita menjadi lebih mudah."
"Aku minta maaf, Mas, belum bisa jadi istri yang baik seperti yang Mas Pram harapkan," ucap Mentari saat mengingat kalau dirinya tidak bisa melihat.
"Kita sama-sama berusaha. Aku juga bukan suami yang baik. Terima kasih menjadi partner hidupku," sekali lagi Pramudya mencium punggung tangan istrinya dengan mesra.
"Sekarang istirahatlah," ucap Pramudya sambil melepas genggaman tangan Mentari. Gadis itu menggeleng dan menarik tangan Pramudya kembali.
"Aku mau minta tolong," ucap Mentari.
"Minta tolong apa?" balas Pramudya penuh tanda tanya.
"Mas ceritakan tentang orang-orang yang tinggal di sini. Dan tentang rumah ini, maksudku tentang setiap sudut ruangan dalam rumah ini," kata Mentari ragu. "Mas bingung ya?". Mentari beranjak dari duduknya tapi tetap menggenggam tangan sang suami.
"Tolong bantu aku mengenal rumah ini dan penghuninya. Aku hanya bisa mengenali mereka lewat suara. Mas bantu aku keliling rumah ini agar aku mengenali setiap sudut ruangannya."
Pramudya mengangguk mengerti perkataan istrinya. Dia bangkit dan berdiri di samping Mentari.
"Nanti saat pulang mengambil baju, tolong antar beli the white cane juga ya Mas," pinta Mentari.
Setiap mendengar kata "Mas" dari bibir Mentari rasanya ingin meleleh hati Pramudya. Entah apa yang terjadi pada pria itu. Mungkinkah dia sudah jatuh cinta pada istrinya yang baru beberapa jam dia kenal.
