Awal Kisah
Setelah merapikan penampilannya, Mentari pun mengikuti Pramudya keluar kamar. Seperti niat awalnya, dia ingin mengetahui seluk beluk rumah yang akan Mentari tempati sekarang.
Rumah keluarga Angkasa hanya terdiri dari dua lantai. Kamar Pramudya berada di lantai dua. Setelah turun, ternyata lantai bawah sepi. Paman dan bibinya sudah pergi. Bergegas Pramudya mengajak istrinya ke dapur untuk menemui Bik Sumi.
"Bik!" panggil Pramudya. Bik Sumi yang sedang membersihkan kitchen set segera menoleh. "Kenalkan ini Mentari, istri Pram," lanjut Pramudya.
Mentari pun segera mengulurkan tangan dengan senyum tersungging di bibirnya. Bik Sumi mengelap tangannya di daster yang dikenakannya seolah membersihkan tangannya.
"Selamat datang, Non," ucap bik Sumi seraya menyambut uluran tangan Mentari. "Nona bisa panggil saya bik Sumi," lanjut art keluarga Angkasa.
"Bik Sumi jangan panggil saya Nona. Bibi bisa memanggil saya, Tari," ucap Mentari.
Bik Sumi memandang Pramudya seolah meminta penjelasan tentang ucapan Mentari. Tak mungkin bik Sumi hanya memanggil dengan Tari saja. Dia telah menjadi menantu keluarga Angkasa.
"Bik Sumi bisa memanggil dengan Tari saja. Asal jangan panggil Sayang itu hanya aku yang boleh," ucap Pramudya menjawab kode pertanyaan bik Sumi.
Bik Sumi tersenyum mendengar ucapan Pramudya. Dia bisa merasakan cinta yang tumbuh di hati Pramudya untuk istrinya. Wajah Mentari langsung merona mendengar ucapan sang suami.
"Cie …. sudah Sayang rupanya," goda bik Sumi, "Baru menikah langsung panggil Sayang untuk istrinya," ucap bik Sumi.
Wajah Mentari tambah merah mendengar perkataan bik Sumi. Dia benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Dia berpikir akan menikah dengan pria tua karena ayahnya tidak bisa membayar hutang ya seperti yang ada dalam novel. Dia juga belum tahu apa alasan pernikahannya dengan Pramudya.
Siapa Pramudya dan keluarga, dia pun belum tahu. Nanti bisa dia tanyakan. Sekarang yang terpenting mengenal keluarga sang suami.
"Wa bibi membuat wajah istriku seperti kepiting rebus. Lihatlah, merah sekali," ucap Pramudya malah menggoda istri.
Mentari segera memalingkan wajahnya kearah berlawanan dengan Pramudya. Pria pun ikut tertawa melihat tingkah sang istri.
"Paman dan bibi tadi kemana, Bik?" tanya Pramudya mengingat tujuannya membawa Mentari turun.
"Sepertinya tadi Tuan dan Nyonya masuk ke kamar," ucap bik Sumi.
"Kamu saudaranya Bulan?" tanya Arjuna ketika melihat seorang wanita bersama Pramudya. Dia baru bangun tidur dan hendak mengambil minum di dapur.
Serempak, mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Arjuna langsung menatap Mentari. Seperti mencari sesuatu dalam diri wanita yang sudah menjadi istri sepupunya.
"Sekilas kalian mirip, tapi Bulan lebih seksi darimu. Tubuhnya lebih berisi," Arjuna langsung mengomentari tentang Mentari.
Mentari terkejut mendengar pria yang baru datang menyebut nama adiknya. Siapa lagi pria ini, pikir Mentari.
"Arjuna, jaga bicaramu. Dia istriku sekarang," kata Pramudya tak suka.
"Yaelah Pram, punya istri buta saja sombong. Tenang saja aku juga tidak akan tertarik padanya," ucapan Arjuna tambah membuat emosi tersulut.
Tidak hanya Pramudya yang marah, bik Sumi pun tidak suka. Sedangkan yang di bicarakan, biasa saja. Mentari sudah terbiasa mendengar hinaan seperti ini. Orang tua dan saudaranya saja sudah bisa Mentari hadapi apalagi Arjuna yang bukan siapa-siapa.
"Arjuna!" teriak Pramudya penuh emosi.
Mentari segera menggenggam tangan sang suami. Dia menghadap Pramudya dan menggeleng pelan.
"Ada apa lagi ini? Kenapa ribut sekali?" Pak Saman berjalan menghampiri mereka yang berada di dapur. Terlihat dari belakang Bu Rukaiya ikut mendekati dapur.
"Pram, Pa. Punya istri buta saja sombong …,"
"Arjuna!" bentak Pak Saman membuat sang putra tidak melanjutkan perkataannya.
"Seharusnya kamu berterima kasih pada Pram dan istrinya. Andai mereka tidak menikah apa jadinya kamu dan pacar kamu itu," Pak Saman ikut geram.
Arjuna masih tetap sama belum berubah. Beberapa jam tidak akan merubah sifat Arjuna yang semaunya. Arjuna mendengus kesal. Sang ibu langsung merangkul putranya.
"Pa, jangan terlalu keras pada Arjuna," kata Bu Rukaiya sang ibu yang selalu membela putranya meski Arjuna salah.
"Mama yang jangan terlalu memanjakan Arjuna. Dia sudah sangat dewasa. Dua puluh tujuh tahun, Ma. Seharusnya dia bisa bertanggung jawab dengan perbuatannya. Bisa menerima kesalahannya. Bukan selalu lari dari masalah," ucap Pak Saman dengan emosi yang tidak bisa dibendung lagi.
"Maafkan perkataan Arjuna tadi ya," pinta Pak Saman pada Mentari. Pak Saman menatap Mentari sendu, tapi istri Pramudya tidak menyadari. Karena Mentari belum terbiasa dengan keluarga barunya.
"Tari, Paman bicara padamu," bisik Pramudya pada istrinya.
Mentay terkesiap, baru menyadari kalau Pak Saman bicara padanya.
"Iya Paman, tak apa-apa," ucap Mentari sambil tersenyum.
Arjuna langsung berbalik pergi meninggalkan dapur. Dia kesal dengan semua. Ayahnya selalu membela Pramudya. Bukan dari dulu, tapi beberapa tahun terakhir. Arjuna masih belum mengerti perubahan sikap ayahnya selama ini karena ingin menjadikan Arjuna sosok yang lebih baik lagi.
Setelah Arjuna pergi, Bu Rukaiya menyusul anaknya. Pak Saman hanya menghela napasnya melihat sikap putranya.
"Pram, segera urus pernikahanmu supaya sah di mata negara juga," titah sang paman sambil berbalik memutar tubuhnya.
"Iya, Paman," kata Pramudya sambil mengangguk.
Setelah pamannya pergi, Pramudya melanjutkan kembali keliling rumah keluarga Angkasa. Dia menuntun sang istri sambil menjelaskan ruangan yang dikunjungi.
"Oh iya, Mas," ucap Mentari mengingat sesuatu yang akan ditanyakan. "Siapa pria tadi? Kok kenal Bulan?"
Pramudya terdiam tidak melanjutkan perkataannya. Dia kasihan pada Mentari yang benar-benar tidak tahu alasannya dia dijadikan pengantin pengganti oleh keluarganya. Pikiran buruk tentang keluarga Mentari pun berkecamuk dalam benak Pramudya.
"Karena dialah kita menikah," kata Pramudya.
Mentari mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti maksud ucapan sang suami.
"Mereka, Arjuna dan saudaramu digrebek warga saat berbuat mesum di dalam mobil," lanjut Pramudya.
Mentari langsung menghentikan langkahnya. Dia menutup mulutnya dan menggeleng. Dia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Tak mungkin Bulan melakukan hal semacam itu.
"Terus mereka dipaksa menikah, tapi keduanya tidak mau. Lalu warga mengancam akan menikahkan paksa. Akhirnya mereka berdua setuju menikah dengan syarat meminta sedikit waktu untuk membujuk orang tua masing-masing," Pramudya melanjutkan cerita yang membuat Mentari penasaran.
"Dan akhirnya seperti saat ini. Kita yang menikah, padahal kita tidak melakukan apa-apa," lanjut Pramudya.
"Mas tahu? Aku mikirnya Papa tidak bisa melunasi hutang dan menjadikan aku sebagai pengganti hutangnya," ucap Mentari, dia pun merasa geli dengan pikirannya itu. "Seperti di cerita-cerita."
Pramudya tersenyum bahagia melihat Mentari tertawa lepas. Dia terlihat cantik dan semakin mempesona.
"Memang Papa punya hutang?"
"Aku tidak tahu masalah itu. Terus aku harus berpikir seperti apa? Masih pagi dibangunkan disuruh menikah?" ucap Mentari lagi. " Tidak mungkinkan tiba-tiba disuruh menikah dengan seorang pangeran. Kalau memang yang datang pangeran, pasti sudah dinikahkan dengan Bulan."
Pramudya masih mengagumi istrinya dalam diam. Tak bosan dia memandang Mentari. Sudah tidak nampak raut wajah yang cemas dan ketakutan. Dia sudah terlihat tenang. Mentari sudah bisa menerima kehadiran Pramudya.
