Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Pulang ke rumah sendiri.

Sandi menghadiri sidang perdananya dengan didampingi oleh pengacaranya. Begitupun Amelia yang didampingi oleh pak Bagas.

'Tumben mas Sandi ada waktu? Biasanya dia sama sekali tidak ada waktu untukku. Jangankan untukku, untuk Kirana pun dia sama sekali tidak ada waktu selama empat tahun ini. Apa karena ini adalah sidang perceraian, jadi dia ingin menyempatkan diri untuk hadir?' Lirih batin Amelia.

Sidang perceraian untuk Sandi dan Amelia akan segera dimulai.

Seorang wanita seusia Amelia, dengan memakai pakaian sexy, masuk ke ruang persidangan. Dialah Melisa Hapsari. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, duduk di samping Sandi.

Safitri menyikut lengan Amelia. Amelia hanya menjawab dengan isyarat mata agar Safitri diam dan tak membuat kekacauan. Pak Bagas tampak berbisik-bisik dengan Safitri sambil sesekali menatap wanita yang duduk di samping Sandi.

Sidang berjalan dengan lancar. Setelah selesai, dengan tertib mereka keluar dari sidang.

"Mas Sandi," panggil Amelia.

Sandi menghentikan langkahnya. 'Pasti dia akan merengek dan ingin berbaikan. Mimpi!' Ejek Sandi dalam hati.

Amelia menyerahkan ATM yang beberapa waktu lalu diberikan Sandi kepadanya di sebuah kafe. "ATM mu aku kembalikan. Tenang saja, tak sepeserpun uang di ATM tersebut dipergunakan."

Sandi terdiam sejenak karena sudah salah sangka. Ia mengambil ATM yang disodorkan Amelia. "Wanita sok jaim sepertimu, aku ingin melihat seberapa lama bertahan di luar sana tanpa pekerjaan dan dengan ijazah rendahan." Sandi segera berlalu dengan menggandeng tangan Melisa.

"Mas tenang saja. Bukankah selama empat tahun ini mas tak pernah memberi aku uang belanja? Dan nyatanya aku masih hidup sampai sekarang. Jangankan terhadapku, terhadap Kirana pun mas tidak pernah memberi dia uang dan makan. Oh, aku lupa. Mas memang tidak ada kewajiban untuk menghidupi Kirana karena nasabnya adalah ibunya, bukan ayahnya. Dan aku, tak akan pernah meminta sepeserpun baik untuk diriku ataupun untuk putriku," balas Amelia dengan suara agak sedikit keras. "Ohya, satu lagi. Saranku, kalian jangan terlalu sering menampakkan kemesraan di hadapan publik, agar orang-orang tidak mengira Melisa adalah pelakor dalam pernikahan kita. Assalamualaikum," imbuhnya.

Sandi memelototi Amelia dengan marah tertahan, kemudian berlalu pergi. Ada rasa kesal dalam hatinya, terlebih Amelia mengembalikan ATM yang beberapa hari lalu diberikannya.

Safitri mengantar Amelia sampai ke kediaman Sandi Arifin.

"Maaf, nyonya. Nyonya besar melarang nyonya Amelia untuk masuk ke rumah ini. Dan ini adalah barang-barang anda, nyonya," sambut seorang bi Surti, pekerja di keluarga Arifin menyerahkan dua koper ukuran besar dan sedang, ketika melihat Amelia turun dari mobil milik Safitri.

"Owh. Ya sudah. Terima kasih, Bi. Apa barang milik Kirana juga ada di dalam koper ini?" Tanya Amelia berhati-hati.

"Iya, Nyonya. Nyonya besar tadi perintahkan saya untuk mengemasi barang nyonya Amel dan Nona Kirana. Maafkan Bibi, Nyonya," sesal bi Surti. "Nyonya setelah ini akan tinggal di mana? Boleh bibi ikut, Nyonya?"

Amelia tersenyum sebelum menjawab pertanyaan bi Surti. Selama tinggal di keluarga Arifin, bi Surti selalu memperlakukan Amelia dengan baik.

"Kalau bibi ikut saya, nanti dikira saya merampok bibi dari mereka. Bibi baik-baik kerja di sini ya. Amel yakin, bibi lebih paham karakter mereka daripada Amel yang baru empat tahun tinggal di sini. Ya sudah, saya pamit dulu, bi. Terima kasih atas kebaikan bi Surti selama saya berada di rumah ini. Assalamualaikum," pamit Amel, lalu mencium takzim tangan wanita yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu.

"Wa'alaikumussalam, nyonya. Ada apa-apa, tolong kabari bibi. Syukur-syukur kalau bibi bisa ikut nyonya dan Nona Kirana."

"Nanti pasti saya akan culik bi Surti kalau semua sudah siap, bi," canda Safitri. Kemudian ikut menyalami bi Surti sebelum masuk dan duduk di belakang kemudi.

Deru halus kendaraan yang membawa Amel terdengar semakin menjauh. Bi Surti masuk ke kediaman keluarga Arifin, melanjutkan pekerjaannya.

"Kamu akan tinggal di kediamanmu yang lama atau tinggal di rumahku?" Tanya Safitri.

"Aku akan tinggal di rumahku sendiri, Fitri. Kalau tinggal di rumahmu, sepertinya kurang baik. Karena ada kakakmu di sana. Aku tak ingin ada fitnah. Karena bagaimanapun juga, sidang perceraianku belum tuntas."

"Lalu, bagaimana dengan Kirana? Apa tetap akan tinggal di pesantren atau kamu akan didik sendiri karena sekarang aku yakin kalau Kirana keluar dari rumah itu, dia pasti akan bahagia. Tanpa ada nenek dan bibinya yang selama ini menindasnya."

"Untuk masalah itu, aku akan bertanya terlebih dahulu kepada Kirana. Dia mau tetap di pondok atau keluar dan tinggal bersamaku. Ohya, mulai besok aku akan melakukan siaran kembali setelah empat tahun lamanya vakum," tandas Amelia.

"Yakin, Mel?" Pekik Safitri riang.

"Iya, bawel. Aku sudah rindu untuk siaran. Hanya saja kutahan karena kondisiku yang masih status istri mas Sandi."

"Alhamdulillah, akhirnya Kiswah Ajwad akan muncul lagi. Para penggemarmu sering bertanya tentangmu. Kami hanya bisa menjawab kalau kamu sudah tidak siaran karena sudah menikah. Terus terang saja, keluarmu dari stasiun Suara Langit FM, terlalu mendadak. Bahkan kamu tak ada berpamitan kepada penggemar-penggemarmu. Namun mereka masih setia menantimu untuk kembali bersiaran," tutur Safitri.

"Topengku masih tersimpan rapi, kan?" Tanya Amelia.

"Tenang saja, bos. Semua barang privacy milikmu kusimpan rapi. Bahkan tak ada yang tahu selain aku dan kakakku."

Tak terasa kendaraan mereka sudah memasuki gerbang rumah megah bercat warna putih dengan ornamen dan model ala eropa.

Seorang satpam membuka gerbang setelah Safitri mengklakson. Mobil pun bergerak menuju garasi. Tiga jenis mobil mewah sudah bertengger di sana. Salah satunya adalah mobil sport berwarna merah.

"Aku kangen mobil sportku. Besok-besok aku akan bawa ketika menjenguk Kirana ke pesantren," ujar Amelia setelah membuka pintu mobil.

"Neng, sudah datang? Ya Allah, bibi kangen. Gimana kabarnya, neng?" sapa bi Hanifah, wanita yang merawat Amelia sebelum dia menikah.

"Alhamdulillah, Mel sehat, bi. Bibi sehat? Terima kasih ya, bi, karena sudah merawat rumah saya. Ohya, ini oleh-oleh untuk bibi dan pak Karjo. Maaf, cuma bawa itu karena tadi juga saya terburu-buru pulang ke sini."

"Ya Allah, neng. Terima kasih banyak, neng. Bibi sama pak Karjo lihat neng sehat dan datang ke rumah ini lagi, sudah Alhamdulillah banget, neng. Tak perlu pakai oleh-oleh segala, toh ini rumah neng Melia."

"Nggak apa-apa, Bi. Ohya, mungkin nanti putri saya, Kirana, juga akan tinggal di sini kalau semisal dia ingin keluar dari pesantren. Tapi saya hendak menjemput ayah terlebih dahulu setelah menjemput Kirana, Bi. Baru kami akan tinggal di sini. Kasihan ayah sendirian di kampung. Apalagi… setelah saya menikah tidak pernah menjenguk beliau," lirih Amelia, sedih.

"Bibi paham, neng. Bagaimanapun juga, ketika wanita sudah menikah, maka ia harus mengabdi kepada suaminya. Tidak bisa bertindak sesuka hatinya lagi. Ya sudah, bibi sudah siapkan makan buat neng Melia dan neng Safitri. Bibi mau antar ini buat pak Karjo dulu, neng," pamit bi Hanifah.

Amelia mengangguk dan mengucapkan terima kasih, demikian pula Safitri. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah.

****

"Rencana licik apa lagi yang ada dalam otak Amel? Dia menggugat cerai tanpa meminta harta gono-gini sepeserpun, bahkan meski untuk putrinya," gumam Sandi.

"Bukankah itu bagus, kawan? Hartamu sebelum menikah adalah hasil jerih payahmu. Bahkan setelah menikah sekalipun. Bukan hasil kerja berdua. Calon mantan istrimu hanya di rumah, tak melakukan pekerjaan apapun. Pemalas," hasut Teddy.

Sandi sekilas melirik salah satu sahabatnya.

"Wanita licik seperti Amel sangat berbahaya. Aku yakin kamu tak lupa bagaimana dia dulu bisa menikah denganmu. Memasukkan obat jenis sildenafil ke dalam minumanmu. Padahal dia tahu saat itu kamu adalah kekasih sahabatnya sendiri, Melisa. Tapi dia dengan segala kelicikannya, justru merebutmu dengan cara hina dari tangan Melisa," sambung Guntur.

Sementara Ihza, sahabat Sandi yang lainnya, hanya memilih diam. Dalam hatinya tidak setuju dengan apa yang ada dalam pikiran Sandi dan dua sahabatnya yang lain.

Ihza meski tidak tahu persis Amel itu wanita seperti apa, tapi ia yakin kalau Amel adalah wanita baik dan penurut. Bahkan termasuk wanita naif yang tak memperdulikan nyawanya sendiri. Bukan tanpa sebab Ihza berpikiran demikian. Tanpa sengaja Ihza bertemu dengan Amel yang kala itu sedang hamil tujuh bulan, sedang berjalan sendirian di tengah derasnya hujan. Saat Sandi meninggalkannya karena mendapat panggilan dari Melisa. Akhirnya Amel diturunkan begitu saja di pinggir jalan. Ihza membawa Amel ke rumah sakit. Akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar setelah memeriksa kondisi Amel dan bayinya. Bayi yang lahir sebelum waktunya.

Hal kedua yang Ihza ketahui adalah tatkala Kirana sakit dan memerlukan donor darah. Kebetulan stok darah ABplus sedang kosong di bank darah dan PMI. Amel berkali-kali menelepon Sandi, namun selalu ditolak. Akhirnya Amel memaksakan darahnya sendiri meski tidak satu golongan dengan Kirana, untuk didonorkan. Kondisi Amel saat itu pun juga lemah.

"Lebih baik kalian diam, jangan menambah panas suasana. Jangan menjadi kompor bagi kehidupan orang lain," Ihza angkat bicara. "Jangan terlalu berpikir naif tentang istrimu. Kita sendiri tidak tahu apa yang terjadi waktu itu dan siapa yang menaruh sildenafil ke dalam minumanmu. Aneh jika kamu terus-terusan menuduh Amel," Ihza mengalihkan pandangannya ke arah Sandi.

"Siapa lagi kalau bukan wanita hina itu? Pakaian saja yang tertutup, seakan wanita suci. Tapi otaknya penuh dengan segala macam rencana jahat. Tak mungkin kalau bukan dia. Buktinya, dia mau tidur dengan Sandi padahal mereka belum menikah dan Sandi sudah memiliki kekasih," bantah Teddy, keras.

"Sudah lah, tak baik menuduh orang tanpa bukti. Aku pamit terlebih dahulu. Ayahku meminta untuk pulang. Assalamualaikum," pamit Ihza.

"Wa'alaikumussalam."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel