2. KAMPUS DAN CAFE
Elena dan Dewi melangkahkan kakinya menuju ke kelas, karena sebentar lagi akan ada kuis.
"Elena!" Terdengar suara memanggil dari arah sudut ruangan begitu kakinya menginjak lantai ruang kelas.
"Apa?" Tanya Elena.
"Duduk di sini," temannya yang memanggil menepuk kursi kosong yang ada disebelahnya.
"Kita duduk di sana yuuk!" Ajak Dewi.
Elena mengikuti Dewi. "Kalian berdua senang sekali duduk dipojokkan begini."
"Karena Dosennya sudah tua, jadi gue lebih senang dipojokkan. Setidaknya mataku terjaga dari polusi," jawab Dewi seenaknya.
"Hush! Jahatnya mulut kau itu!" Jawab Elena.
"Loe sudah lama di sini?" Tanya Dewi ke temannya yang tadi memanggil.
"Cukuplah bikin pantat gue karatan," jawab temannya menggeser duduknya agar cukup untuk tiga orang.
"Febri, tumben loe datang lebih awal dari kita," Elena langsung duduk.
"Gue gabut di rumah. Bokap nyokap gue lagi berantem, mending gue cabut daripada lihat mereka berantem. Pusing kepala gue," jawab Febri. "Sudah tua bukannya pada insaf, ini malah setiap hari berantem. Masalah kecil bisa jadi besar," jawab Febri.
"Masih saja mereka berantem? Kasihan banget sih loe, setiap hari lihat bonyok berantem. Yang sabar ya," Dewi memberi semangat.
"Tau dah, pusing gue," ucap Febri pelan.
"Memang hampir setiap hari bonyok loe berantem?" Tanya Elena.
"Iya, mereka berdua itu sudah seperti Tom and Jerry, Abang gue malah pernah tidak pulang berapa hari saking kesalnya melihat bonyok berantem," jawab Febri.
"Kamu sih enak Elena, bonyok loe akur-akur saja," ucap Dewi.
"Kadang bonyok gue juga berantem, tapi tidak pernah berantem gede sampai kayak perang dunia. Mereka kalau berantem juga di dalam kamar, cuma ribut-ribut kecil beda pendapat saja," jawab Elena.
"Tiap orang punya masalah sendiri-sendiri. Semoga saja suatu saat nanti, gue punya pasangan hidup yang sayang dan baik sama gue," ucap Febri.
"Aamiin," Elena dan Dewi mengaminkan temannya.
Tidak lama kemudian Dosen pembimbing masuk, suara becanda yang tadi memenuhi ruangan seketika hilang. Semuanya sekarang fokus melihat ke depan.
Waktu terus beranjak pergi, jam telah menunjukan angka di siang hari. Semua mata kuliah telah Elena lewati sampai selesai dan sekarang tiba waktunya untuk pulang.
"Loe mau pulang naik apa?" tanya Dewi.
"Naik taksi," jawab Elena. "Tapi pasti mahal, sayang duit."
"Naik bus saja," usul Febri. "Gue juga mau naik bus."
"Iya, yuk naik bus Elena. Ngapain sih naik taksi, rumah loe itu jauh. Berapa tuh argonya kalau naik taksi?"
"Iya, gue naik bus. Tapi kalau ada yang gangguin gue, kalian berdua lawan ya," jawab Elena.
Dewi dan Febri serentak mencibir. "Baik Tuan Putri Elena Marlyana Darmawan!"
"He-he-he. Good! Anak baik, gitu dong kalau menjaga temannya. Harus totalitas!"
"Totalitas Mbahmu!" Jawab Dewi.
"Ayo cabut! Kalian mau nginap di sini atau apa?" Elena langsung pergi dengan membawa tas serta buku di tangannya.
Ketiga gadis muda itupun pergi meninggalkan kampus tempat mereka menuntut ilmu. Sebuah Universitas yang cukup terkenal, selalu menghasilkan alumnus-alumnus yang hebat.
Peluh yang menghiasi kening Elena sesekali dihapusnya dengan tisu yang tidak pernah lepas dari tangannya. Kulit putihnya terlihat merah karena teriknya panas matahari dan juga cuaca yang sangat panas apalagi berada di dalam bus yang penuh sesak.
"Kita tidak kebagian tempat duduk," bisik Dewi di telinga Elena yang berada dekat dengannya.
"Tidak masalah, yang penting kita bisa ikut naik," jawab Elena. "Perutku sudah lapar ingin cepat pulang."
"Iya sama, gue juga lapar," bisik Febri disamping Elena.
"Bagaimana kalau kita cari tempat makan sebelum pulang?" Dewi memberi usul.
"Boleh juga," jawab Elena. "Sumpah! Gue lapar banget. Tadi pagi cuma makan roti bakar, setelah itu tidak makan apa-apa lagi."
"Ok deal! Kita turun dari bus cari makan. Sudah lama juga kita tidak makan di luar," jawab Febri. "Gue juga agak malas mau pulang."
"Ok!" Jawab Elena dan Dewi serempak.
Bus yang mereka tumpangi semakin lama semakin sesak sehingga Elena, Dewi dan Febri memutuskan untuk turun.
"Pak sopir stop!" Teriak Febri menghentikan bus.
"Di sini neng?" Tanya sopir.
"Iya Pak. Stop!" Jawab Febri.
Bus berhenti tepat disamping trotoar. "Cepat neng, cepat turunnya!"
"Ayo cepat turun!" Febri menarik tangan Elena, begitu juga dengan Elena yang menarik tangan Dewi.
"Terima kasih Pak," teriak mereka bertiga setelah berhasil turun dengan susah payah karena di depan mereka banyak orang yang juga berdiri.
"Sekarang kita ke mana?" Tanya Febri menghapus peluh yang ada di lehernya dengan tisu.
"Cari makan," jawab Elena dengan wajah yang merah karena teriknya panas matahari.
"Ayo, gue tahu tempat makan yang enak. Di sana juga sering ada cogan yang makan. Siapa tahu ada satu yang nyangkut," ajak Dewi.
"Ayo, gue haus banget," jawab Elena mengikuti Dewi yang jalan di depan mereka berdua.
"Gue tidak mau tempatnya yang jorok ya," kata Febri.
"Nggaklah! Gue juga tidak mau kalau tempatnya jorok," jawab Dewi berjalan di depan mereka.
"Matahari hari ini tidak bersahabat. Kalian merasa tidak sih, terik matahari rasanya pedes banget di kulit?" Tanya Elena.
"Terasa dong, loe pikir kulit kita kulit badak apa? Sampai panas terik begini tidak merasakan apa-apa," jawab Febri.
"Gue pikir kalian tidak merasakan apa-apa. He-he-he," ucap Elena terkekeh.
"Nah itu tempatnya," tunjuk Dewi pada sebuah tempat yang lebih mirip seperti sebuah cafe.
"Kelihatan nyaman tempatnya," jawab Febri melihat di depan cafe banyak meja-meja yang dipayungi payung besar.
"Memang tempatnya nyaman, makanannya juga murah meriah. Itu tempat nongkrong para mahasiswa yang bajetnya pas pasan. He-he-he. Seperti kita," jawab Dewi.
"Kita? Loe saja kali," jawab Febri.
Mereka bertiga masuk ke dalam cafe. Lebih memilih duduk di dalam, karena di luar cuacanya sangat panas.
"Kalian mau pesan apa?" Tanya Elena melihat buku menu yang sudah ada di atas meja.
"Spaghetti dan minumnya juice jeruk saja," jawab Febri.
"Aku juga sama," jawab Elena. "Kalau bisa juicenya jangan lama-lama. Aku sangat haus."
Dewi memanggil salah satu pelayan untuk memesan makanan dan minuman. "Jangan pakai lama ya. Kita sudah kelaparan dan kehausan."
"Ok siap!" Jawab pelayan yang umurnya tidak jauh berbeda dengan mereka bertiga.
"Ganteng juga dia," bisik Febri melihat pelayan itu pergi.
"Dia mahasiswa juga, anak hukum. Nyambi di sini untuk biaya kuliah," jawab Dewi.
"O ya? Boleh juga tuh," Febri tersenyum. "Siapa namanya?"
"Galang. Loe buta tidak lihat namanya yang nempel dibaju," ucap Dewi.
"Galang, lumayan juga. He-he-he," Febri terkekeh. "Lumayan buat ngemil."
"Gila loe, orang dicemilin. Ha-ha-ha," Dewi tertawa terbahak.
"Sst! Ketawa loe jangan kenceng begitu. Malu dilihatin orang!" Tegur Elena melihat ke arah kumpulan beberapa orang yang duduknya tidak jauh dari meja mereka.
