3. Penolakan Diandra
Pagi yang sibuk, cuaca begitu cerah. Langit biru tanpa awan seakan turut merestui pertemuan dua keluarga yang akan menjadi besan. Mobil hitam mengkilap milik Keluarga Ganendra perlahan memasuki halaman rumah besar bergaya klasik milik Tuan Pratama.
Di dalamnya, Sebastian duduk bersama ayah dan ibunya, mengenakan kemeja putih rapi dan celana bahan berwarna navy. Wajahnya tenang, tapi hatinya berdebar keras.
"Jangan tegang begitu, Nak," ujar sang ibu, Nyonya Rasmi, sambil merapikan kerah kemeja putranya.
"Ingat, ini pertemuan pertama dengan keluarga calon istrimu."
Ayahnya, Tuan Ganendra, menimpali, "Bersikaplah sopan, seperti biasa. Tapi jangan terlalu kaku. Biar mereka tahu kamu lelaki yang bisa dipercaya."
Sebastian hanya mengangguk pelan. Tak banyak kata keluar dari mulutnya, namun dalam hatinya, ada rasa penasaran yang begitu besar, seperti apa sebenarnya Diandra, gadis yang dijodohkan dengannya?
Pintu utama rumah megah itu terbuka lebar. Tuan Pratama sendiri, lelaki paruh baya dengan senyum hangat dan postur yang tegap, berdiri menyambut dengan ramah. Di sampingnya, sang istri, Nyonya Sekar, mengenakan kebaya biru lembut yang membuatnya terlihat anggun dan bersahaja.
"Selamat datang, Tuan Ganendra, Nyonya Rasmi, juga Sebastian," sambut Tuan Pratama sambil menjabat tangan satu per satu.
"Terima kasih sudah menerima kami dengan baik," jawab Tuan Ganendra dengan senyum lebar.
Mereka kemudian diarahkan masuk ke ruang tamu yang luas, dengan sofa empuk berwarna krem dan meja kayu jati besar di tengahnya. Hangat, tapi tetap berkelas.
"Kami sangat senang dengan rencana ini," ucap Nyonya Sekar membuka pembicaraan.
"Sudah lama kami ingin mengenal keluarga kalian lebih dekat."
"Kami pun begitu," balas Nyonya Rasmi.
"Sebastian juga terlihat sangat tenang menghadapi ini semua."
Seketika percakapan mulai mengalir, tentang pekerjaan, asal-usul keluarga, dan kehidupan sehari-hari. Semua berlangsung dengan sopan dan penuh tawa ringan. Namun perhatian Sebastian teralihkan saat terdengar suara langkah kaki ringan dari arah dapur.
Ketika Sebastian mengalihkan pandangannya, matanya langsung terpaku.
Dari balik ruang makan, muncul seorang gadis dengan langkah anggun dan wajah teduh. Di tangannya ada sebuah nampan perak berisi beberapa cangkir teh hangat. Rambut hitam panjang tergerai indah, dan senyumnya yang sopan seolah membuat waktu berhenti sejenak bagi Sebastian.
Diandra.
Sebastian terdiam. Itu Diandra, adik kelasnya saat SMA dulu. Gadis yang diam-diam dirinya sukai selama bertahun-tahun tapi tak pernah dia dekati karena terlalu takut, dan sangat ragu. Dan kini, gadis itu berdiri di depannya, membawa teh untuk dirinya dan keluarganya.
“Ya Tuhan,” batin Sebastian.
“Ternyata aku mau dijodohkan dengan Diandra? Gadis yang sejak dulu aku sukai?” soraknya dalam hati.
"Silakan tehnya, Bu, Pak," ucap Diandra sopan sambil menaruh cangkir satu per satu di hadapan tamu-tamunya.
Ketika matanya akhirnya bertemu dengan Sebastian, gadis itu sedikit terkejut, namun tetap menjaga ekspresi tenangnya. Dia juga benar-benar tak menyangka pria yang akan dijodohkan dengannya adalah Sebastian, kakak kelas yang dulu terkenal pendiam tapi berprestasi.
Sebastian tersenyum tipis. Tak berkata apa-apa. Tapi dalam hatinya, badai perasaan mulai berkecamuk.
"Apa kamu baru sadar siapa calon istrimu, Nak? He-he-he," goda Mami Rasmi sambil tertawa pelan.
"Ya ...." jawab Sebastian pelan, matanya masih tak lepas dari Diandra.
"Aku, mengenalnya waktu sekolah dulu."
"Oh? Benarkah?" tanya Tuan Pratama sambil tersenyum tipis.
"Dunia memang sempit, ya?"
Diandra hanya tersenyum dingin, lalu duduk di samping ibunya, tetap sopan, walau hatinya terasa campur aduk. Dia tidak punya perasaan pada Sebastian. Sang gadis bahkan belum siap untuk dijodohkan. Tapi Diandra terlalu takut mengecewakan orangtuanya.
Tiba-tiba, suasana berubah hening ketika sang ayah berkata, "Sebastian, kami ingin bertanya padamu di depan semua anggota keluarga. Apakah kamu setuju dengan rencana perjodohan ini?"
Seketika mata semua tertuju padanya. Termasuk Diandra.
Sebastian menoleh ke arah kedua orangtuanya, lalu memandang Diandra yang sedang menunduk pelan.
Lalu pria itu tersenyum. Senyum tulus yang selama ini hanya dirinya simpan dalam hati.
"Aku setuju," jawabnya mantap.
Semua terdiam. Lalu terdengar helaan napas ringan dari sang ibu yang tampak lega. Tuan Pratama dan Nyonya Sekar pun ikut tersenyum bangga.
Namun yang paling terkejut adalah Diandra.
Mata gadis itu membesar seketika. Dia menatap Sebastian dengan tatapan tak percaya.
Diandra tidak menyangka Sebastian akan mengiyakan begitu cepat, begitu pasti. Padahal mereka bahkan tak pernah benar-benar berbicara sewaktu sekolah dulu.
"A … aku ke dapur sebentar, Mi," ucap Diandra gugup, segera bangkit dan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban ibunya.
Sebastian hanya mengikuti kepergiannya dengan pandangan penuh makna. Sang pria sadar jika Diandra belum tahu isi hatinya. Tapi bagi Sebastian, perjodohan ini bukan beban, melainkan anugerah yang tak pernah dirinya duga akan menjadi kenyataan.
"Sepertinya Diandra kaget juga," ucap Nyonya Sekar mencoba tersenyum.
"Dia memang belum banyak bicara soal perjodohan ini, tapi kami tahu Diandra anak yang penurut."
Nyonya Rasmi menimpali,
"Itu wajar, Jeng. Perasaan anak muda kadang tak mudah ditebak."
Sementara itu, di dapur, Diandra berdiri di samping wastafel, memandangi air yang mengalir dari keran. Pikirannya kalut.
"Kenapa dia setuju begitu saja?" bisiknya pelan.
Gadis itu tak pernah mengira bahwa kakak kelas yang dulu hanya lewat sekilas di koridor sekolah, kini menjadi calon suaminya. Perasaan yang tidak pernah dirinya bangun, kini harus dia jalani.
Namun jauh di lubuk hatinya, Diandra pun bertanya-tanya, apa jadinya bila dia memberi kesempatan untuk mengenal Sebastian lebih dalam?
Usai makan malam, suasana ruang makan terasa lebih hangat. Tuan Pratama dan Tuan Ganendra masih terlibat dalam obrolan ringan tentang bisnis dan kenangan masa muda, sementara Nyonya Sekar dan Nyonya Rasmi sudah mulai membereskan piring-piring bekas makan bersama asisten rumah tangga.
Tak lama kemudian, Nyonya Sekar berkata dengan lembut, “Sebastian, bagaimana kalau kamu dan Diandra mengobrol sebentar di teras belakang? Kami ingin kalian lebih saling mengenal.”
Tuan Pratama menimpali,
“Benar itu. Anggap saja ini momen untuk berbicara dari hati ke hati.”
Sebastian hanya mengangguk, lalu melirik Diandra. Gadis itu sempat ragu, tapi akhirnya berdiri dan berjalan pelan menuju teras belakang rumah yang diterangi cahaya temaram dari lampu gantung antik.
Suara jangkrik mulai terdengar, diselingi angin malam yang sejuk. Diandra berdiri memandangi taman yang gelap, sementara Sebastian duduk di bangku kayu panjang. Dia menunggu, memberi ruang.
Setelah beberapa detik hening, Diandra akhirnya berbicara, suaranya pelan tapi jelas.
“Kenapa?”
Sebastian menoleh pelan.
“Kenapa, apa?”
“Kenapa kamu menerima perjodohan ini?” Diandra memalingkan wajahnya, tampak gugup. Wajahnya memerah, antara malu, bingung, dan marah yang tertahan.
Sebastian menarik napas. Dia tahu pertanyaan itu akan datang. Sang pria lalu tersenyum dengan tenang.
“Karena, tak ada salahnya mencoba dulu,” jawabnya jujur.
Diandra langsung menoleh dengan mata melebar. Dia melangkah mendekat, menatap Sebastian dengan tajam.
“Pernikahan itu bukan ajang coba-coba, Sebastian,” ujarnya dengan suara tegas.
“Ini bukan eksperimen atau permainan. Ini tentang hidup seseorang.”
Sebastian mengangguk, tak membela diri. Dia tahu Diandra sedang menahan banyak hal. Tapi pria itu juga punya hak untuk bicara.
“Aku tahu,” katanya pelan.
“Tapi aku juga tahu, kamu bukan orang sembarangan. Dan
aku ....” Sebastian berhenti sejenak, menatap mata Diandra yang berkaca-kaca.
“Aku telah menyukaimu sejak lama, bahkan sejak kita masih sekolah.”
Mata Diandra terbelalak. Dia sangat kaget.
“Apa?”
“Dulu aku memang tidak pernah bicara denganmu,” lanjut Sebastian.
“Tapi aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Kamu ... kamu seperti lukisan hidup. Tenang, tapi penuh warna. Aku bahkan tahu kamu selalu duduk di bawah pohon ketapang di taman belakang sekolah saat jam istirahat.”
“Jadi ... kamu memang sudah menyukaiku sejak dulu?” tanya Diandra lirih.
Sebastian mengangguk. “Iya. Tapi aku tak pernah punya keberanian untuk bicara. Sekarang, takdir membawaku ke sini dan akhirnya menemukanmu.”
Diandra menunduk. Suasana terdiam. Angin kembali berhembus, membuat ujung rambutnya menari lembut.
“Tapi Sebastian,” katanya akhirnya.
“Aku tidak menyukaimu. Sama sekali.”
Sebastian membeku. Dia merasa seperti tertusuk di dada. Tapi sang pria tetap tersenyum, meski tipis.
“Aku mengerti.”
“Aku tidak mau dijodohkan, bukan karena kamu saja,” lanjut Diandra.
“Tapi karena aku punya mimpi. Aku ingin jadi pelukis terkenal. Aku ingin pameran karyaku di galeri seni luar negeri. Aku tidak mau terikat hubungan apapun sekarang. Termasuk, pernikahan.”
Sebastian menunduk sesaat, lalu menatapnya dengan ketulusan penuh.
“Aku tidak akan menghalangi itu. Aku akan tetap membiarkanmu bebas, menyalurkan hobimu. Aku tidak akan mengekangmu setelah kita menikah.”
“Itu bukan soal izin atau tidak,” tegas Diandra.
“Ini soal pilihan. Aku ingin memilih jalanku sendiri. Tanpa embel-embel suami, mertua, atau status sebagai istri siapa pun.”
Sebastian terdiam. Rasanya seperti dunia runtuh perlahan.
“Jadi kamu benar-benar menolak perjodohan ini?”
“Iya. Aku akan bicara dengan Papi dan Mami. Aku akan berusaha membatalkan semuanya.”
Wajah Diandra serius dan matanya berkaca-kaca.
“Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tidak bisa menikah hanya demi menyenangkan orang lain.”
Sebastian berdiri. Dia menatap Diandra dalam-dalam. Luka itu dalam. Tapi dari balik kekecewaannya, ada tekad yang mulai muncul.
“Kalau begitu, terima kasih karena sudah jujur,” katanya perlahan.
“Jujur aku kecewa. Tapi aku menghargai keberanianmu.”
Diandra tampak terkejut. Dia mengira Sebastian akan memaksa atau marah, tapi pria itu justru menerima semuanya dengan tenang.
Namun Sebastian belum selesai.
“Tapi aku juga tidak akan tinggal diam,” ucapnya, nada suaranya berubah sedikit lebih tegas.
“Aku mungkin bukan pilihanmu sekarang. Tapi aku akan berusaha. Aku akan membuatmu melihat siapa aku sebenarnya.”
“Sebastian, kamu?” seru Diandra tercekat.
“Aku ingin kamu tahu,” lanjut Sebastian
“Semua ini bukan tentang menjadikanmu milik siapa pun. Tapi tentang aku, yang akhirnya punya alasan untuk berjuang. Karena sejak dulu, kamu memang satu-satunya alasanku untuk menemukan cinta sejati.”
Diandra tak berkata apa-apa. Dia hanya berdiri terpaku, tak tahu harus membalas apa.
Sebastian melangkah mundur perlahan.
“Aku rasa cukup pembicaraan kita malam ini. Tapi semua belum berakhir. Aku akan pastikan, kamu akan memilihku. Bukan karena paksaan siapapun, tapi karena hatimu sendiri.”
Pria itu membalikkan badannya, lalu berjalan menuju ruang depan tempat orang tuanya masih berbincang. Langkahnya mantap, meski dadanya terasa berat. Dia sudah menerima penolakan. Tapi itu bukan akhir segalanya.
Diandra berdiri sendiri di teras. Tatapannya kosong menatap taman. Ada bagian dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan. Mungkin ragu dan juga takut.
Tapi malam itu, satu hal yang pasti, dua hati sedang bertolak belakang.
Satu ingin bebas. Satu ingin berjuang.
Dan mungkin, takdir masih menyimpan cerita panjang untuk mereka berdua.
