2. Nasihat Para Sahabat
Kantor Pusat SR Corp, Jakarta Pusat.
Langit Jakarta siang itu terlihat mendung dari balik jendela kaca tinggi yang membingkai kantor mewah Sebastian Ronaldo. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu duduk di kursi eksekutifnya, mengenakan kemeja putih dengan dasi abu gelap yang sedikit longgar. Laptop terbuka di depannya, tapi matanya kosong menatap layar. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni, dia gelisah.
Di ruangan itu, suasana begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi detik jam dinding dan sesekali deru AC sentral. Asisten pribadinya sudah lama keluar. Di luar sana, para karyawan sibuk dengan deadline. Tapi Sebastian justru larut dalam pikirannya sendiri.
Dia menunduk, lalu mengusap wajahnya.
Sebastian berbisik pada dirinya sendiri.
"Nikah? Dan dijodohin? Gila … kayak sinetron jadul aja!"
Tiba-tiba, pintu ruangan diketuk pelan.
Samuel, sahabatnya muncul dari balik pintu dengan jas biru dongker dan senyum lebar.
"Woi Bro, Lo ngapain termenung kayak orang abis ditinggal investor?"
Sebastian tersenyum tipis.
"Kalo ditinggal investor mah masih bisa nego. Ini gue mau ditinggal oleh tujuan hidup gue sendiri."
“Ha-ha-ha.”
Samuel tertawa dan masuk ke ruangan, diikuti oleh seorang pria tinggi berkacamata dengan aura tenang dan berwibawa, Rayner Brett, sahabat mereka yang juga CEO sebuah perusahaan teknologi besar.
Rayner meletakkan ponselnya di meja Sebastian.
"Lo kenapa? Mukanya kusut banget. Biasanya jam segini Lo udah bahas merger atau ekspansi, bukan ngelamun kayak anak ABG yang ditinggal kekasihnya."
Sebastian menghela napas panjang, lalu menyandarkan diri ke kursi
"Bokap gue, mau jodohin gue sama seorang gadis."
Seketika ruangan hening. Samuel mengangkat alis, Rayner tertawa pelan.
“He-he-he.”
"Wow! Selamat, Bro. Lo nggak bakalan jomlo lagi dong? Kapan kenalannya?” tanya Samuel penasaran.
Sebastian dengan lemas menjawab,
"Iya. Akhir minggu ini. Katanya anak kolega bisnis Papi. Baik, sopan, berpendidikan, semua kalimat template perjodohan klasik."
Rayner lalu tersenyum bijak.
"Dan Lo keberatan dijodohkan?"
Sebastian mengangguk pelan.
"Bukan karena orangnya, tapi karena caranya. Gue ... pengin nikah karena cinta. Bukan karena perjodohan keluarga."
Samuel yang duduk di sisi meja, menatap sahabatnya dengan serius.
"Bro, Lo sadar nggak, umur Lo udah mau masuk kepala tiga? Lo itu CEO, sibuk banget tiap hari. Gue kadang heran, kapan terakhir Lo bener-bener ngedate dengan seorang gadis?"
Sebastian menghela napas dan menatap jendela.
"Gue juga udah lupa, Sam."
Rayner tersenyum dan menepuk bahu Sebastian.
"Gue ngerti perasaan Lo. Dulu sebelum gue nikah sama Mikha, gue juga keras kepala. Tapi ternyata cinta bisa datang dari hal yang nggak kita rencanakan."
Sebastian menggeleng pelan.
"Tapi dijodohin tuh, aneh. Gue ngerasa kayak nggak punya kendali atas hidup gue sendiri."
Samuel memiringkan kepala, berpikir sejenak.
"Lo salah besar kalau Lo mikir gitu. Lo masih punya kendali, kok. Ini cuma perkenalan, bukan harus nikah besok sore. Nggak ada salahnya Lo coba buka hati."
Rayner menambahkan
"Apalagi Lo nggak punya pacar. Lo juga nggak selingkuh, nggak ada skandal. Jadi kenapa nggak kasi kesempatan untuk sebuah perjodohan?"
Sebastian termenung. Kata-kata itu seperti menyentilnya.
Sebastian lalu berkata pelan.
"Gue cuma takut, kalau gue nggak bisa sayang sama dia."
Rayner tersenyum dan menatap mata Sebastian.
"Justru itu gunanya kenalan, Bro. Rasa sayang itu bisa tumbuh. Cinta butuh proses. Nggak selalu harus tercipta kilat kayak film romantis."
“Ha-ha-ha. Tepat banget!”
Samuel tertawa setuju.
"Dan Lo juga tahu Papi Lo, Om Ganendra, bukan orang sembarangan. Kalau Beliau sampe jodohin Lo, pasti ceweknya juga bukan kaleng-kaleng."
Sebastian menoleh ke arah Samuel, dan menatapnya skeptis.
"Kaleng-kaleng? Lo kira gue beli mi instan?"
“Ha-ha-ha.”
Samuel tertawa lebar.
"Yah, bisa aja ceweknya ternyata secantik dan sepintar istri-istri kita."
Rayner nyengir kecil.
Gue setuju dengan pendapat Samuel."
"Tapi intinya gini, Bro. Gue tahu lo pengin menjalani hidup yang Lo pilih sendiri. Tapi kadang, pilihan terbaik justru datang dari hal-hal yang nggak Lo rencanain."
Sebastian mengangguk perlahan. Hatinya mulai sedikit tenang. Dia tahu Samuel dan Rayner bukan orang sembarangan, sukses, berpengalaman, dan sahabat sejati. Mungkin ada benarnya kata mereka.
"Okay. Gue akan tunggu akhir minggu. Gue bakal kenalan dengan cewek itu. Tapi bukan karena gue nurut sama Papi, tapi karena gue kasi kesempatan buat hati gue sendiri," seru Sebastian dengan nada serius.
Rayner tersenyum bangga.
"Itu baru Sebastian Ronaldo yang gue kenal."
Samuel berdiri dan merentangkan tangannya.
"Akhirnya! CEO kita yang keras kepala ini luluh juga!"
Sebastian tersenyum kecut.
"Tenang aja, Bro. Gue belum tentu cocok juga sama gadis itu. Kalau dia lebih tertarik sama saham ketimbang buku, kita bisa bubar secepatnya."
“Ha-ha-ha.”
Rayner tertawa.
"Kalau cewek itu bisa bikin Lo senyum kayak tadi, berarti dia udah punya satu langkah menang."
Sebastian menatap jendela lagi. Jakarta di luar sana masih kelabu, tapi hatinya sudah mulai menerima. Mungkin saja pertemuan di akhir minggu itu akan membuka bab baru dalam hidupnya. Bab yang tak pernah dirinya rencanakan, tapi bisa jadi yang paling penting baginya.
Hari berikutnya.
Kafe berkonsep minimalis di lantai dasar salah satu mall terbesar di Jakarta itu sudah ramai sejak pukul sepuluh pagi tadi. Suara gelas beradu, aroma kopi menguar, dan obrolan para pelanggan berpadu menjadi musik latar yang tidak mengganggu.
Diandra duduk di pojok dekat jendela dengan segelas matcha latte. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tampak lesu meski memakai concealer tipis. Tak lama, dua sosok sahabat karibnya muncul, Deborah, yang memakai dress hitam polos, dan Mikha, wanita enerjik berkacamata dengan ransel mini tergantung di bahunya.
Mikha berkata sambil menarik kursi dan duduk.
“Sorry ya telat! Tadi macet banget keluar tol!”
Deborah tersenyum lembut sambil menepuk tangan Diandra.
“Akhirnya kita ketemu lagi setelah kamu balik dari Belanda! Bagaimana jet lag-nya?”
Diandra memaksa senyum.
“Jet lag-nya sih udah hilang, tapi pusing lain datang.”
Mikha menaikkan alis, menaruh ransel di atas meja.
“Pusing kenapa? Cerita, dong.”
Diandra menghela napas panjang, lalu mengaduk minumannya sambil menatap keluar jendela. Butuh beberapa detik sebelum dia membuka suara.
Diandra dengan lirih berkata,
“Aku bakal dijodohin, Mik, Deb.”
Apa?”
Deborah terkesiap kecil.
“Serius? Lo baru seminggu pulang lho?”
Mikha langsung menyandar di kursinya, dramatis.
“Aduh, klasik banget. Perjodohan zaman sekarang tuh masih ada, ya?”
Diandra mengangguk pelan.
“Dan nggak tanggung-tanggung. Sama anak kolega bisnis Papi. Namanya Sebastian Ronaldo.”
Mikha yang tidak tahu jika Sebastian Ronaldo yang disebut oleh Diandra merupakan kolega bisnis suaminya. Dia pun menjulurkan leher, penasaran
“Sebastian Ronaldo? Nama kayak seleb aja!”
Deborah mendadak serius.
“Tunggu. Sebastian Ronaldo? CEO SR Corp itu?” Dia juga tak tahu kalau Ronaldo Sebastian juga merupakan rekan bisnis suaminya, Rayner.
Diandra mengangkat bahunya semakin putus asa.
“Entahlah, aku tidak mengenalnya sama sekali.”
Mikha menepuk tangan Diandra pelan.
“Tapi jika dia yang akan dikenalkan denganmu, itu bukan kabar buruk, tahu. Maksudku CEO tersebut tuh ganteng, sukses, masih muda, nggak playboy. Apalagi yang kamu takutkan?”
Diandra mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Aku takut karena aku nggak kenal dia, Mik. Nggak pernah ngobrol, belum tahu karakternya, dan aku belum mau nikah secepat ini. Aku baru pulang ke Indonesia, pengin kerja dan cari pengalaman dulu.”
Deborah menatapnya lembut.
“Dian, aku paham banget posisimu. Aku juga dulu nggak nyangka bakal nikah muda sama Rayner, tapi ternyata Tuhan kasi jalan lewat pertemuan kecil dan ya, kami cocok. Kadang, hal baik datang dalam bentuk yang nggak kita harapkan sama sekali.”
Mikha menyeruput es kopi latte, lalu menambahkan.
“Iya. Coba pikir positif dulu. Siapa tahu dia orang yang menyenangkan? Kenalan dulu aja, Dian. Bukan langsung nikah juga kan?”
Diandra mendecak kecil.
“Tapi Papi tuh seperti udah yakin banget aku bakal cocok sama dia. Kayak hidup aku Papi yang atur semuanya.”
Deborah tersenyum bijak.
“Mungkin Beliau cuma ingin memastikan kamu bahagia dengan cara para orang tua. Mungkin pola pikir kita beda, tapi niatnya nggak jahat, kan?”
Hening sejenak. Diandra terdiam, menghela napas. Lalu, Mikha tiba-tiba menepuk bahu kedua sahabatnya dengan semangat.
Mikha lalu berdiri.
“Udah ah, cukup dramanya. Yuk keliling mall! Biar kamu lupa sebentar sama Sebastian Ronaldo yang bikin galau itu!”
“He-he-he.”
Deborah pun tertawa pelan.
“Aku sih ikut aja. Asal Diandra nggak cemberut lagi.”
Diandra tersenyum tipis, dan akhirnya berdiri juga.
“Okay, tapi jangan lama-lama ya, nanti sore aku ada janji masak bareng sama nyokap.”
Tiga sahabat itu pun melangkah menyusuri koridor mall.
Mereka mampir ke beberapa toko, melihat dress keluaran terbaru, mencoba parfum baru, dan tertawa saat Mikha iseng mencoba sepatu dengan hak super tinggi yang hampir membuatnya jatuh. Deborah memilih beberapa baju tidur, sementara Diandra mencoba menahan senyum di balik wajah cemasnya.
Mikha lalu mengangkat satu gaun warna navy ke arah Diandra.
“Kalau nanti kamu beneran dinner sama si Sebastian, pakai ini deh. Elegan tapi nggak terlalu norak.”
Diandra menahan tawa
“Aduh Mik, kamu tuh …”
Deborah ikut bercanda.
“Tapi serius, kamu butuh outfit tempur buat first impression. Jangan sampai kelihatan terpaksa.”
Setelah dua jam keliling mall, mereka pun memutuskan untuk menonton film. Mikha sudah memesan tiket untuk film komedi Indonesia yang sedang populer. Diandra sempat ragu, tapi akhirnya ikut juga.
Dalam bioskop, suasana gelap, suara tawa penonton bergema.
Film itu benar-benar kocak. Akting para pemain natural, dialognya segar, dan adegan-adegan komedinya sukses membuat penonton tertawa lepas. Diandra yang awalnya duduk diam perlahan mulai ikut tertawa. Bahkan dia menepuk-nepuk bahu Mikha ketika salah satu adegan membuat perutnya sakit karena tertawa.
Diandra di sela-sela tawanya.
“Okay, aku nggak nyangka film ini bisa bikin aku lupa sama semua drama hidupku.”
Mikha menepuk bahunya sahabatnya.
“Makanya! Hidup itu kadang butuh komedi, Dian. Biar otak kita nggak meledak.”
Deborah tersenyum bahagia melihat Diandra tertawa lagi.
“See? Kadang kamu cuma butuh teman buat ngingetin bahwa hidup
nggak seburuk itu.”
Film pun selesai. Mereka keluar bioskop dengan wajah cerah dan semangat yang kembali pulih. Meski Diandra tahu masalah perjodohannya belum selesai, tapi setidaknya hari ini, hatinya merasa lebih ringan.
Diandra di depan lift, menatap kedua sahabatnya.
“Thanks ya, untuk kalian berdua. Jujur aku masih takut tentang semuanya, tapi mungkin aku bisa jalani ini pelan-pelan.”
Deborah mengangguk.
“Pelan-pelan, tapi tetap jalani. Siapa tahu, perjodohan itu bukan kutukan tapi justru hadiah terindah dari Tuhan untukmu.”
Mikha lalu mengedipkan mata nakal.
“Dan kalau ternyata dia nyebelin, kita akan culik kamu dan bawa kamu ke Bali.”
Diandra tertawa lepas.
“Ha-ha-ha. Deal.”
Lift pun terbuka. Mereka masuk sambil tertawa bersama.
Dan untuk pertama kalinya sejak pulang ke Indonesia, Diandra merasa tidak sendiri.
