Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jomlo 2

“Aaakh ....”

Grep!

Brukkk!

“Are u crazy, huh?” Maki Alan, saat dia berhasil menyelamatkanku dari tabrakan, yang hampir saja terjadi.

Ya, sesaat sebelum mobil yang ngebut itu hampir menyentuhku. Si Manusia Jalan Tol ini memang berhasil menggapai dan menarikku ke pinggir jalan.

“Kalau mau mati jangan di sini. Apalagi di hadapan saya, bikin repot orang saja!” hardiknya sekali lagi.

Akan tetapi, karena aku masih shock dengan kejadian barusan. Aku pun tak berkomentar apa pun, selain bengong dan mengerjapkan mata berkali-kali demi meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.

Terima kasih Tuhan. Aku masih hidup!

“Hey, Suster! Kenapa malah bengong? Saya tanya—”

“Aa’!” Setelah berhasil menguasai kekagetanku tadi. Aku pun berseru panjang, memotong omelan Alan sambil menghamburkan diri ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.

Aku lega banget, bahagia, terharu, pokoknya aku benar-bener bersyukur banget masih hidup! Masih bernapas! Masih bisa ketemu Umi sama Abah, masih bisa gangguin Dokter Karina, juga masih bisa nyari jodoh.

Alhamdulilah ….

“Hasmi!”

Dan euforia-ku pun buyar seketika, kala mendengar panggilan dari si cunguk Edo yang terlupakan beberapa saat yang lalu.

Reflek aku pun melepaskan pelukan pada Alan, dan langsung merangsek masuk ke belakang tubuh pria itu sambil mencengkram kuat lengan baju bagian belakangnya.

Tuhan. Kenapa, sih, tadi pas Edo nyebrang gak ada mobil ngebut lagi?

Alan yang memang tak mengerti apa-apa, hanya menatapku penuh tanya, dan Edo secara bergantian. Sementara si Keparat Edo, semakin dekat saja pada posisiku saat ini.

“Hasmi, kamu gak papa, kan, Sayang?” tanya Edo sok perhatian, sambil mengulurkan tangannya untuk meraihku.

Cih! Dasar Raja Drama!

“Pergi!” Aku menyalak galak. Benar-benar tak ingin melihatnya lagi.

“Pergi jauh-jauh lo! Jangan dekati gue lagi!” tambahku masih dengan galak dari belakang tubuh Alan.

Kuharap Alan mengerti akan situasi yang sedang kuhadapi, dan sudi menyelamatkanku. Karena hanya dia harapanku saat ini.

“Hey ... kamu kenapa? Ini aku, Sayang. Pacar kamu. Masa kamu lupa? Kita, kan, lagi nge-date tadi,” ucapnya bernada lembut yang bertujuan untuk merayuku.

Cih, pintar sekali pria ini berdrama!

“Gak usah ngarang lo! Gue gak punya hubungan apa pun sama lo. Pergi jauh-jauh dari gue!” bantahku tegas, sambil terus menyembunyikan diri di belakang tubuh Alan.

Anehnya, nih, manusia lempeng, bukannya membantu malah tetap diam. Padahal aku sudah sangat menunjukan masalah yang sedang aku hadapi.

“Loh, kok, ngomongnya gitu, sih, Sayang? Masa cuma gara-gara gak aku beliin sate ayam dua porsi aja, kamu ngambek. Jangan gitu, dong, Sayang!”

Apa? Dia kira harga diriku semurah itu? Nggak, ya! Aku, tuh, mahal!

Lagi pula, tidak mungkin juga, kan? Cuma gara-gara sate ayam doang aku sampai nekat nyebrang dan hampir tertabrak tadi. Logikanya dipake, dong!

“Tolong, Jangan libatkan saya dalam urusan asmara kalian, Suster. Saya tidak mau ada salah paham.”

Aku baru saja hendak membantah Edo lagi, tapi Alan tiba-tiba malah bergerak menjaga jarak dariku, dan melepaskan cekalan tanganku.

Seketika aku gusar kembali mendapati sikap Alan yang sepertinya sudah salah paham.

“Bukan gitu, A’. Ini—”

“Nah, benar kata temen kamu ini, Mi. Urusan kita jangan sampai ngelibatin orang lain.” Edo menyambar seenaknya. Tidak membiarkan aku menjelaskan apa pun pada Alan.

“Diem lo, Do! Gue gak mau denger apa pun dari lo!” Aku menyalak tak suka. “Aa’ jangan percaya dia.” Aku kembali mengalihkan atensi pada Alan. “Aku, tuh, beneran gak ada hubungan apa pun sama dia. Justru dia tuh mau—”

“Eits, Hasmi!” Edo kembali memotong ucapanku, sambil menarikku dan melingkarkan tangannya di bahuku dengan kuat.

“Udah, dong, marahnya. Aku, kan, udah minta maaf. Kita baikan, ya? Malu tahu dilihat orang. Jangan ganggu temen kamu ini terus.” Edo menambahkan, diakhiri senyuman iblis dan tatapan kemenangan di samping wajahku.

Sialan Edo!

“Aa’?”

Aku baru akan meraih lengan Alan, saat pria itu malah memilih pergi begitu saja ke arah mobilnya, tanpa mau repot-repot menoleh lagi padaku.

Tidak, Tuhan! Aku mohon jangan biarkan Alan pergi meninggalkanku dengan Edo. Aku tidak mau berakhir seperti ini.

“Aa’ ….”

“Teriak lagi, gue pake lo di sini, Mi!” Ancaman Edo membungkam mulutku dengan cepat dan menyeretku kembali.

Gak, ini gak boleh terjadi! Alan gak boleh pergi! Aku gak mau dirusak Edo lagi. Aku gak mau! Gak mau!

Sekuat tenaga aku melepaskan bungkaman Edo dari mulutku, dan berteriak keras ke arah Alan sekali lagi.

“Kalau Aa’ gak mau bantuin aku. Tolong telpon Pak Arjuna, A’. Pak Arjuna tahu siapa pria ini!”

Terlambat! Alan sudah masuk ke dalam mobilnya, bahkan menyalakan benda besi itu. Membuatku tidak yakin jika seruanku tadi terdengar olehnya.

“Mampus lo, Mi! Gak ada yang bisa nyelametin lo dari gue malam ini.” Edo tertawa jumawa.

Tuhan ... harus bagaimana aku sekarang?

Aku pun tidak bisa menahan tangisku lagi, saat melihat mobil Alan benar-benar menjauh dari sana.

“Aa’!”

“Eits! Mau ke mana kamu, Sayang? Urusan kita belum selesai, loh.” Edo masih tersenyum penuh kemenangan, menarik tubuhku yang hendak mengejar mobil Alan.

“Lepas, Do!” Aku meronta, bahkan menamparnya dengan sekuat tenaga sebagai perlawanan. Akan tetapi ....

Plak!

Dia pun dengan cepat membalas tamparanku, lalu lagi-lagi menjambak hijabku tepat di kunciran rambut.

“Ngelunjak, ya, lo! Berani banget nampar gue. Lihat aja! Gue bakal panggil temen-temen gue yang waktu itu. Buat ngegilir lo sampai mampus!”

Degh!

“Ikut gue!” Edo pun kembali menyeretku tanpa perasaan sama sekali.

Aku sudah mencoba melepaskan diri dari pria ini, tapi cengkeramannya sangat kuat sekali. Aku juga sudah mencoba berteriak minta tolong entah pada siapa saja. Tetapi Edo kembali menamparku berulang kali, membuat bibirku pecah dan sakit sekali untuk digerakan.

“Edo, lepasin gue. Gue mohon!” Aku menghiba sambil menangis, entah untuk keberapa kalinya.

“Nanti! Setelah gue dan temen-temen gue puas nikmati badan lo.”

Tuhan ... aku gak mau!

“Tapi gue gak mau, Do. Gue—”

Plak!

“Yang minta persetujuan lo siapa, lacur!” Edo kembali menampar wajahku.

Tuhan ... tolong aku! Aku gak mau berakhir seperti ini.

Abah, Umi, Dokter Karina, siapa pun tolong aku!

Aku gak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. Semuanya sudah aku lakukan untuk mencoba lepas dari Edo, tapi sia-sia.

Sampai Akhirnya dia menarikku ke sebuah tanah lapang yang sepi dan gelap, Kemudian ....

Ciiittt!

Sebuah mobil Pajero Hitam datang tak lama setelahnya.

Siapa ... siapa itu? Pahlawan untukku atau ....

Degh!

Rasanya tulangku seperti baru saja dicabut paksa dari seluruh tubuh. Ketika akhirnya aku melihat tiga pria keluar dari mobil itu dengan senyum iblis yang sukses membuat napasku sesak.

Itu teman-temannya Edo yang dulu. meski aku tidak tahu siapa nama mereka masing-masing, tapi aku masih mengenali wajah mereka bertiga. Entah kapan Edo mengundang teman-temannya itu. Yang jelas, hal itu membuat aku ingin mati saat ini juga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel