Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jomlo 1

Hari sudah lumayan larut saat aku terpaksa harus pergi ke minimarket terdekat, dikarenakan si bulan yang datang saat stok pembalut tinggal satu.

Entahlah. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa seceroboh ini? Mungkin karena terlalu sibuk di rumah sakit, hingga aku kurang memperhatikan kebutuhanku sendiri.

Hari ini pun sebenarnya aku sudah sangat lelah dan ingin segera terlelap. Apalagi hujan juga sangat mendukung sekali agar tubuh ini segera masuk selimut dan menyambut mimpi.

Namun, sekali lagi karena tamu bulanan yang hadir tanpa kabar. Aku pun terpaksa menahan

kantuk demi untuk membeli pembalut tanpa sayap.

Ingat! Tanpa sayap! Kalau pake sayap aku takut dibawa terbang!

Dugh!

“Aduh!” Saat sedang mengecek kelengkapan belanjaanku sambil berjalan keluar minimarket. Tak sengaja, aku menabrak seseorang karena terus menunduk sedari tadi.

“Maaf ... maaf, saya—”

“Hasmi?”

Aku yang awalnya berniat minta maaf pun langsung menegang seketika. Saat mata ini akhirnya bersirobok dengan orang yang aku tabrak barusan.

“Benar! Kamu Hasmi, kan? Astaga! Kamu apa kabar?” Berbeda denganku yang menegang dengan degup jantung yang bertalu cepat, pria itu malah terlihat riang menyapa.

Riang? Tentu saja! Aku yakin pria ini pasti sangat bahagia sekali sekarang, karena bisa menemukanku lagi di sini.

“Wah! Sekarang kamu berhijab, ya? Sejak kapan?” Refleks, aku melangkah mundur saat pria itu menjulurkan tangan ke arah kepalaku. Sebisa mungkin menjaga jarak aman dari pria bajingan ini.

Jujur saja, aku sangat takut sekali melihatnya. Aku punya pengalaman buruk di masa lalu, dengan pria yang sekarang berstatus ‘mantan pacar’ dalam hidupku.

“Jangan dekat-dekat!” seruku dengan penolakan keras..

“Kenapa? Padahal aku kangen, loh, sama kamu.” Seperti menemukan mainan yang lama hilang, pria itu justru tersenyum riang sekali.

Hatiku pun semakin bergemuruh hebat melihat senyum itu. Senyum yang sangat kuhapal dalam benak, meski tidak ingin aku ingat-ingat lagi.

“Jangan main-main, Edo! Ini tempat ramai, dan gue bisa teriak biar lo dihajar warga.”

“Ramai? yakin? Coba Kamu perhatiin lagi baik-baik sekitar kamu,” jawab Edo. Sukses membuat kepalaku otomatis melihat sekeliling.

Sepi! Aku salah ternyata. Aku lupa ini sudah tengah malam dan bergerimis. Pastinya, orang akan memilih cepat pulang untuk merajut mimpi disuasana malam yang dingin seperti ini.

Lalu, sekarang aku harus bagaimana?

Apa yang harus aku lakukan untuk bisa lepas dari pria bajingan ini?

Grep!

“Akh!”

Saat sedang berpikir cara melarikan diri. Edo tiba-tiba mencengkram belakang hijabku, membuat aku berteriak refleks karena rambutku pun itu terjambak oleh tangan besarnya.

“Edo! Lepasin!”

“Lepasin apa? Hijab sama baju ini? Oke! Dengan senang hati, Sayang.”

Meronta, memukul, mencakar, sudah aku lakukan demi bisa melepaskan diri dari Edo. Namun, karena beda gender, aku pun tidak bisa melawan tenaga Edo.

Jalan terakhir yang bisa kulakukan adalah melemparkan belanjaanku ke arah wajahnya, lalu menginjak kakinya kuat-kuat saat pria itu sedikit lengah.

Kebetulan, aku tadi juga beli minuman penghilang sakit saat haid dalam kemasan botol. Jadi rasanya pasti lumayan sekali saat benda itu menimpa kepala pria titisan iblis itu.

Kerasnya botol minuman tersebut dan injakan mautku. Berhasil memberi celah untuk kabur. Mengambil jalan sembarang arah, aku pun berusaha lari sekuat , agar tidak sampai mengulang kejadian di masa lalu.

“Bangsat! Mau ke mana lo?” Edo murka melihat kepergianku.

“Berhenti, Hasmi! Dasar wanita sialan!” serunya seraya menyusulku.

Tentu saja tidak aku turuti titahnya barusan. Memangnya aku bodoh!

Aku ini tidak bodoh! Hanya buta, mungkin. Buktinya dulu aku sampai tidak bisa melihat sifat asli Edo, di balik akting mumpuninya sebagai seorang kutu buku saat mendekatiku.

Hingga akhirnya aku pun harus berakhir di tempatnya dan hampir saja menjadi pemuas nafsu Edo bersama teman-temannya. Mengingat hal itu, bulu romaku meremang kembali.

“Hasmi! Berenti gue bilang!” Edo masih berteriak sambil mengejarku.

Namun, apa aku peduli? Tidak! Alih-alih berhenti, aku malah semakin mempercepat laju kakiku agar bisa segera menghilang dari hadapannya.

“Hasmi!”

“Edo, udahlah! Kenapa, sih, lo gak nyerah aja sama gue? Gue udah gak minat sama lo!” Aku mencoba menyahut di sela langkah, meski sebenarnya itu membuatku semakin kelelahan.

“Gue juga sebenarnya gak minat sama lo!”

Tidak minat, tapi terus mengejar? Jujur aku gagal paham dengan kalimat Edo barusan.

“Lah, terus kenapa lo masih ngejar gue?”

“Karena gue pengen liat gimana tampang merana lo, saat menghiba di bawah tubuh gue minta dipuasin!”

Sakit jiwa!

“Mampus aja lo, Edo!” Aku pun menyalak kesal, dalam laju langkah yang semakin membuatku tersiksa.

Napasku sudah tersengal dengan kaki terasa sudah hampir lepas dari engselnya. Aku sudah tidak kuat berlari, tapi berhenti sekarang pun bukan pilihan tepat.

Aku tidak mau jadi penghangat tempat tidur Edo!

Karena itulah aku terus memaksakan diri berlari sekuat yang aku bisa, hingga akhirnya abai pada kondisi jalan dan terjatuh.

“Nah, Kena!” Dengan cepat Edo menjambak cepolan rambutku lagi.

“Edo, please! Gue mohon, lepasin gue! Gue, kan, gak pernah jahat sama Lo. Kenapa lo jahat banget sama gue?” Akhirnya aku pun menghiba, mencoba mencari belas kasihan Edo.

Semoga saja dia masih punya. Meski sedikit, itu sangat berharga untukku saat ini.

“Gak jahat lo bilang? Heh! Lo lupa? Gara-gara elo gue sama temen-temen gue, babak belur malam itu di tangan suami atasan lo itu!” bantah Edo menoyor kepalaku dengan tangannya yang bebas, seraya mengingatkan kejadian malam nahas itu. Di mana aku hampir saja digilir dia dan teman-temannya.

Pak Arjuna yang di maksud Edo.

Dulu, memang Pak Arjuna dan Dokter Karina, lah, yang menyelamatkan aku dari niat jahatnya.

“Itu,kan, karena lo jahat! Lo—”

Plak!

Satu tamparan pun melayang cepat ke pipi, saat aku mencoba membantah ucapannya. Rasa panas pun langsung menjalar di sana, mengantarkan nyeri yang mulai merambat.

“Gue gak jahat, Bego! Gue, kan, cuma mau bikin lo enak. Gak tahu terima kasih banget lo!” ucapnya tanpa dosa.

“Tapi gue—”

Plak!

Sekali lagi. Edo menamparku di tempat yang sama, saat aku mencoba buka suara. Kali ini bukan hanya panas dan perih yang terasa, tapi juga rasa amis yang berasal dari sudut bibirku yang robek. .

“Jangan banyak bacot! Gue gak suka dibantah.”

Lalu aku harus apa? Menerima begitu saja semuanya dan pasrah dijadikan pemuas nafsu? Tentu saja tidak! Iya, kan?

“Edo, gue mohon ... lepasin gue.”

Hanya menangis tergugu, yang bisa aku lakukan. Berharap dengan itu Edo akan sedikit luluh dan mau melepaskanku karena iba.

Namun, bukan rasa iba yang aku dapatkan. Malah cengkraman kuat di kedua pipi yang membuat bekas tamparan Edo semakin terasa sakit.

“Nanti gue lepasin. Setelah lo bikin junior gue dan temen-temen gue muntah berkali-kali.”

Tuhan ... tolong selamatkan aku.

“Udah, Diem lo! Bangun!” Edo lalu menjambak rambutku makin kuat, memaksaku untuk segera berdiri.

Edo pun menyeretku paksa mengikuti langkah kakinya yang cepat, tapi aku tak serta merta menurut. Sepanjang perjalanan aku terus menghiba, dan meronta minta dilepaskan.

Seakan menulikan telinganya, dia terus menyeretku tanpa perasaan hingga terseok-seok mengikuti langkahnya.

Cengkraman Edo yang sudah beralih ke lengan atasku pun semakin kuat, rasanya tulangku hampir patah karenanya.

Sakit. Sakit sekali. Entah mana yang lebih sakit. Tubuhku atau kenyataan jika aku mungkin tidak akan bisa lepas dari Edo kali ini. Siapa yang harus kumintai tolong?

“Edo—”

“Ck, lo bisa diem gak, sih? Atau mau, gue pake di sini?!” Dia akhirnya mengeluarkan ancamannya.

“Tapi gue gak mau, Edo! Gue gak sudi harus ngelayanin lo!”

“Nanti juga lo mau, minta nambah malah. Gue jamin hal itu!”

Pria ini memang gila. Aku yakin itu. Lalu aku harus bagaimana menghadapinya? Adakah yang mau menolongku? Adakah yang ....

Alan!

Entah ini sebuah keajaiban atau hanya kebetulan semata. Saat Edo masih sibuk menyeretku mengikuti langkahnya. Mataku tak sengaja melihat Alan keluar dari tenda pecel lele di seberang jalan, sambil memasukan dompet ke saku belakangnya.

Tentu saja, Hal itu tak aku sia-siakan begitu saja. Sekuat mungkin menahan tarikan Edo di tangan, aku pun segera berteriak memanggil manusia beton itu.

“Aa’!”

Sayangnya, panggilanku terhalang mobil yang tiba-tiba lewat dengan kencang. Sialan!

“Hmmfftt!”

Baru saja aku ingin berteriak kembali. Edo sudah lebih cepat membungkam mulutku, membuat teriakanku tertelan kembali ke dalam tenggorokan.

“Jangan macam-macam lo, Hasmi! Gue bisa nekat kalau lo berani minta bantuan,” desis Edo di sebelah telingaku.

Persetan dengan peringatan itu. Aku tidak perduli. Bagiku ini adalah kesempantan emas. Pertolongan Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.

Aku pun membuka mulut dengan lebar, dan mengigit tangan Edo keras-keras hingga pria itu melolong kesakitan. Setelahnya, aku mendorongnya hingga tersungkur, lalu berlari ke arah Alan.

“Aa’!”

Tttiiinnn ....

Bertepatan dengan itu. Sebuah klakson panjang terdengar memekakkan telinga, disertai sinar lampu yang sangat menyilaukan ke arahku.

Aaakh ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel