6. Si Buaya Dapat Kemeja
Tiara
Semenjak kejadian handuk, aku semakin bersikap dingin bahkan di depan Papah. Aku tak peduli, aku merasa terhina sekali. Dalam bayanganku Gilang pasti bersorak karena melihat yang harusnya tak boleh dia lihat dan dia akan membandingkannya dengan Amanda.
Dalam tiga bulan pernikahan kami, mau tak mau kadang kami harus seranjang terutama jika menginap di rumah mertua. Tapi kalau di rumah, aku tidak mau seranjang lagi dengan Gilang.
Aku kini selalu tidur di ruang kerjaku, masa bodoh tubuhku harus menahan rasa sakit akibat tidur di sofa yang penting aku tidak seranjang dengannya.
Selama seminggu ini, kami tak pernah bertegur sapa. Bahkan saat kami sedang perjalanan ke Jogja bersama keluarga besarnya aku memilih pura-pura tidur hingga mobil sampai di tempat tujuan.
“Ayok Nduk, beginilah rumah orang tua papahnya Gilang. Masih model kuno. Sengaja dipertahankan seperti ini karena rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan, ya ‘kan Pah.”
“Iya betul, makanya papah dan ketiga saudara papah sepakat untuk mempertahankan bentuk asli rumah ini. Berhubung Mbak Yu Narti yang dapat jodoh orang sini, Mbak Yu yang bertugas merawat rumah ini. Yang lainnya ‘kan merantau semua. Rumah Mbak Yu Narti berada di sebelah timur. Kalau sebelah barat rumah ini, rumah anak sulungnya yang sudah berkeluarga,” sambung Papah mertua.
“Sana kamu istirahat dulu Nduk. Gilang ajak Tiara ke kamar dulu!”
“Iya Mah, ayok Tiara.” Gilang menggenggam tanganku namun aku tak membalas genggamannya, malas.
“Ayok masuk.”
Aku masuk ke kamar yang didesain dengan arsitektur kuno. Hem ... kamar ini nyaman sekali. Gak panas, adem. Aku membuka daun jendela kamar lebar-lebar. Hem ... sejuknya. Kurasakan embusan angin membelai lembut rambut dan sisi wajahku.
“Suka,” bisik Gilang di dekat telingaku. Bahkan tubuhnya kini begitu dekat dengan tubuhku.
Aku memilih tak menyahut, berusaha cuek padahal aku merasakan ada debar aneh dalam dadaku ketika kami begitu dekat. Kudengar embusan napasnya keras.
“Maaf.”
Hening.
“Maaf untuk tempo hari, aku benar-benar gak sengaja. Aku mohon jangan seperti ini terus, Tiara. Aku tahu kita memang dijodohkan. Tapi … tak bisakah kita mulai saling menerima, Tiar? Tak bisakah kamu menerimaku? Atau seperti ini saja, kita bersahabat oke.”
Hening. Sama sekali tak kutanggapi perkataannya. Kulihat Gilang meraup mukanya frustasi. Kemudian memilih keluar kamar. Dan aku tak peduli, fokusku kini tertuju pada pohon mangga yang begitu rindang dan lebat.
***
“Kamu betah banget di Jogja ya, Han.”
“Iya Mbak, soalnya deket rumah Budhe jadi kalau kangen rumah ya tinggal ke sini. Kalau pulang ke Purwokerto ‘kan jauh.”
“Iya sih.”
Malam kedua kami di Jogja, acara peringatan kematian Eyang Kakung dari pihak Papah mertua berjalan lancar. Paginya aku dan Hana memilih untuk jalan-jalan menyusuri kota Jogja dan berakhir di Malioboro.
“Mbak mau beli apa?”
“Daster, Han. Buat oleh-oleh karyawanku atau mungkin batik. Nantilah senemunya di sana.”
“Oke. Yuk Mbak.”
Aku senang sekali memiliki Hana, bagiku dia adalah pengganti Savira. Meski aku tak menyukai kakaknya tapi rasa sayangku pada Hana begitu tulus.
“Eh ... Han, lihat. Dasternya bagus-bagus.” Aku menunjuk deretan daster di salah satu ruko.
“Iya Mbak. Mbak beli yang model tali spaghetti aja. Hihihi. Biar makin hot kalau lagi main sama Mas Gilang. Hihihi.”
“Gak bakalan. Cukup sekali aku gak sengaja buka-bukaan, selanjutnya ogah. Lagian dia udah dapet kok dari Amanda. Aku yakin sesuatu yang berada di balik kedua paha Gilang udah puas sama milik Amanda. No, gak akan aku kasih milikku. Biarin aku jadi perawan sampai nenek-nenek. Dari pada aku kasih sama buaya cap badak kayak dia,” batinku.
“Mbak. Mbak. Mbak ...!”
“Eh, iya gimana, Han?” Aku sedikit gelagapan.
“Ini beli yang modelnya seksi biar pas sama Mas Gilang, uwu-uwunya makin hot,” ucapnya sambil terkikik.
“Gak ah.”
“Ih, Mbak Tiar. Kalau gitu yang ini aja.”
“Gak.”
“Bagus kok Mbak.”
“Gak.”
“Ini cocok Mbak.”
“Gak.”
Akhirnya setelah perdebatan panjang unfaedah aku memilih lima daster untuk kelima karyawanku yang semuanya cewek. Dan untukku sendiri aku membeli tiga buah daster, untuk Papah sendiri kubelikan kemeja batik panjang dengan corak gambar wayang. Cakep pokoknya.
“Gak beliin buat Mas Gilang, Mbak?”
“Gak.”
“Loh, kenapa?”
“Gilang rewel kalau aku beliin sesuatu katanya kekecilanlah, warnanya tualah, kemudaanlah. Males.” Aku berusaha ngeles.
“Masa sih? Setahuku Mas Gilang orangnya gak rewel loh, kalau dibeliin mesti akan diterima dan dipakai.”
“Mana kutahu, sama Mbak beda mungkin,” sahutku.
“Beliin sih Mbak. Kasihan, masa suaminya sendiri gak dibeliin.”
“Biar Gilang beli sendiri aja. Udah yuk tinggal bayar ini.”
“Beliin Mbak. Aku, Mamah, Papah bahkan keluarga Budhe dibeliin masa Mas Gilang yang suaminya kok enggak.”
Haduh. Mau tak mau aku asal comot batik pendek yang letaknya dekat denganku.
“Mbak itu kekecilan buat Mas gilang. Beli yang ukuran L atau XL aja. Masa M.”
Ckck. Mau tak mau aku memilihkan kemeja batik lengan panjang dengan motif gambar sayap burung.
“Wow. Pilihan Mbak Tiara bagus. Mas Gilang pasti suka.”
“Aku yang gak suka,” batinku menjerit.
Setelah membayar semuanya kami pun pulang. Sebelumnya mampir di pusat oleh-oleh untuk membeli beberapa panganan khas seperti bakpia, gethuk trio dan kue mochi.
***
“Wah pada mborong rupanya,” sahut Budhe pada kami.
“Cuma beli batik sama daster buat karyawan di toko kok, Budhe,” sahutku.
“Senengnya. Mas kok gak diajak?” Gilang tiba-tiba datang dan langsung duduk di sampingku tak lupa pula tangannya langsung melingkar di bahuku. Kurang ajar sekali dia. Jelas sengaja karena di depan orang lain aku pasti akan diam saja diperlakukan seperti itu.
“Salah Mas sendiri sok sibuk, jadi aku perginya berdua saja, ya ‘kan Mbak?” sahut Hana.
“Iya,” sahutku singkat.
“Maaf, habisnya Papah tuh. Katanya liburan malah ngasih mas kerjaan.”
“Hahaha. Sekalian kamu belajar Lang. Papah senang akhirnya kamu mau membantu papah, cuma ya itu si Farhan katanya nelangsa ditinggal sama kamu.”
“Firman udah gede kok Pah, dia harusnya udah ngerti harus gimana buat hidupnya dan perusahaan papahnya.”
“Iya papah ngerti. Cuma anak itu gimana ya papah ngomongnya? Ah sudahlah itu ‘kan urusan mereka.”
“Lagian Papah sendiri yang mulai ngomongin mereka bukan Gilang loh.”
Apa? Gilang udah keluar dari pekerjaannya? Apa mereka putus? Atau si Manda juga ikut pindah bareng Gilang? Ck. Dasar buaya cap badak. Kenapa sih perselingkuhan mereka gak terkuak-kuak? Udah capek aku tuh nungguin pelakornya muncul. Heran di sinetron TV aja pelakornya cepet banget keluar dan mampu menggaet suami orang hanya dalam waktu beberapa menit, kok ini lama banget sih? Tiga bulan aku sudah menunggu adegan perselingkuhan dan perpelakoran diantara dua mantan. Tapi kok, amleng. Ah bikin bete.
“Kamu beli apa, Dek Tiar?” tanya Gilang padaku.
“Cuma daster, Mas.” Hoek. Pengen muntah rasanya menyebut kata itu.
“Owh.”
“Dikeluarin sekalian Mbak, bukannya Mbak Tiar tadi beli buat Papah, Mamah, Budhe, sama anak dan cucu Budhe. Buat Mas Gilang juga ada ‘kan tadi.”
“Dek Tiara beliin baju buat Mas Gilang?” Gilang bertanya padaku dengan sangat antusias, aneh ngapain tuh mata sampai berbinar-binar kayak gitu. Kayak anak kecil dibeliin permen aja.
“Iya.”
“Mana ... mana?”
“Eh ... ini, G-mas.”
Gilang langsung merebut kresek dalam genggaman tanganku dan langsung menumpahkan isinya. Dia langsung mengambil kemeja motif sayap burung.
“Ini pasti punya mas 'kan Dek?” tanyanya masih dengan mata berbinar dan senyum ceria. Ckckck. Dapat kemeja aja bahagianya. Gimana kalau dapat rumah.
“Iya.”
“Makasih ya, Dek.”
Cup.
Sebuah kecupan mampir di pipiku. Aku melotot sempurna ke arahnya tapi Gilang malah cuek dan cup. Dia mencium pipi satunya lagi. Kurang garam sekali dianya. Aku menggeram dalam hati. Mati kau!
“Plis deh Mas, ada jomblo ini. Di kamar aja kenapa kalau mau uwu-uwu. Huwaa ... Mah Pah, Hana maulah dijodohin biar gak jomblo mulu.”
“Hush. Selesaikan dulu kuliahnya!” hardik Mamah mertua.
“Hahahaha.” Terdengar tawa yang membahana di ruang keluarga.
Selanjutnya kami mengobrol dengan santai. Harus kuakui aku senang berada di tengah keluarga Gilang. Mereka sangat harmonis dan rukun dengan sanak saudara.
*****
