
Ringkasan
Tiara dan Gilang terpaksa menikah karena perjodohan. Dua orang asing yang hidup dalam satu atap dengan dua kepribadian yang berbeda. Tiara dengan trauma masa kecilnya karena ditinggalkan sang ibu yang lebih memilih sang mantan. Gilang yang masih memendam rasa untuk sang mantan. Akankah keduanya tetap bersatu dalam ikatan pernikahan atau malah berpisah demi menggapai kebahagiaan masing-masing?
1. Pernikahan
POV Tiara
Aku tengah membersihkan riasan wajahku. Selesai sudah acara pernikahan yang memuakkan ini. Jika bukan karena desakkan Papah, aku tak sudi menikah dengannya. Meski semua keluargaku dan para sahabat mengatakan dia sangat tampan. Tapi bagiku, dia biasa saja.
Suara pintu terbuka menampilkan sesosok lelaki jangkung dengan kulit yang tidak terlalu putih tapi juga tidak terlalu gelap. Kulihat lelaki yang kini bergelar suamiku mengulas sebuah senyum. Tampan. Namun, aku hanya menatapnya sekilas lalu memilih melanjutkan aktivitas untuk membersihkan wajah dan semua pernak pernik yang menempel pada tubuhku.
“Boleh aku masuk, ‘kan?”
Aku hanya mengangguk, malas bersuara.
“Aku mau numpang ke kamar mandi boleh?”
“Silakan,” sahutku dengan ekspresi muka datar.
Lelaki itu menuju ke kamar mandi, sedangkan aku melanjutkan melepaskan hiasan di kepalaku. Setelah kurang lebih lima belas menit, dia keluar dan telah mengganti bajunya dengan koko dan sarung.
“Aku tunggu disini, nanti kita salat jamaah bareng.”
Aku tak menjawab tapi segera pergi menuju ke kamar mandi. Tak pula dengan membawa pakaian ganti.
***
“Assalamu'alaikum Wr. Wb ... Assalamualaikum Wr. Wb.” Gilang membalikkan badannya ke arahku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan enggan.
Selesai salat aku merebahkan diriku di atas sofa, kemudian mengambil salah satu novel yang aku suka dan membacanya. Sedangkan Gilang memilih duduk di sisi ranjang sebelah kiri.
“Ekhem.”
Aku meliriknya sepintas tanpa niat untuk merespon lebih.
“Dek Tiara bisa kita bicara sebentar.”
“Ngomong aja,” sahutku pendek.
“Aku tahu pernikahan kita memang hasil perjodohan tapi aku harap pernikahan ini akan berjalan dengan semestinya.” Dia mengambil nafas kemudian melanjutkan bicaranya.
“Jadi, mari kita saling mengenal dan membuka diri,” lanjutnya.
Aku menatapnya untuk beberapa saat. Kemudian mulai merespon perkataannya.
“Jangan terlalu berharap denganku, aku hanya menikah karena keinginan Papah. Terserah kamu kalau mau punya istri lagi. Aku gak masalah.”
“Maksud kamu apa?” terlihat Gilang gelisah.
“Maksudku, aku mengijinkan kamu menikah lagi. Karena pernikahan ini, bagiku sebatas status saja. Jadi, kalau kamu ingin mempersunting Amanda kekasihmu itu, gak masalah bagiku. Masalahnya toh ada pada kedua orang tuamu kok. Bukan aku,” jawabku sinis lalu melanjutkan membaca novelku.
“K-kamu tahu?”
“Tentu saja aku tahu, justru alasan aku mau nikah sama kamu karena aku tahu kamu berpotensi selingkuh atau poligami jadi itu bisa kujadikan alasan untuk bercerai,” sahutku mantap.
Kulihat raut muka Gilang memerah menahan marah. Tangannya tampak mengepal.
“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Dek?” ucapnya bergetar menahan amarah.
“Kamu pikir aku lelaki brengsek begitu?” Kali ini Gilang terlihat tak bisa menahan emosinya. Suaranya dingin, rahangnya mengeras dan matanya menatapku dengan penuh amarah.
Dia pikir aku akan takut apa? Hohoho. Aku Tiara ya. Aku bukan seorang penakut apalagi hanya karena seorang Gilang.
“Gampang kok, aku menilai kamu. Karena kamu laki-laki. Laki-laki punya nafsu jadi gak mungkin lima tahun pacaran gak ngapa-ngapain. Selain itu, aku pernah melihatmu keluar dari hotel bareng Amanda. Menurutmu apa yang akan dipikirkan oleh calon istrimu melihat calon suaminya keluar dari hotel kelas melati di pagi hari?” ucapku sinis.
Dia terlihat menahan amarahnya. Kerutan di dahinya bahkan sangat terlihat nyata. Gilang terlihat akan membalas perkataanku tapi sepertinya diurungkan. Entah kenapa dia tidak mendebatku lagi? Karena dia diam, aku pun diam dan memilih fokus pada kegiatan membacaku. Masa bodoh sama Gilang meski kini dia sudah menjadi suamiku.
Malam pertama kami lewatkan hanya dengan diam. Tak ada obrolan sedikit pun diantara kami. Bahkan aku sengaja memilih tidur di ruangan kecil yang terletak di ujung kamarku. Ruangan ini sengaja kuminta sebagai ruang kerja pada Papah. Dan ternyata sangat berguna apalagi demi untuk menghindari lelaki yang kini bergelar suamiku.
Pagi harinya, interaksi yang terjadi antara kami berdua nampak canggung. Baik aku dan Gilang kompak memasang tampang baik-baik saja. Meski banyak ledekan dan juga bullyan dari keluarga kami. Baik aku dan Gilang memilih diam dan tak menanggapi.
“Cie ... pengantin baru nih ye.”
“Wuih. Pagi-pagi keramas.”
“Berapa ronde nih.”
“Hahaha.”
Begitulah godaan dari keluargaku dan keluarga Gilang. Aku memilih cuek dan fokus sarapan. Tapi dasarnya aku lagi sial, Papah dengan tegas memintaku melayani Gilang saat makan. Mau tak mau aku mengambilkan nasi beserta lauk pauknya. Karena aku dan Papah punya kebiasaan sarapan dan makan malam bareng jadilah setiap acara makan, aku harus meladeni Gilang dan memasang senyum palsu. Haish, menyebalkan!
*****
