Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Bakti Pada Orang Tua

Gilang

“Papah minta kamu menikah sama Tiara, dia anak sahabat papah. Papah yakin dia anak yang baik,” titah Papah penuh ketegasan.

“Tapi Pah, demi Allah, Gilang gak cinta sama dia. Gilang cintanya sama Amanda. Amanda gadis yang baik Pah,” kekeuhku.

“Amanda putranya Rosna? Si perebut suami orang lain, bahkan membuat suaminya sendiri mati karena menahan sakit hati? Mamah gak setuju kamu sama Amanda. Apa kamu gak lihat kakak lelakinya? Si Anton persis ibunya. Merebut istri sepupumu, Martin. Paling Amanda gak jauh beda sama ibu dan kakaknya. Paling nanti juga selingkuh bahkan jadi pelakor. Camkan omongan mamahmu ini,” sinis mamah.

“Ya Allah, Mah. Amanda gak seperti itu. Amanda gadis baik. Gilang cinta sama Amanda.”

“Oke nikahi dia, tapi akan mamah doakan hidup kamu gak berkah. Tak akan pernah ada kebahagiaan dalam rumah tangga kalian. Gak akan ada harta gak akan ada anak dan awas saja kalau nanti kamu berani selingkuh atau menjadikan Amanda istri keduamu. Mamah akan doakan lebih buruk dari apa yang mamah katakan tadi.” Mamah kemudian pergi meninggalkanku bahkan Papah juga. Aku terduduk lemas melihat kebekuan hati mereka.

Amanda adalah sepupu jauhku, ayah Amanda kerabat Mamah. Saat mengetahui ibu Amanda selingkuh dan memilih lelaki lain. Om Heri, ayahnya Manda meninggal karena depresi. Keluarga besar sangat membenci Tante Rosna sejak saat itu. Bahkan Mamah menolak segala hal yang berhubungan dengan Tante Rosna termasuk hubungan percintaanku dengan Amanda.

***

“Mas,” panggil Amanda lirih. Aku hanya diam dan sibuk menatap ke depan.

Saat ini kami tengah duduk di dekat danau. Di sini tempat kami sering menghabiskan waktu bersama selama lima tahun hubungan kami. Tak pernah sekalipun kami berbuat lebih. Selain karena aku memang dididik sangat keras oleh kedua orangtuaku untuk menghargai wanita, aku juga ingin menunjukkan bahwa Amanda adalah wanita baik yang mampu menjaga kehormatannya.

“Mas marah? Maaf Mas, Manda akan lebih hati-hati.”

“Kenapa kamu sepolos ini Manda, mau-maunya kamu diajak ke hotel oleh Rico. Untung saja aku datang sebelum dia berbuat jauh padamu.”

“Maaf,” ucapnya menahan tangis.

Aku benar-benar kalut saat melihat Rico tengah menindih tubuh Amanda. Aku saja yang lama berpacaran dengannya tak pernah berbuat lebih selain menggenggam tangannya. Bahkan memeluknya saja aku tak berani karena takut khilaf.

“Mas, maaf. Aku sangat kalut karena kau akan ....”

“Aku tahu. Tapi bukan berarti kamu mau saja diajak Rico kemana pun Manda,” ucapku sedikit keras.

Setelahnya aku terdiam lama sedangkan Amanda menangis semakin tersedu.

“Aku takut menghadapi hari esok, Mas. Saat mengetahui kenyataan kamu mungkin tidak akan bisa kumiliki. Mas, kenapa tadi kamu tak mau menyentuhku? Setidaknya jika kita tidak bersama, aku pernah memberikan sesuatu yang berharga, milikku kupersembahkan untukmu.”

“Tidak Manda, aku hanya akan mengambilnya jika kita sudah terikat pernikahan. Dan aku sedang memperjuangkanmu.”

“Sampai kapan Mas?”

“Entahlah, aku tak tahu.”

Amanda menangis, sungguh hatiku sakit. Dia gadis yang baik tapi sayang tingkah laku ibu dan kakaknya membuatnya ikut merasakan dampaknya. Dipandang hina oleh masyarakat.

“Mas ....” Amanda mendekat ke arahku. Aku segera berdiri. Radarku menyuruhku untuk segera pergi.

“Aku sudah memanggilkan taksi untukmu, Manda. Aku mohon jangan seperti ini. Ingat Tuhan. Aku pergi dulu.” Aku segera pergi meninggalkan Amanda. Jujur, aku takut Amanda akan menggodaku lagi. Dan aku takut tergoda sehingga melakukan kesalahan yang akan kusesali seumur hidupku.

Bukan sekali ini, bahkan berkali-kali Manda bermaksud menggodaku agar aku mau menyentuhnya. Aku tahu ia menjadi seperti ini karena perasaan kalut dan rasa cintanya padaku. Dia sedang berada pada fase tak memiliki arah. Makanya, aku yang harus bisa menahan diri.

Aku sudah memperjuangkan Amanda dan berusaha meluluhkan hati kedua orang tuaku agar mau menerima Amanda sebagai menantu. Perjuanganku selama lima tahun untuk meyakinkan kedua orangtuaku ternyata sia-sia. Kedua orang tuaku kekeuh tak mau menerima Amanda.

Pertemuan terakhir kami terjadi seminngu yang lalu. Aku meminta maaf pada Amanda karena tidak bisa memperjuangkannya. Terlihat raut muka Amanda yang terluka bahkan tanpa sadar kami berpelukan. Aku menangis pun dengan Amanda.

“Sebelum kita berpisah, ijinkan aku menyerahkan hartaku untuku, Mas.” Amanda mengucap kalimat itu dengan terisak.

“Tidak Manda, aku tak mau. Jagalah untuk suamimu kelak. Maafkan aku.” Aku melepaskan pelukan kami. Tanpa menoleh padanya aku pun segera pergi. Aku takut khilaf dan mengiyakan permintaan Amanda. Sejak perpisahan itu, kami tak pernah bertemu. Rekan kerja Amanda bilang, Amanda resign dan pergi bersama keluarganya. Aku merasa kehilangan. Tapi tak mampu berbuat apapun untuk Amanda. Hanya doa yang dapat kuberikan padanya.

“Semoga kamu akan menemukan bahagiamu, Amanda.” Doaku dalam hati.

***

Di sinilah aku, di sebuah kamar pengantin yang sengaja dihias sangat indah. Sayang aku tak merasakan kebahagiaan layaknya pengantin baru. Bahkan istriku sendiri dengan tegas menolakku. Dan apa dia bilang? Jika aku menikahi Manda maka akan ia jadikan alasan untuk bercerai?

Rupanya dia sudah mendapat banyak info tentangku. Sayang dugaannya tentang aku dan Manda yang keluar dari hotel itu salah besar. Ingin sekali kuungkapkan kebenarannya tapi sepertinya percuma, dia tak akan percaya padaku.

Lihatlah, bahkan ia memilih masuk ke ruang kerjanya. Cukup lama aku menunggunya. Aku segan tidur duluan, padahal si pemilik kamar masih berada di sebelah. Karena penasaran aku berdiri dan melihat ke ruang kerja Tiara. Astaga! Dia tidur?

Aku hanya bisa menarik nafas kasar. Benar-benar gadis menyebalkan. Dingin, angkuh, jutek, cuek, nyebelin, untung cantik. Eh ... aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Apa sih, Lang? Amanda juga cantik tahu. Baik dan murah senyum lagi. Gerutuku dalam hati. Akhirnya karena rasa lelah, aku pun tertidur.

***

Aku harus memasang wajah penuh senyum menghadapi godaan dan bully-an baik dari keluargaku dan Tiara. Sejak tadi kami digoda terus. Apaan maksud mereka? Iya memang aku keramas karena merasa gerah dan lengket. Tapi aku belum buka segel tahu. Aku sendiri bingung, apakah pernikahan kami akan berlanjut atau berakhir suatu hari nanti?

“Tiara, siapkan makanan untuk suamimu!” perintah Om Bara, Papah mertuaku tegas.

“Iya Pah.” Meski enggan, Tiara tak bisa membantah ucapan papahnya.

“Makasih.” Kuucapkan saat Tiara menyerahkan sepiring nasi dan lauk kepadaku.

Dia hanya melirikku tanpa senyum, ya Allah kenapa jodohku wanita berhati dingin seperti ini?

“Papah mau makan apa?” tanya Tiara pada Papah mertua.

“Papah pake sayur sop sama tempe gorengnya saja ya, Nduk.”

“Iya Pah.” Aku melongo dengan perlakuan Tiara pada Papah mertua. Sangat lembut dan penuh perhatian. Beda sekali perlakuannya kepadaku.

Aku akui belum ada rasa apapun pada istriku, tapi melihat sikapnya saat meladeni Papah mertua, entah kenapa hatiku berdesir. Aku ingat doaku sejak dulu, memiliki istri yang penuh perhatian dan telaten dalam merawatku. Apa mungkin Tiara adalah jawabannya? Entahlah, aku pun tak tahu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel