Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1. Nafkah Batin Seminggu Sekali

*****

“Terima kasih, Sayang! Kamu memang pandai memuaskan suami!” Bagas melemparkan tubuhnya di samping Rinay. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.

“Harus, dong, Mas! Suami udah capek kerja, jauh-jauh pulang ke desa, masa enggak aku servis seistimewa mungkin, iyakan?” sahut Rinay tersenyum semringah. Hatinya berbunga-bunga. Tangan gemulainya lalu menarik selimut yang teronggok di bagian kaki ranjang, lalu menutupi tubuh polos mereka berdua hingga sebatas dada.

“Tapi jangan lupa minum obatnya secara rutin, ya, Sayang!” Bagas menunjuk pil di atas nakas. Pil anti hamil yang sengaja dia bawa dari kota.

“Itu obat apa, sih, Mas?” tanya Rinay merubah posisi tidurnya. Wanita itu tidur miring menghadap ke arah Bagas.

“Itu vitamin biar rahim kamu subur! Biar cepat hamil. Mas pengen banget kita cepat-cepat punya anak biar kita beri surprise kepada keluargaku. Kan, Mas udah janji akan segera membawa kamu ke kota asal kamu hamil, Sayang! Makanya kamu jangan pernah telat minumnya, ya! Dan satu lagi, jangan sampai Ibu atau Bapak tahu kalau kamu mengkonsumsi itu! Pokoknya siapapun tak boleh tahu, hem!”

“Kenapa, sih, Mas? Kok pakai rahasia-rahasia segala?”

“Mas malu, dong, Sayang! Mereka pikir, kok, mas ngebet banget pengen punya anak! Entar keluarga kamu tersinggung lagi, mengira mas enggak percaya akan kesuburan putri mereka, kan enggak enak!”

“Hem, begitu, ya, Mas?”

“Iya, Sayang.”

“Maaf, ya, Mas! Hingga hari ini, aku belum bisa bahagian Mas Bagas! Padahal kita udah nikah setengah tahun. Jujur aku juga pengen kayak teman-teman aku, Mas! Mereka malah dua bulan nikah langsung hamil. Malah si Ningsih, udah langsung hamil meski belum akad nikah. Aku malu, tau, sering diledekin gak pinter gituannya. Ada juga yang bilang Mas Bagas enggak top cer, kan aku panas juga, Mas,” adu Rinay seraya memainkan jemari di dada sang suami.

“Ya, makanya! Rajin minum vitaminnya, ya! Itu, udah Mas beli untuk sebulan.”

“Baik, suamiku, hehehe … Bagaimana kabar Mama dan Papa, Mas? Mereka sehat, kan?” Hening, pertanyaan Rinay tak lagi mendapat jawaban. Kedua mata Bagas sudah terpejam.

“Mbak Liara dan Mbak Dewi juga, mereka apa kabar?” sambung Rinay lagi. Namun, tetap tak ada sahutan. Bahkan suara dengkuran halus yang mulai terdengar.

“Mas … Mas Bagas …!” Rinay mengelus pipi suaminya. “Mas Bagas udah bobok? Sepertinya Mas capek banget, ya? Mas Bagas, sih, bertempurnya dengan durasi panjang banget! Capek, kan? Tapi, ya, sudah! Bobok saja, ya! Biar kuat dan segar saat bangun besok pagi!” ucapnya penuh pengertian.

Wanita itu menatap lembut wajah Bagas. Tampan, pria itu terlihat sangat tampan dan perkasa. Penuh kelembutan, dia menyeka peluh yang masih membasahi kening dan leher sang suami dengan jemarinya. Menyusur hingga ke bahu kokoh itu.

“Terima kasih sudah mencintaiku, Mas! Terima kasih sudah memilihku menjadi istrimu!” ucapnya berbisik pelan. Masih dengan posisi miring, Rinay memeluk sang suami lalu mencoba memejamkan mata. Dia juga harus tidur sekarang, agar kembli bugar saat sang suami membangunkannya dini hari nanti.

Bagas akan kembali ke kota esok pagi-pagi sekali. Datang seminggu sekali, melewatkan satu malam bersamanya, lalu pergi sebelum matahari terbit. Begitu selalu. Sebelum berangkat, biasanya sang suami meminta jatah sekali lagi. Seolah bekal pelepas rindu karena seminggu lagi baru bisa bertemu.

Begitu selalu, sudah enam bulan berlangsung. Rinay merasa bahagia dan sangat menikmati hubungan itu. Meski hatinya selalu dicekik rasa rindu, tetapi dia tetap bisa menahan. Tak pernah protes meski dia hidup terpisah dengan suami. Tak pernh menuntut meski didatangi hanya satu malam dalam seminggu. Jangankan untuk curiga, terpikir hal yang buruk pun tak pernah. Senyum masih terukir di bibir ranumnya, saat mata mulai terpejam, kantuk mulai menyerang.

Baru saja Rinay terlelap, ketukan halus di pintu kamar membuat dia tersentak. Siapa yang mengganggu malam-malam begini? Tak tahukah dia kalau malam ini Rinay sedang bersama suaminya. Bukankah kesempatan berdua suami buat Rinay hanya sebulan sekali? Kenapa masih tega mengganggu?

Rinay mencoba menerka, penghuni rumah ini hanya dia bersama kedua orang tuanya. Kedua abang dan kakaknya tinggal di desa sebelah. Siapa yang berani mengganggu malam istimewanya? Bapak atau Ibu? Ada apa? Kenapa mesti malam-malam begini?

“Astaga! Jangan-jangan Ibu mau menanyakan masalah tadi siang? Waduh, aku belum sempat membicarakannya dengan Mas Bagas. Mas Bagas keburu tidur, bagaimana ini?” batin Rinay tersadar. Hatinya seketika resah. Padahal bapak dan ibunya sudah mewanti-wanti, agar malam ini juga dia bicarakan. Tak bisa ditunda, sebab esok pagi Bagas pasti akan buru-buru kembali pergi.

Ketukan terdengar lagi. Terpaksa Rinay beringsut turun dengan hati tak karuan.

“Bentar!” ucapnya agak pelan, khawatir suminya terjaga. Wanita itu memungut pakaiannya yang berserakan di lantai kamar, lalu mengenakannya satu persatu. Wanita itu lalu berjalan ke arah pintu. Memutar gerendel, pintu yang terbuat dari papan yang sudh keropos dan lapuk itupun dia buka pelan. Rinay mengangkatnya sedikit, agar deritnya tak terdengar.

“Ibu?” sapa Rinay seraya menggandeng tangan ibunya menjauh dari kamar. Sungguh, dia tak ingin tidur lelap suaminya terganggu.

“Bagaimana, kamu sudah bicara dengan Bagas?” tanya sang ibu, menolak gandengan putrinya. Mata tuanya memindai ke dalam kamar. Menatap Bagas yang sudah terlelap kelelahan setelah pertempuran di atas ranjang.

“Mas Bagas sudah tibur, Bu! Kasihan dia kecapean! Rinay enggak sempat ngomong?” jawab Rinay agak berbisik.

“Kenapa belum ngomong? Kamu ini bagaimana, sih, Nay! Ini penting, lho!”

“Iya, Bu. Rinay tahu. Tapi Mas Bagas capek banget, kasihan!”

“Tolong banguni sebentar! Biar ibu saja yang ngomong!”

“Jangan, Bu! Rinay janji, Rinay akan meminta sama Bagas agar mengajak Rinay ikut ke kota besok pagi!”

“Baik kalau begitu, malam ini juga, kemasi pakaianmu! besok pagi saat Bagas pulang, kau harus ikut dia!”

“Baik, Bu.”

“Ya, sudah! Banguni besok pagi ibu kalau kalian berangkat!”

“Iya, Bu!”

Rinay kembali masuk ke dalam kamar. Seperti perintah ibunya, wanita itu lalu mengeluarkan tas kain yang tidak terlalu besar dari dalam lemari sederhana. Memasukkan beberapa potong pakaian yang dia punya.

Dia harus membujuk Bagas esok pagi agar membawanya ke kota. Keluarganya sudah tak tahan dengan omongan tetangga yang menuduh Rinay hanya istri simpanan belaka. Padahal resepsi pernikahan mereka enam bulan yang lalu tergolong sangat mewah untuk ukuran kampung. Tetapi mulut tetangga, tetap saja lebih pedas dari merica.

*

“Sayang, Mas pulang! Jangan lupa minum vitaminnya, biar jadi yang barusan kita lakukan!” ucap Bagas mengecup kening Rinay. Mereka baru saja melakukannya lagi dengan durasi lebih panjang dari tadi malam. “Mas janji, begitu kamu hamil, mas akan bawa kamu ke kota, bilang sama Bapak dan Ibu, ya!”

*****

Bersambung

Mohon dukungannya teman-teman. Tolong di subcribe dan beri rate bintang lima, ya. Terima kasih banyak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel