15. Debar Itu Nyata
Demi apa coba, kenapa aku harus berada di sini bersama si buaya Kalirawa. Ingin kuteriak... Aaaaaa.
"Nasha, kamu makin cantik aja dech," dr. Wijaya memulai aksi gombalannya.
Aku hanya tersenyum tipis. Malas berkomentar. Saat ini kami sedang kondangan di tempat drg. Dhini yang bertugas di Sokaraja I. Mana rekan kerjaku kayak kompak membuat posisi duduk kami bersebelahan.
Di sebelahku Seina seperti menahan senyum. Awas kau Sei, besok-besok aku gak mau jadi sopir dadakanmu lagi.
"Seina, suamimu katanya pulang?"
"Sudah dok, sekarang dinasnya di Bataliyon, ini saya aja ikut suami di asrama hehehe," jawab Seina.
"Hem... Ya ya. Udah isi belum?"
"Doakan ya dok. Cepet isi."
"Jangan lupa nanti periksanya di tempat saya. Klinik Ibu dan Anak Wijaya Kasih. Nanti saya kasih gratis," ucap dr. Wijaya sambil mengedipkan mata genit.
Ya Allah, kenapa ini orang tebar pesona banget. Kenapa lagi si Seina pakai malu-malu meong. Hoek. Aku memilih fokus pada kedua mempelai di depan. Sepertinya calon suami Dhini dokter juga dilihat dari Mas kawinnya berbentuk stetoskop.
Akad nikah akan dimulai, aku hanya bisa melihat punggung para saksi. Salah satu punggungnya benar-benar membuat jiwa detektifku kepo. Aku kok kaya kenal punggung itu. Tapi siapa ya?
Ijab kabul terucap dengan lantang membahana. Alhamdulillah. Ketika acara ijab selesai dan akan dilanjutkan acara foto-foto aku bisa melihat dengan jelas bahwa Mas Rayyan menjadi salah satu saksi nikahnya. Tuh kan bener, radar detektifku udah hafal diluar kepala kalau menyangkut Mas Rayyan. Ini nih, akibat tindakan chori-chori chupke-chupke selama di tempatnya Mas Rayyan kemarin. Jadi serasa PREITY ZINTA dech. Ups...
*****
"Udah lama Na?" Mas Rayyan duduk di sebelahku dan juga sedang meminum es dawet.
"Dari sebelum akad Mas. Mas Rayyan sendiri punya hubungan apa sama Dhini?"
"Suami Dhini temenku."
"Ooooo."
"Bunder."
"Ckckck. O ya bunder Mas sejak kapan O jadi lonjong." Dia cuma tersenyum tipis guys. Tapi bikin meleleh.
"Eh dr. Rayyan disini juga?" tanya seorang wanita pada Mas Rayyan.
"Iya," jawab Mas Rayyan singkat.
"Halo Dinda, bagaimana kabar kamu?" si dr. Buaya mulai SKSD lagi.
"Halo juga dr. Wijaya. Duh, dokter tambah ganteng dech."
"Masa sih. Tapi kalau tambah ganteng ya syukur dech. Semoga gadis yang aku kejar mau nglirik aku yang ganteng," ucapnya sambil melirikku tapi aku pura-pura tak tahu.
"Ah dokter, mana mungkin ada cewek yang nolak dokter ganteng kaya anda. Kalau nolak berarti perlu kaca mata tuh orang," sahut Dinda tertawa lebay. Aku memilih menikmati es dawetku. Malas denger mereka ngobrol.
Tak berapa lama beberapa kenalan dr. Wijaya juga turut ngobrol bersamanya. Kebanyakan wanita, dari perawan, mama muda, sampai yang tua. Sok ngartis bener nih orang. Beda sekali dengan lelaki disampingku yang pembawaannya cool gak banyak gaya dan aku pun sangat suka. Eaaaak.
Insiden kecil namun memalukan terjadi. Tiba-tiba seekor cicak nemplok di bahu salah satu fans dr. Wijaya. Para wanita dan si dokter histeris, lompat sana lompat sini. Gokil pokoknya. Apalagi dokter Wijaya yang melakukan aksi tarian absurd muter-muter gak karuan gegara si cicak memutuskan nemplok masuk ke dalam kemejanya. Tapi karena didalam pengap mungkin, cicak pun memutuskan merayap keluar menuju punggung sang dokter.
Kemudian...
PLAK
Sebuah tepukan keras dari gulungan kardus bekas air mineral mampir ke punggung dr. Wijaya dan cicak pun menjadi mayat. Semua orang memandang si tersangka pembunuh cicak.
Mas Rayyan dengan santainya mengambil cicak menggunakan kardus tadi dan membuangnya ke tempat sampah. Setelah itu duduk manis menikmati kembali es dawetnya.
Hening.
Tak lama kemudian semua orang sibuk dengan kesibukan masing-masing. Beberapa pria ada yang senyum-senyum bahkan banyak yang tertawa ngakak. Para wanita berubah haluan yang tadinya melakukan aksi genit mengerumuni buaya sekarang berbalik kagum menatap singa garang dengan tatapan memuja. Hahaha.
******
Aku sedang menunggu gadis manja bin bawel lagi mandi. Astaga udah jam 9 pagi katanya belum mandi. Ckckck.
"Maaf ya Na, kamu malah nunggunya kelamaan. Kamu santai aja dulu, Rania paling satu jam lagi baru keluar," celetuk Tante Helena.
"Emang kalau hari biasanya gimana Tante? Males mandi juga."
"Sama saja. Cuma kalau sekolah ya terpaksa mandi."
Kami tertawa ngakak. Aku dan Tante Helena ngobrol seru. Ternyata Tante itu orangnya supel banget jadi nyaman ngobrol dengan beliau.
"Om kemana Tan?"
"Hari minggu ya ke GOR, olahraga sama temen-temennya."
"Tante gak ikut?"
"Males. Yang ada Tante malah dicuekin.
Terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Akhirnya si gadis manja turun juga. Aku mendongak melihat siapa yang turun tangga dan Aw... Mataku ternoda melihat keindahan di depanku.
Mas Rayyan cuma pakai singlet putih sama celana kolor sebatas lutut, rambut awut-awutan dan jangan lupakan muka bantalnya. Sepertinya dia kelelahan dan masih mengantuk. Dia menatap lurus ke arah kami. Matanya terbelalak melihatku yang agak salting dan memalingkan muka. Takut khilaf mana itu dadanya sandarable banget dan ada bulu-bulu halus dikit tapi tampak seksi. Haish...
"Loh Na, kamu disini."
"Iya Mas, diminta nemenin nonton sama gadis manja." Aku berusaha tenang padahal jantungku berdebar.
"Ke Rajawali?
"Iya Mas."
"Naik apa kesana? Motor?"
"Enggak Mas, naik pesawat terbang."
"Apa? Ya ampun sayang kamu lucu sekali." Tante Helena menyeletuk.
"Yah kan tadi Mas Rayyan nanya kita naik apa ke Rajawali ya Nasha jawab aja naik pesawat terbang Tante. Hehehe."
"Ckckck. Kamu ya Na gak berubah." Mas Rayyan langsung menarik kepalaku dan aku dikunci lewat keteknya. Bau asem sih tapi aku suka. Astaga.
"Mas bau asem ih, mandi sana biar wangi. Ntar kalau diketekin terus cowok-cowok pada kabur karena aku gak wangi."
"Biarin, biar kabur sekalian."
Kalau ada yang bingung kok kami sangat akrab karena memang seperti inilah kami. Sejak dulu, saat Mbak Nisha masih hidup. Aku walaupun kadang jutek tapi aslinya bisa sangat gokil berbeda dengan Mbak Nisha yang kalem sekali. Sedang Mas Rayyan kalau di luar kesannya dingin dan angkuh padahal kalau kumpul dengan orang-orang terdekatnya dia berubah menjadi pribadi yang hangat tapi jahilnya gak ketulungan. Makanya kita sangat cocok. Setiap ngapelin Mbak Nisha mesti dia jahilin aku dulu. Sedang aku, aku akan membalasnya sampai puas tak peduli dia itu calon kakak iparku. Mbak Nisha sudah paham akan tingkah kami berdua dan hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Massss... Lepasin gak!"
"Gak bakalan dilepas."
Tante Helena hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kami. Mungkin karena jenuh melihat kami yang saat ini saling sikut menyikut kayak anak kecil makanya memilih pergi.
"Mas... Resek...?" aku kesakitan karena dia tengah mencubit kedua pipiku.
"Gemes Mas sama pipi kamu."
Aku mengusap-usap pipiku. Sakit sekali. Aku melotot ke arah Mas Rayyan. Dia hanya tersenyum jahil saja. Sebel.
Rania pun datang sudah siap dan cantik. Anaknya Tante Helena mah ganteng dan cantik semua.
"Udah siap Ra?" tanyaku.
"Udah dong, cus Mbak," jawab Rania.
"Mau kemana?" tanya Mas Rayyan.
"Nonton," jawab kami kompak.
"Tunggu, 15 menit." Mas Rayyan langsung naik ke kamarnya.
Aku menatap Rania, sedangkan dia hanya mengedikkan bahu. Akhirnya mau tak mau kami menunggunya.
Kurang dari 15 menit Mas Rayyan sudah siap dengan pakaian santainya. Jantungku kok berdebar kencang ya? Kayaknya jantungku akhir-akhir ini memang bermasalah kalau berdekatan dengan penyebabnya. Duh, besok aku harus konsultasi nih sama ahli jantung.
