Keindahan Dunia Fana
"Astaga, aku melupakan namanya lagi!" Aldwick memukul kepalanya pelan. Ia gemas sendiri, padahal ia sudah merencanakan untuk bertanya nama Nona Hutan Hujan sampai ia dapatkan tapi karena asik melihat Nona Hutan Hujan menikmati suasana ia jadi lupa.
"Sudahlah, kami pasti akan bertemu lagi. Setelah bertemu aku akan mengatakan padanya bahwa aku adalah Putra Mahkota. Dia harus bangga memiliki teman seperti aku." Aldwick kembali melanjukan kudanya. Hari ini cukup menyenangkan baginya, tadi ia berjalan ke hutan untuk memeriksa apakah para perampok bersembunyi di hutan itu atau tidak, dan tidak ia sangka ia menemukan Nona Hutan Hujan di sana. Ini seperti keinginan terpendam yang terwujud. Dan untungnya di pertemuan kedua, Quella sudah sedikit lebih banyak bicara, ya meskipun terkadang masih ketus juga.
Senyuman terlihat diwajah Aldwick ketika ia mengingat perdebatannya dengan Quella.
"Mungkin semua orang sudah gila. Gadis seperti itu dianggap sampah, apa mereka tidak melihat kalau wanita seperti itu sangat berharga. Dia memiliki hati yang baik, dan lagi dia pandai tentang racun. Astaga, aku tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya. Akan lebih baik jika dia adalah istriku." Aldwick kembali berpikir untuk menjadikan Quella selirnya.
Quella telah sampai di kediamannya. Ia tidak mendapatkan satu lembar pakaianpun untuk acara makan bersama nanti. Sudahlah, dia bisa pergi besok. Tidak perlu datang ke penjahit, cukup membeli di pasar biasa saja. Ia tidak ingin bertemu dengan para wanita bangsawan yang pasti akan membuatnya naik darah.
"Siapkan air mandian untukku, Zyla."
"Baik, Nona."
Quella duduk di bangku depan cermin. Ia melepaskan cadar yang menutupi wajahnya. Melepaskan riasan rambut yang membuat kepalanya sedikit sakit. Rambut coklatnya tergerai indah. Bau mewangian menguar dari rambutnya. Sebagai seorang wanita, Quella tentu merawat dirinya dengan sangat baik. Bukan hanya memiliki rambut indah sehalus kapas, tapi ia juga memiliki kulit mulus yang sangat terawat, berwarna putih cerah yang tak terlihat pucat.
Mata Quella menatap wajahnya di cermin, "Kau harus mendapatkan pengakuan dari suamimu, Quella. Jika kau tidak bisa mendapatkannya maka kau benar-benar pecundang!" Apa yang akan Quella tunjukan nanti bukan untuk orang lain tapi untuk suaminya sendiri. Untuk mendapatkan pengakuan dari suaminya maka ia harus membuat orang lain menarik kata-kata mereka tentang semua rumor yang beredar.
&&
Quella segera menyambut Ethaan yang kembali dari melatih para prajurit di istana.
"Aku akan menyiapkan air mandi untukmu." Quella melangkah menuju ke tempat mandian Ethaan. Mulai hari ini ia yang menyiapkan segala kebutuhan Ethaan. Menurut perawat yang merawatnya sejak kecil, menjadikan suami Dewa adalah kewajiban sang istri. Memenuhi semua kebutuhan suami adalah kewajiban sang istri. Berbekal dengan ajaran dari perawatnya, Quella akan menjadikan Ethaan sebagai Dewa dihidupnya.
Usai menyiapkan mandian Ethaan, Quella kembali lagi ke Ethaan. Ia menemukan sang suami tengah membuka pakaiannya. Quella menahan nafas, melihat punggung Ethaan membuatnya tak bisa melangkah. Di punggung tegap itu terdapat beberapa bekas luka. Quella yakin jika bekas luka itu didapatkan ketika Ethaan berperang. Quella tak tahu bagaimana sakitnya ketika pedang menggores kulit.
Ketika Ethaan membalik tubuhnya, buru-buru Quella melangkah kembali.
"Air mandianmu sudah siap."
Ethaan tak menjawab, ia hanya melangkah menuju ke pemandian dengan kain putih bercampur emas yang menutupi pinggang sampai ke mata kakinya.
Dari belakang, Quella mengikuti Ethaan. Ia duduk di tepian pemandian, sementara Ethaan masuk ke dalam pemandian. Quella melumuri bahu Ethaan dengan cairan rempah-rempah, baunya begitu wangi dan menenangkan.
Quella menyentuh luka-luka yang tadi hanya ia lihat saja, "Bagaimana rasanya mendapatkan luka ini?" Quella mulai bertanya. Rasa sakit yang disebabkan oleh Ethaan tadi pagi sudah menghilang. Ia tak bisa mendendam pada suaminya, jika ia ingin cinta maka ia harus membanjiri suaminya dengan cinta bukan dengan dendam.
"Jika kau ingin tahu rasanya, aku bisa memberikan luka ini padamu." Suara dingin Ethaan merasuk ke tulang Quella. Membuatnya menggigil halus.
Quella tahu Ethaan kejam, ia yakin pria ini akan melakukannya jika ia berkata ingin, "Tidak, terimakasih." Ia segera menjawab kebaikan hati Ethaan dengan penolakan.
Quella menyentuh luka lainnya, kali ini lebih panjang dari luka sebelumnya. Jari lembut itu menusuri luka Ethaan. Sementara yang disentuh hanya memejamkan matanya, jelas ia tidak mati rasa. Ia merasakan bagaimana hati-hatinya Quella menyentuh bekas luka itu.
"Aku harus membasahi rambutmu. Bisakah kau melepaskan topengmu?" Quella bertanya hati-hati.
Kedua tangan Ethaan bergerak naik. Melepaskan topeng yang menutupi setengah wajahnya.
Quella tak berani melihat wajah Ethaan. Menurut rumor Ethaan memiliki wajah yang buruk. Mungkin bekas pergulatan dengan tentara lawan.
Dengan kedua tangannya, Quella membasahi kepala Ethaan. Menyentuh rambut hitam lembut Ethaan dan mengusapnya pelan.
Tiba saatnya bagi Quella untuk mebersihkan bagian depan tubuh Ethaan. Ia bergerak masuk ke dalam kolam, melangkah ke depan Ethaan dan membeku kemudian.
Ia sedang melihat wajah pemuda tanpa cela. Dia adalah keindahan dunia fana yang tidak tertandingi sama sekali. Wajah tenang dengan mata tertutup itu berhasil membuat hati Quella bergetar hebat. Orang sinting mana yang mengatakan bahwa wajah Ethaan sangat buruk. Demi semua yang ada di langit, Ethaan bahkan menandingi ketampanan dewa. Dia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Suasana hati Tuhan pasti sedang sangat-sangat baik saat menciptakan Ethaan yang tanpa cela.
"Aku bisa membunuh orang yang terlalu lama melihat wajahku, Quella."
Quella terkesiap, tapi ia masih tidak bisa mengalihkan pandangan matanya. Ketampanan Aldwick bahkan tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Ethaan. Demi Tuhan, wajah seperti Ethaan memang harus selalu disembunyikan. Dia bisa membuat semua wanita di kekaisaran itu mengantri untuk menjadi wanitanya.
Mata Ethaan terbuka. Mata elang yang bernuansa hitam legam itu menatap hutan hujan milik Quella. Dua keindahan dan kedinginan yang bertemu langsung. Membuat suasana menjadi sangat hening namun tak membekukan.
"Jika kau tidak ingin melanjutkan pekerjaanmu maka menyingkirlah."
"Aku lanjutkan." Quella kembali melanjutkan tugasnya.
Ethaan kembali menutup matanya. Ia membiarkan Quella menyentuh wajahnya. Memijat pelan di sana seperti wanita itu sedang menyentuh mahakarya yang tak boleh hancur.
Setelah beberapa waktu, Quella selesai membantu Ethaan mandi. Sekarang ia tengah membantu Ethaan memakai pakaian malamnya.
"Ada lagi yang kau butuhkan?" Quella memastikan kembali kerapian pakaian Ethaan.
"Tidak ada."
"Kalau begitu aku kembali ke kediamanku. Aku pergi." Quella menundukan kepalanya lalu keluar dari ruangan Ethaan.
Ketika ia sudah kembali ke kediamannya, Quella mengganti pakaiannya. Ia kemudian duduk di sofa, bayangan wajah tampan Ethaan kembali mengisi otaknya.
"Dia benar-benar misterius. Mungkin ini yang dinamakan malaikat maut dari surga. Sangat memukau. Bersinar tapi tidak menyilaukan."
Azyla mendekat ke Nonanya. Ia penasaran akan ocehan Nonanya.
"Apa sesuatu terjadi, Nona?"
Quella menarik tangan Azyla, "Aku merasa keputusan menerima pernikahan ini adalah hal yang tepat."
"Alasannya?"
Quella meletakan tangan Azyla ke dadanya, "Kau merasakan debarannya?"
"Apa Pangeran membuatmu ketakutan? Atau dia menghinamu lagi?"
"Bukan itu, Azyla. Aku rasa aku jatuh hati padanya."
"Bagaimana bisa?" Azyla tak habis pikir.
"Semua wanita pasti akan menggilainya, Azyla. Dia menyimpan sesuatu yang bisa membuat wanita mematung tak berkutik di depannya."
Azyla mengerutkan keningnya, sesuatu? Apa lebih tepatnya itu?
Tok! Tok! Tok! Obrolan itu terputus. Azyla segera melangkah menuju ke pintu dan membuka pintu.
Yang datang adalah tangan kanan Ethaan bersama dengan 4 pelayan lain.
"Nyonya, Pangeran Kedua mengirimkan Anda barang-barang ini. Kenakan ini ketika Anda pergi ke acara makan bersama nanti." Beberapa barang di dalam nampan berpindah ke meja Quella.
"Silahkan mencobanya, saya permisi." Tangan kanan Ethaan keluar dari ruangan itu.
Quella mendekat, ia melihat ke barang-barang di atas meja. Semuanya adalah barang-barang yang bisa ia gunakan saat makan bersama. Satu set gaun berwarna merah dan emas. Sepatu yang indah. Pernak-pernik khiasan rambut dan beberapa pilihan aksesoris berupa gelang, kalung dan antingan.
"Mari mencoba ini, Nona." Azyla mengangkat gaun berwarna merah dan emas di atas meja. "Pangeran Kedua benar-benar memiliki selera yang tinggi. Ini sempurna untuk Anda, Nona."
"Bantu aku melepas pakaianku, Azyla."
Quella merasa sangat senang. Ia mungkin terlalu besar kepala tapi biarlah ia menganggap ini adalah bentuk perhatian dari suaminya. Dan Quella pasti akan membalas perhatian ini dengan baik.
