Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 9

SEMBILAN

Berbekal keberanian yang semakin menipis, Hana memperhatikan kumpulan cowok di hadapannya. Kira-kira berjumlah lima, sedang memperbincangkan sesuatu. Anehnya, sedang apa Hana berada di antara mereka?!

Setelah berjalan beberapa meter menjauhi sekolah, Hana dan dua cowok yang bertemu dengannya tadi berhenti di pinggir jalan simpang sekolah, di sana ternyata sudah ada tiga cowok yang menunggu di atas motornya. Mereka pun langsung membicarakan sesuatu yang tampaknya begitu ‘penting’, terlihat dari sorot wajah mereka yang lumayan kalut.

Perbincangan tersebut masih terus berlanjut, entah apa yang dibicarakan, Hana disuruh menjadi patung sejauh tiga meter dari mereka tanpa diperbolehkan mendekat. Hana frustasi memikirkan kini dia terjebak oleh mereka semua.

Hana membasahi bibir, berusaha menenangkan diri. Dia memastikan kelima cowok itu larut dalam perbincangan, sedikit demi sedikit dia berjalan mundur, sebisa mungkin tak menimbulkan suara apapun. Baru tiga langkah, Jay langsung berbalik menghadap ke arahnya sambil menatap tajam.

“Selangkah lagi lo mundur, jangan nangis kalau gue ngelakuin sesuatu ke lo!”

Lantas apa gunanya Hana dibawa kemari?!!

Rasa-rasanya Hana ingin menangis. Bayangkan, dibawa pergi dari sekolah, menemui kumpulan cowok yang bahkan tidak Hana ketahui baik atau tidak, berada di pinggir jalan padahal seharusnya jam pelajaran sedang berlangsung. Hana ketakutan.

“Apaan sih lo nangis?” sentak Jay selang dua menit menghening.

Hana yang tengah merunduk sontak mengusap kedua pipinya yang basah. Dia memang menangis, sebagai pelampiasan rasa takutnya.

“Miris banget hidupnya, pfft,” ejek salah satu dari mereka. Membuat Hana meliriknya sekilas. Kelima cowok itu berbincang lagi, kali ini hanya memakan waktu 2 menit, kemudian mereka saling mengangguk.

“Sini!” titah Jay pada Hana. Bukannya mulai mendekat, gadis itu mematung dengan tenggorokan tercekat. Jay mengulang. “Sini!”

Perlahan Hana mendekat diliputi rasa takut dan waswas. Tapi karena langkahnya begitu lamban, Jay langsung mencekal pergelangan tangannya hingga dia tertarik ke depan. Wajah Hana berubah tegang berdiri bersebelahan dengan cowok menyeramkan itu, apalagi bahunya sempat bersentuhan dengan bahu Jay.

“Kita duluan ya, bos,” pamit 3 cowok yang duduk di atas motornya, melambaikan tangan menyisakan asap motor.

Tersisa dua cowok tadi dan Hana.

“Taksi yang gue pesan belum nyampe juga, aish. Nyasar kemana tuh taksi.” Cowok berkuncir mungil itu mendumel memeriksa ponselnya.

“Kalau lima menit lagi belum nyampe, lo cancel aja. Kerja kok nggak bener,” timpal Jay dengan suara khasnya, tajam. Membuat bulu kuduk Hana meremang mendengar dari jarak yang begitu dekat. Belum lagi pergelangan tangannya masih dicekal erat.

Selang tiga menit, sebuah mobil terparkir di hadapan mereka.

“Nah ini, kok lama banget sih, Pak?” Cowok imut bernama Sunoo itu bertanya saat membuka pintu depan lalu masuk ke dalam.

“Wah, maaf ya. Tadi ada masalah dikit.”

Jay membuka pintu belakang, menghempaskan lengan Hana ke dalam. “Masuk!”

“H-ha? Gue mau dibawa kemana?”

Tanpa menjawab Jay memasukkan Hana paksa.

“Gue mau dibawa kemana?!” Gadis itu memberontak. Naas, Jay sudah memasukkannya ke dalam, menutup pintu rapat-rapat. Sunoo di jok depan menekan tombol Lock sehingga semua pintu kini terkunci. Hana terus memberontak, berusaha membuka pintu itu atau mengetok-ngetok berharap ada yang menolong.

“Tunggu apa lagi, Pak? Ya udah jalan,” ujar Sunoo pada Pak Supir, dibalas senyum dan anggukan. Mobil mulai dilajukan membelah jalan raya.

“Gue mau dibawa kemana?!” Tanpa takut Hana menatap Jay nyalang. “Lo penculik, kan?! Lo mau ngejual gue?!”

Tidak ada jawaban, cowok itu ternyata sedang memejamkan mata di sandaran kursi.

Hana menggeleng kencang, kembali mengetok-ngetok pintu untuk kesekian kali. “TOLONGIN GUE! TOLONG!” jeritnya, entah siapa yang mendengar. Tapi dia tidak peduli, berusaha berteriak sekencang mungkin agar didengar pengendara lain. “TOLONGIN GUE! SIAPA AJA!”

“Aduh, berisik banget, sih,” decak Sunoo.

“TOLONG!”

“TOLOONG!”

“TOLOOOOONG!”

“Lo bisa diem, nggak?!” Hana tersentak tiba-tiba lengannya dicengkeram. Tukasan tajam dan tatapan intimidasi dari cowok itu berhasil membungkamnya hanya dalam sekali hardik. Jay menyipitkan mata hingga dahinya berkerut. “Sekali lagi lo teriak, awas lo!”

“Emangnya kenapa?!” Hana malah menantang Jay, kemarahan yang dia tahan sejak kemarin menguap mendengar kalimat terakhir dari cowok itu, dia membalas tatapan Jay dengan nyalang. “Lo siapa ngancem gue terus?! Lo kira gue takut sama lo? Gue diem karna nggak mau berurusan sama lo! Tapi sekarang lo udah keterlaluan, gue bakal ngasih lo pelajaran!”

“Oh, ya?” Jay memandangnya datar, mengeratkan cengkeramannya di lengan Hana. “Coba aja kalau lo bisa.”

Hana berontak lagi, berusaha menepis lengan cowok itu yang melilit lengannya. Nihil, sudah mengerahkan seluruh tenaga, tetap tidak bisa karena tenaga cowok itu begitu besar. “Gue mohon lepas. Gue nggak ada urusan sama lo.”

“Gue calon suami lo.”

“Calon suami? Jangan sembarangan!” hardik Hana terbawa emosi. Hana tidak pernah membentak, tapi sekarang dia benar-benar naik pitam diperlakukan semena-mena oleh orang tak dikenal. Apalagi dibilang calon suami? Oh yang benar saja.

Namun wajah Hana yang semula murka seketika pias menyadari Jay kini mencengkeram kedua lengannya lalu mengimpitnya ke kursi.

“Ternyata lo bukan cewek penurut seperti yang gue mau.”

Napas Hana tercekat dengan tubuh menegang mendengar nada rendah namun menusuk yang melantun di telinganya.

“Lo denger, gue nggak suka cewek yang doyan marah,” bisiknya. “Apalagi berani ngebentak.”

Gadis itu tertegun, memandang wajah Jay yang hanya berkisar beberapa meter dari wajahnya. Tubuh Hana pun bagai membatu, dia tidak bisa bergerak sekadar melakukan perlawanan.

“Gue cuma nyuruh lo masuk ke mobil, seberat apa menurut lo?”

“T-tapi gue nggak kenal sama lo,” cicit Hana serak, memberanikan diri walau sungguh takut.

“Gue udah bilang, gue calon suami lo.”

“Nggak mungkin,” cicit Hana lagi, getir.

“Kenapa nggak mungkin?” Wajah itu semakin mendekat, deru napasnya terasa di wajah Hana, bahkan dapat Hana hirup dengan jelas. “Gue sendiri yang tertarik ke lo.”

Karena jarak wajah mereka sudah begitu tipis, Hana memejamkan mata rapat-rapat merasa ketakutan, untungnya yang terjadi selanjutnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah sakit. Jay menjauhkan diri, membuka pintu lalu keluar.

Sedangkan Hana terengah-engah akibat menahan napas, keringatnya pun mengucur di pelipis dengan suhu tubuh panas-dingin. Padahal berada di posisinya tadi bisa dibilang singkat, cukup berhasil membuatnya terguncang.

Dia tersentak ketika pintu di sebelahnya dibuka kasar, lengannya ditarik keluar dari mobil. Mereka berjalan beriringan menyusuri lobi rumah sakit dengan Hana yang ditarik paksa.

Pada saat itu, Jay membisikkan sesuatu tepat di telinga Hana. “Lo simpen baik-baik di pikiran lo, lo udah terikat sama gue, jangan harap bisa lepas dari gue. Gue bisa bersikap lebih baik ke lo, asal lo jangan terlalu bodoh kalau gue minta sesuatu. Lo juga boleh ngelakuin apa aja ke gue, ngebentak kayak tadi, mukul gue, atau terserah mau lo. Sebagai gantinya gue berhak nyentuh lo.”

Hana tercengung, pikiran murninya bagai direnggut paksa. Belum lagi aroma obat-obatan yang merasuki indra penciumannya, menambah pusing yang seharusnya sudah berat.

“Lo harus terima kenyataan, sejak gue ngeliat lo di gudang, lo udah jadi milik gue.”

°°°

Hana terduduk tak berdaya di kursi tunggu rumah sakit, pikirannya tidak di tempat, melayang-layang di udara luas. Kedua kakinya terasa dingin padahal mengenakan sepatu, kedua tangannya bergetar, tatapan matanya tertuju ke lantai, menerawang kejadian beberapa menit lalu.

Dalam hati dia sangat ingin menangis, melampiaskan apa yang ada dalam hatinya. Dia masih saja keras kepala dan berpikir berulang kali tentang cowok menyeramkan tadi. Dia masih begitu marah, ingin berteriak keras mengatakan bahwa dia tidak mengenal cowok itu. Tapi mengingat perkataannya, Hana ragu bisa terlepas darinya yang kini Hana doktrin sebagai orang sakit jiwa.

Hana sudah berpikir ulang mengenai kejadian sebenarnya, mungkin di gudang hari itu saat Jay melihat Hana tidak memakai baju, dia berpikir bahwa Hana adalah gadis murahan, begitu? Sehingga bisa dirayu dengan kata-kata receh? Cih, Hana tidak bodoh. Pola pikir Hana lebih cerdas dari siapa pun. Dia tidak akan termakan mentah-mentah perkataan tidak dinalar itu.

Hana memutuskan menghubungi temannya, tiba-tiba dia merasakan dadanya mulai memberat. Dia meringis, melongokkan kepala ke ruang inap dimana Jay dan keempat cowok tadi berada, katanya Hana harus menunggu di luar—lagi pula itu lebih baik. Memastikan mereka larut dalam pembicaraan, Hana segera kabur.

Dia membeli dua botol air mineral berukuran sedang, membuang semua isinya untuk memperoleh botolnya saja. Setelah itu bergegas ke toilet, memasuki salah satu bilik kemudian mengunci. Karena tidak membawa pompa asi, mungkin terkurasnya akan lebih lama, dia menunggu sambil duduk di atas toilet, menyandarkan kepala sembari menghela napas jengah.

Hampir dua puluh menit, bahkan hampir mencapai ambang mimpi, Hana tersadar asi-nya sudah berhenti menetes. Dia mencampur kedua asi itu ke satu botol hingga muatannya penuh. Kemudian dia membenarkan penampilan, dimulai dari baju, rok atau rambut. Usai mengantongi sebotol asi tersebut di saku rok, dia membuka bilik toilet, keluar seperti tidak terjadi apapun.

Sepertinya tidak ada gunanya jika dia balik ke ruang inap tadi, mungkin saja mereka sudah pulang duluan. Lebih baik Hana pun langsung pulang.

Saat melangkahkan kaki menuju pintu exit yang bersebelahan dengan parkiran, dia terkejut tatkala seseorang muncul di hadapannya.

Belum dibiarkan meredakan keterkejutan, tangan Jay terjulur ke saku roknya, mengambil botol yang dia simpan di sana yang masih tampak menonjol. Hana melotot.

“Jangan!” cegatnya.

Terlambat. Jay lebih dulu mendapatkannya.

Wajah Hana memerah padam, apalagi melihat teman-teman Jay menyoraki mereka dari parkiran. Tak terkira seberapa malu seorang Hana Arcelia!

Hana ingin mengambilnya kembali karena begitu malu, tanpa disangka Jay membuka tutup botol lalu meneguknya cepat.

“JANGAN!” Hana berteriak kencang, terkejut sekaligus membatu.

Setelah meneguk abis asi kepemilikan Hana, Jay melempar botol kosong itu ke tong sampah yang berada tidak jauh dari tempatnya. Lalu menatap Hana sambil menyunggingkan senyum miring.

“Mulai besok lo harus rutin ngasih ke gue. Ngerti?”

Dia menarik lengan Hana yang masih terperangah, memanggil sebuah taksi, memasukkan Hana ke dalam dan memberi alamat pada Pak Supir. Mobil dijalankan dengan Hana yang belum juga tersadar.

°°°

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel