Bab 8 Pilihan Sulit
"Duduk!" Titah Nathan kepada Leona saat sudah sampai di ruangan. Tetapi sayangnya, karyawan cantik itu menolak tak suka karena bosnya yang pemaksa.
"Tidak mau."
"Siapa yang menyuruhmu makan dengan Joshua?" tanya Nathan tanpa menatap ke arah Leona.
Si cantik itu hanya mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Bukan urusan bapak. Mau saya makan dengan siapapun suka-suka sayalah."
"Apa kau melupakan sesuatu?"
Wanita itu terdiam.
"Kau masih istriku, Leona."
Leona mendecih. "Saya perhatikan bapak selalu mengingatkan akan hal itu. Asal bapak tau saja, saya tidak pernah lupa dengan status kita ya, pak. Tetapi hal itu tidak berlaku saat di kantor, bukan? Di sini, bapak adalah bos saya dan saya adalah karyawan bapak."
"Oh. Mulai berani kau, ya? Kau tidak sadar ya, bukankah kau menolak hukuman tidak digaji selama setahun?" tanya Nathan sambil tersenyum getir ke arah Leona. "Itu artinya ... pilihan kedua menjadi keputusan akhirmu, Leona."
Shit!
'Sialan! Ternyata Nathan benar-benar serius dengan ancamannya.' Astaga, kalau saja bukan karena ibu, mungkin dia rela tidak digaji selama setahun dari pada harus tunduk dengan si pria gila itu. Tapi masalahnya ibu lebih membutuhkan uang itu untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Ditambah lagi adik bungsunya yang sedang membutuhkan banyak biaya untuk membayar sekolah. Kalau bukan uang dariku, dari siapa ibu akan menggantungkan hidupnya?
Sejak ayah meninggal, Leonalah yang bertanggung jawab menafkahi keluarga di kampung halaman. Bukan sesuatu yang mudah ia lalukan. Tapi mengingat kondisi kesehatan ibu yang kerap mengalami sakit, Leona jadi tidak tega jika membiarkan ibu harus banting tulang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Si cantik hanya mendesah. Memijit kepalanya yang mulai terasa berdenyut. Menyadari bahwasannya ia berada dalam situasi sulit saat ini.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu, Leona. Putuskan sekarang, atau saya yang akan segera menghubungi HRD untuk mengurus soal ini," ancam Nathan, sambil pria itu bangkit dari duduknya dan pergi.
Leona yang cemas refleks berteriak dan mengejar pria itu. Tetapi sialnya, tubuh Leona yang lemas dan kepala yang mendadak pusing membuat wanita itu tak kuasa menopang berat di tubuhnya.
Bruk!
"Ini karena kau lelet mengambil ke—," ucapan Nathan terhenti saat menoleh ke belakang dan mendapati karyawannya sudah tersungkur jatuh di atas dinginnya lantai keramik.
"Astaga! Kenapa kau bisa pingsan, sih?" Gerutunya sambil menepuk pipi si wanita untuk membangunkannya. Seketika dia teringat akan ucapan Dea yang mengatakan kalau Leona kurang enak badan.
Dia sedang hamil.
Nathan menepuk jidatnya pelan. 'Merepotkan, huft!'
Pria itu akhirnya menggendong tubuh wanita cantik itu dan membawanya ke sofa, merebahkannya pelan, setelah itu mengambil minyak angin untuk membuatnya sadar.
Tidak sampai di situ, dia juga memesankan minuman hangat kepada OB agar segera mengantarkan ke ruangan.
"Hei, bangun!" Nathan menepuk pipi istrinya usai mengoleskan minyak angin di hidung Leona. Menatapnya lembut sambil sesekali membelai rambut si wanita.
"Maafkan aku," ucapnya dengan nada super lirih sembari menundukkan kepala. Bebarengan dengan seorang pria berseragam OB yang datang mengantarkan teh manis hangat dan meletakannya di atas meja.
"Terima kasih," ucap Nathan.
"Sama-sama, Pak." Jawabnya sambil membungkuk hormat. "Kalau boleh tau, kenapa mbak Leona bisa sampai pingsan, Pak?"
"Mungkin kecapekan."
Lelaki itu mengangguk, setelahnya pamit pergi. Meninggalkan Leona dan Nathan berdua di ruangan.
Tidak ada suara apapun. Hanya dengungan AC yang menemani kesunyian di ruangan pria tampan bernama Nathan tersebut.
Nathan baru saja akan bangkit dari duduknya di sofa, ketika tangan Leona berhasil mencekal lengan pria itu, membuatnya langsung menghentikan langkah. Dan ia pun duduk kembali di samping wanita itu.
Ditatapnya lembut wajah pucat istrinya yang lemah itu sembari membatin. 'Aku terpaksa melakukan ini semua, Le.'
Tak lama kemudian, Leona mulai tersadar. Dia mulai membuka kedua matanya perlahan. Dan saat mendapati Nathan yang masih duduk di sana, wanita itu langsung bangun.
"Tidak perlu bangun, kau masih sakit." Nathan memperingatkan.
"Tapi saya mau minum," kilahnya.
Nathan lantas beranjak dari duduknya. Mengambilkan segelas air mineral yang ia letakkan di atas meja lalu menyodorkan pada Leona.
"Ini!"
"Makasih."
"Aku sudah memesankan teh hangat untukmu, kau malah pilih air putih," sungutnya dengan raut wajah cemberut.
Uhuk-uhuk!
"Pelan-pelan!" Nathan refleks meraih gelas yang ada di tangan Leona, lalu mengelus punggung wanita itu lembut. Seketika pandangan mereka bertemu selama beberapa saat, membuat degup jantung Leona bertabuh kencang.
Untuk kesekian kalinya wanita itu tidak bisa mengontrol hati dan pikirannya agar tetap biasa saja saat berhadapan dengan Nathan. Selalu saja rasa gugup menderanya. 'Ya Tuhan, dia memang tampan. Hanya wanita bodoh yang bisa menolak pria seperti Nathan.' Gumam Leona.
Sayangnya, ketampanan Nathan tak cukup meluluhkan hati Leona karena sikap dan sifatnya yang super menyebalkan dan keterlaluan.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Suka?"
Dih!
Leona refleks menjauh. "Narsis."
"Memang itu kenyataannya." Nathan beranjak dari tempat duduk setelah sebelumnya mengacak rambut Leona asal.
"Kau ya?"
"Ha ha ha."
'Apa Nathan sudah gila?' Batinnya berkata.
"Kau jangan senang dulu, Leona. Hanya karena kau pingsan, bukan berarti aku akan memberimu belas kasihan."
"Maksud bapak?"
"Kau belum memutuskan pilihanmu, bukan?"
Deg.
"Bapak tidak perlu khawatir. Saya sudah mempertimbangkan semuanya."
"Oh, ya?" Nathan mendekat. Menatap sepasang netra milik wanita itu sambil mengernyitkan kening. "Boleh aku mendengarnya sekarang?" imbuh pria itu lagi.
Helaan napas panjang terdengar jelas dari bibir wanita cantik itu sebelum akhirnya berbicara. "Saya memilih opsi kedua."
"Good." Sela Nathan cepat sambil menjentikkan jari tepat di depan wajah Leona.
"Jangan senang dulu."
Nathan terdiam. Pria itu duduk di meja kerja dengan atensinya yang terus fokus pada Leona.
"Saya akan menuruti apapun yang bapak inginkan kecuali—."
"Permisi." Suara itu berhasil membungkam bibir Leona ketika seorang pria masuk ke dalam ruangan Nathan.
"Kau?" ucap Nathan menoleh ke arah pintu. "Tidak bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?"
Yang diajak bicara hanya tersenyum sembari melangkahkan kaki mendekat ke arah Nathan. "Sorry. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
"Soal?"
Joshua tak menjawab dengan atensinya yang menjurus pada Leona. Membuat wanita itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan membiarkan keduanya mengobrol.
"Mau bicara soal apa?" tanya Nathan sambil duduk di kursi kebesarannya.
"Soal Leona."
"Oke. Apa ada masalah dengannya?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Mengenai masalahnya beberapa hari lalu. Aku minta kau mau memaafkan kesalahannya."
Nathan berdecak. "Kau ke sini hanya untuk membujukku agar aku tidak memberikan hukuman padanya?"
"Please ... aku yakin pasti ada orang yang sengaja melakukan ini karena dia tidak suka pada Leona."
Cih! "Aku perhatikan kau begitu sangat membelanya? See ... ada apa?"
"Karena aku suka sama Leona."
