Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Ponsel dan Perjanjian

Bab 6 Ponsel dan Perjanjian

Entah bagaimana permulaannya, Hasbi dan DIka saat ini duduk terdiam di lantai, di depan Hamash yang duduk di kursi. Ini berasa seperti sedang menghadap ke pangeran jadi-jadian.

Baru akan membuka mulut untuk menyanggah apa yang dilihat tadi oleh Hamash, justru si Hamash sudah mulai bicara. “Mas, kalau suka sama mbak Dika tuh bilang aja. Nggak usah pake lilit-litan kabel kayak ular piton deh.”

“Yang suka sama dia tuh siapa?” tanya Hasbi sambil menunjuk DIka yang ada di sebelah kirinya. “Ogah!”

“Dih, yang mau sama situ juga siapa?!” Dika pun mengelak. Enak aja dijodoh-jodohin sama Hasbi.

“Mau mengelak juga percuma deh mas. Kan aku udah liat tadi mas Hasbi sama mbak DIka tuh ngapain aja. Ya kalau nggak ada apa-apa, mana mungkin kan gelundungan kayak gitu? Kecuali kalau mas sama mbak udah jadi titisan kayu gelondongan sih,” kata Hamash sambil mengupil. Ia lalu menjentikkan upilnya yang entah terlontar ke mana. Dika yang melihatnya hanya bisa mengernyit. Sedangkan Hasbi? Ya maklum aja, orang dia punya hobi yang sama yaitu gali emas di hidungnya sendiri.

“Nanti aku bilang ke ibuk deh, kalau mas Hasbi ternyata udah dewasa,” kata Hamash bak orang dewasa.

“Heh, upil gajah, umur mas itu udah 17 tahun. Udah akhil baliq.”

“Ya kalau udah dewasa sih harusnya mas Hasbi sadar ya, udah bukan waktunya main-main lagi. Apalagi sampe harus pake trik kabel sambil jambak-jambakan.” Melihat masnya terdiam, Hamash melanjutkan perkataannya, “Nanti aku jamin deh. Ibuk bakal setuju kok.”

“Nggak usah macam-macam deh, Mash! Mas tuh nggak ada apa-apa ya. Yang kamu lihat tadi tuh nggak berarti apa-apa.” Hasbi mencoba untuk menengkan diri. Dia tak mau emosi menghadapi Hamas. Salah sedikit, kejadian tadi bisa sampai ke telinga ibunya.

Sebelum Hamash berkata, Dika sudah membantah Hasbi. “Nggak ada apa-apa kamu bilang? Terus yang kemarin-kemarin itu apa? Tadi juga, jambak rambut aku tuh kamu bilang nggak ada apa-apanya?”

“Nggak usah ngomomg hal yang aneh deh. Kemarin-kemarin apanya? Tadi juga kamu jambak aku kan? Rambutku yang aduhay ini tersiksa sama cengkraman mautmu itu tahu nggak?” Hasbi menghadap ke arah Dika sambil menjumput rambut dan menunjukkannya ke arah Dika.

Tanpa ampun, Dika menjambak kembali rambut Hasbi. “Hey!!” Hasbi menarik rambutnya dan mengucirnya. Ia tak mau rambut kesayangannya gugur.

Sruuttt…. Sruttt….

Hasbi dan DIka menoleh ke sumber suara dan melihat Hasbi sedang menyeruput es tehnya yang sudah habis. “Kayak gitu masak nggak ada apa-apa mas? Aku nggak bisa dibohongi lho.”

“Beneran Mash.”

“Atau aku bilang ibuk aja ya biar ibuk yang menilai. Apa mas beneran suka dan ehem ehem atau ohok ohok sama mbak DIka?” Hamash lalu meletakkan gelasnya ke atas meja dengan keras. Ia berdiri dan menepuk tangannya. “Ehmm… kayaknya ibuk masih jualan deh.” Ia melirik ke arah Hasbi dan Dika. “Kesana aja apa ya?”

Hamash kemudian melangkahkan kakinya dan langsung ditahan oleh Hasbi. “Mash, jangan dong! Masak kamu tega gitu sama masmu?” Hamash diam saja padahal dalam hati dan kepalanya, Hamash tertawa ngakak. Jarang-jarang kan ngerjain masnya kayak gini. “Yang ngasih uang jajan siapa?”

“Ibuk.”

“Yang masakin kamu siapa?”

“Ibuk.”

“Jadi, jangan bilang ibuk ya.”

“Ya terus apa hubungannya sama pertanyaan mas tadi?” Hamash kadang gemas sama masnya. Kok ada ya manusia absurd macam masnya ini. Ibunya dulu ngidam apa sih? Jangkrik nungging atau kalajengking naik sepatu roda?

“Emang kalau ngomong harus nyambung?”

“Harus!!!” Dika dan Hamash berteriak ke arah Hasbi kemudian mereka berdua melakukan high five. Ternyata mereka sepemahaman.

Hasbi hanya melongo sebelum ia kemudian tersadar. “Pokoknya jangan bilang ibuk!” Hasbi mencoba mengeluarkan tatapan melas Bobby the Cat.

Hamash melihat ke arah Hasbi. Ia sepertinya muak melihat masnya yang sok imut padahal nggak imut sama sekali. Si Hasbi ini cenderung ke amit-amit sebenernya. “Ehmmm…”

Hasbi menangkupkan tangannya seraya memohon. “Oke… tapi ada syaratnya. Beliin aku henpon.”

Hasbi terdiam lalu berdiri dan berkacak pinggang. “Ogah!”

Hamash juga berkacak pinggang dan menatap ke Hasbi. “Aku bilangin ke Ibuk!” Mereka berdua saling melotot. Dika yang melihatnya hanya bisa melongo. Mungkin kalau dilihat dari mata kaki, ada aliran listrik permusuhan diantara kakak adik itu.

“Errr… , can we stop right now?” tanya Dika ragu-ragu.

Mereka berdua akhirnya sadar. Hamash yang tadi sebel, ketika melihat Dika, Hamash menyengir. Seakan lampu di otaknya menyala. “Mbak, aku mau ngomong, boleh?”

Hasbi tiba-tiba merinding. Ada apa ini?

***

Brakk… Brakk... Brakk…

Hamash dan Dika hanya terlihat malas menatap ke arah pintu depan. Bagaimana tidak, Hasbi yang dari tadi dikeluarkan oleh Dika dan Hamash, tak henti-hentinya menggedor pintu depan dan sesekali berteriak. “Oi!!!”

Hamash memutar bola matanya. Masnya itu katrok (norak) sekali. Dika lalu menyadarkannya. “Kamu mau bicara apa?”

“Err.. gini mbak, sebenernya, boleh nggak mbak Dika beliin aku ponsel? Ponselku kecemplung sumur, jadi aku nggak bisa sekolah.”

Mereka diam. Lama dan tak ada jawaban sama sekali. Hamash tahu ini lancing, tapi dia tak punya pilihan. Dia mau sekolah biar nggak bobrok kayak Masnya.

“Jangan!!! Aku beliin aja.” Tiba-tiba Hasbi sudah ada di dalam rumah. Lah, lewat mana dia? Hamash menelisik ke seluruh rumah. Siapa tahu ada lubang yang bisa dimasuki Hasbi buat masuk ke rumahnya. Atau jangan-jangan, Hasbi melakukan debus.

Hasbi terengah-engah. Gimana enggak, dia muterin rumah secepat mungkin dan masuk lewat pintu dapur. Sampai di ruang tengah, dia mendengar Hamash meminta untuk dibelikan ponsel ke Dika. Dia lebih memilih untuk mengeluarkan uang dan membelikan Hamash HP daripada harus berhutang ke Dika. Ra sudi Ndes! (Nggak mau Ndes!)

Hamash berkedip tak percaya. “Mau nggak, mas yang beliin?” Hasbi menawarkan ke Hamash sekali lagi. “Kalau nggak jawab, batal nih!”

“Mau!!!” Hasbi kaget karena Hamash tiba-tiba berdiri dan berteriak.

“Tapiii, Mas punya persyaratan.” Sebelah alis Hamash bergerak ke atas, tanda dia tak mengerti. “Kita buat perjanjian. Antara kamu, Mas dan Dika.”

“Kok aku dibawa-bawa?” Dika mendongak ke arah Hasbi.

“Karena kamu terlibat.” Hasbi menatap tajam ke Dika. Dia tak mau kalah dan dia ingin meminta pertanggungjawaban dari Dika agar dia tak melarikan diri. Hasbi kemudian menatap Hamash. “Bagaimana?”

Hamash terlihat berfikir. Dia tak mau terjebak dalam perangkap gila milik Hasbi. Namun, di satu sisi, ia sangat butuh ponsel itu. “Oke. Kita buat perjanjian.”

Mereka bertiga kemudian membuat perjanjian. Tepatnya hanya Hamash dan Hasbi dan DIka sebagai saksinya.

Perjanjian Beli Hape Hamash

1. Hamash harus selalu patuh dengan Mas Hasbi.

2. Mas Hasbi harus beli hendpon yang harganya 2,5 jutaan biar bisa main Mobile Legend.

3. Hamash nggak boleh ngadu ke ibuk.

4. Mas Hasbi harus lebih waras.

Tertanda, with nobe

Hasbi, Hamash

Setelah perjanjian itu dibuat, Hamash dan Hasbi bersalaman dan serah terima perjanjian tersebut. Bahkan, mereka meminta foto ke Dika sebagai bukti.

“Besok Mas beliin.”

“Yey!!!” Hamash lalu menari berputar-putar. Setelah itu ia pamit untuk pergi main. “Dasar adek nggak waras,” gumam Hasbi.

Sekarang, tinggal Hasbi dan Dika. Udara dingin seakan menyelimuti keduanya. “Masalah kita belum selesai ya. Pokoknya kamu harus cari jalan keluar buat kita. Aku nggak mau melarikan diri atau operasi plastik yang bakal bikin gantengku luntur.”

“Kamu kira cari solusi itu gampang?”

“Ya kamu kira disalahkan itu enak?”

“Untuk sekarang, aku juga nggak tahu solusinya apa. Namun yang pasti, aku ingin kita bisa keluar dari masalah yang membuat rambut gondrongku tak cantik lagi karena bikin stress. Kalau pun harus menyerah, aku nggak mau masuk sendiri. Sejak awal kita ngelakuinnya berdua, sampai akhir pun harus berdua.”

Melihat Dika yang tak menjawab atau tak memberikan solusi, membuat Hasbi bingung. Namun yang pasti, ia harus menyisihkan Rp2,5 jutaan untuk handphone Hamash.

Seandainya ada Doraemon, boleh nggak pinjem pintu kemana saja atau mesin waktunya?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel