Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Di ... Dika?

Bab 14 Di ... Dika?

Keesokan harinya, Hamash resmi keluar dari rumah sakit setelah kasus Tanti. Menurut yang Hasbi dengar, Tanti akhirnya dibebaskan karena the power of money. Hamash sendiri masa bodoh dengan kasusnya karena yang terpenting, dia bebas dari Tanti untuk saat ini. Entah untuk masa depan.

Namun, Hamash melupakan hal terpenting. Bawelnya sang Ibu.

Hasbi boleh jadi pribadi yang tidak banyak omong tapi omongannya langsung mak jleb. Namun, ibunya adalah kombinasi dari Hasbi dan Hamash. Bawel dan nylekit. Buktinya bisa dilihat setelah Hamash sampai di rumah.

Dengan masih memakai celemek hasi taplak batik pudar yang dikatkan di pinggang. Bisa dilihat di beberapa bagian terdapat noda yang tidak bisa dibersihkan dan berlubang karena tikus-tikus yang kelaparan.

Melihat ibunya sudah angkat senjata, Hasbi langsung masuk ke kamarnya. Menutup dan tak lupa mengancing pintu agar tidak disusupi oleh Hamash.

Belum ada 1 menit Hasbi duduk manis di kasur minimalisnya yang tipis, nyanyian dari ibunya sayang untuk Hamash tercinta sudah bisa terdengar. Dengan segera Hasbi memasang earphone dan menyetel lagu indie kesukaannya, bang Pamungkas. Makan tuh omongan emak, Hamash!

***

Baru enak-enaknya streaming bola di ponsel, karena TV dikuasai oleh emak dan sinetron, tiba-tiba Hasbi merasa ada pergerakan di sebelahnya. Sontak saja Hasbi menoleh ke sumber gerakan.

“Ngapain sih? Nggak bisa lihat masnya seneng dikit apa?” tanya Hasbi sambil melanjutnya menonton bola.

Hamash cemberut. Pipinya menggembung dan mulutnya terlihat mengemut lollipop. Hamash kemudian mengeluarkan permen kaki dan mengacungkannya ke Hasbi hingga hampir mengenai hidung Hasbi. “Apaan sih?! Kalau cuma mau ganggu mas, pergi tidur sana! Ganggu aja deh.”

Bukannya menyingkir, Hamash justru menyandarkan kepalanya di bahu Hasbi sambil ikut menonton bola. Untung ini posisinya lagi di dalem kamar, di rumah, sama adik sendiri. Coba kalau lagi di luar rumah, bisa dikira homo.

Hasbi menoyor kepala Hamash. “Sanaan dikit! Kutu kamu loncat ke rambut mas!”

Hamash mencebik dan menyenderkan punggungnya di pada bahu Hasbi. Rasanya backsound lagu India cocok untuk moment ini. Hasbi berkali-kali menaikkan pundaknya agar Hamash menyingkir dan tidak membebani bahunya. Namun, Hamash tetaplah Hamash. Dia tidak akan mengalah hanya karena dihempaskan oleh Hasbi. No. Never.

Alhasil, karena Hamash diam saja dan Hasbi lelah menggerakkan pundaknya, Hasbi memutuskan untuk diam. Terserah deh sama Hamash!

“Mbak Dika apa kabar ya?” tanya Hamash setelah sekian lama diam sambil menikmati permen kakinya yang membuat lidahnya memerah. Pandangan matanya mengarah ke arah langit-langit kamar seakan-akan ada wajah Dika di situ.

“Ngapain tanya sama mas? Duh! Itu senggol dikit masuk!” jawab Hasbi sambil memberikan komentar pada pertandingan bola yang sedang ditontonnya.

“Lha kan Mas Hasbi yang dekat sama Mbak Dika? Aku mana punya nomornya.”

“Dia lagi sibuk,” jawab Hasbi asal. Sebenarnya, dia sendiri tidak tahu DIka sedang apa dan dimana.

“Sibuk apaan?”

“Ya mana Mas tahu? Ntar kalau udah nggak sibuk, paling juga ngabarin atau langsung muncul di depan pintu.” Hasbi yang dari tadi fokus pada layar ponselnya, tiba-tiba kepikiran, ‘bener juga ya? Dika apa kabar?’ Namun, sedetik kemudian ketika dia mengingat bagaimana Dika memanfaatkannya untuk berjudi online, Hasbi jadi sebal sendiri.

Hasbi semakin sebal saat melihat tim kesayangannya kebobolan karena kesalahan defender. “Haish!!!” Hasbi melempar ponselnya ke samping dan dia langsung merebahkan diri hingga membuat Hamash terjengkang.

“Mas Hasbi bilang dong kalau mau tiduran!” Bukannya menjawab gerutuan adiknya, Hasbi justru memberi hadiah lain untuk Hamash.

Preett… prett… prettttttt….

Tak tanggung-tanggung, Hamash langsung memukul pantat Hasbi dengan menggunakan bantal. “Nggak sopan! Punya mas satu nggak waras! Bau!!!!”

Hamash lalu berdiri, menendang pelan pantat Hasbi, keluar kamar dan bergabung dengan ibunya menonton sinetron. Biarkan Hasbi sendiri bersama kentut beracunnya.

***

Tok… tok…

Hamash yang sedang bersantai setelah kelas daring menoleh ke sumber suara. Dia lalu berdiri, melihat sebentar ke luar rumah dari jendela berkaca retak sambil. Hamash tidak bisa melihat siapa orang yang berdiri membelakanginya.

Rambut sepundak dengan jaket bomber hitam, bertopi, sepatu kets dengan tas ransel bertengger di bahu kirinya. “Eh itu, si Tanti bukan ya?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Hamash lalu berfikir, melihat dan membandingkan perawakan Tanti dengan orang di depan rumahnya. Dilihat dari tinggi badan, mereka jelas berbeda. Si Tanti tinggi apalagi ditambah sepatu egrangnya. Badan Tanti agak berisi, sedangkan orang ini terlihat cuma belulang yang dibalut daging.

Dari gayanya juga berbeda. Tanti nggak bakalan mau sepertinya berpenampilan sporti seperti itu. Hamash kemudian menyembunyikan dirinya saat melihat pergerakan dari orang itu. Lalu, Hamash melihat lagi siapa dia.

“Dia flat. Apa jangan-jangan dia ini jelmaan dari Sun Go Kong?” katanya bernarasi.

Hamash melonjak kaget saat didengarnya ketukan suara yang semakin keras. “Bi, Hasbi!”

“Lho? Kok dia tahu Mas Hasbi?”

“Bi!” Setelah yakin itu bukan Tanti, Hamash lalu membuka pintu rumahnya. Ia cukup terkejut melihat siapa yang datang.

“Mbak Dika?” tanya Hamash ragu. Siapa tahu dia salah orang, iya kan?

“Eh Hamash, Hasbi ada?” Hamash masih melihat Dika dengan ekspresi tidak percaya. Merasa diamati, Dika melambaikan tangannya di depan Hamash tapi tidak ada repons. “Ada apa?”

“Ini benar Mbak Dika tho?” tanya Hamash sekali lagi.

Dika lalu melepas topinya dan mengacak rambutnya. Gerah euy, di udara sepanas ini harus menggunakan topi. “Lha iya, dikira siapa?”

“Ya Mbak Dika, tapi…”

“Tapi?”

“Tapi kok lebih cewek ya? Eh tapi cuma rambutnya aja sih. Bagian lain masih rata,” kata Hamash sekena hatinya.

“Ha?”

Hamash lalu terkejut dan mengkoreksi omongannya. “Nggak… Nggak papa kok.” Fiuh, untung!

Dika menengok ke kanan dan ke kiri. “Hasbi?”

“Mancing sama Mas Su. Duduk, Mbak!” Hamash mempersilakan Dika duduk di teras. Maklum, dalam rumah seperti kapal yang terkena badai gelombang.

Dika duduk dan menaruh tasnya di lantai, di antara kakinya. Hamash sendiri duduk di pinggir teras. “Mas Su?”

“Temannya Mas Hasbi sekolah. Sama gesreknya sih makanya 1 frekuensi.”

“Ohhh…”

Mereka kemudian hanya diam saja hingga akhirnya Hamash berinisiatif ke dalam rumah dan membuatkan minum. Ya walau cuma teh anget dan kedelai goreng yang dicampur micin, tapi setidaknya Hamash nyuguh (menyediakan makanan dan minuman ke tamu). Kalau tidak dan ibunya tahu, bisa-bisa dia terkena omelan lagi.

“Tengkyu, Mash.” Dika lalu meminum minuman tersebut.

“Mbak Dika habis darimana? Kok kayaknya habis melarikan diri hehehe.”

Dika melihat tas ranselnya yang biasa dia bawa. Pakaian serba hitam, sepatu kets dan topi. Orang manapun yang melihat Dika pasti berpikir Dika hendak melarikan diri atau menjadi mata-mata.

“Oh ini? Aku baru saja dari kantor dan tidak sempat ganti baju.”

“Oh gitu. Eh tapi, Mbak Dika kelihatan beda lho dengan rambut kayak gitu.”

“Beda?”

“Ya setidaknya lebih perempuan hahahha.” Rasanya Dika ingin memukul Hamash. Lidah kok lemes banget! Namun mengingat penampilannya yang memang maskulin, Dika bisa apa kecuali menerima kenyataan bahwa dirinya memang sangat tampan.

“Oh ya, kira-kira, masmu pulang jam berapa?”

Hamash menengok jam dinding yang ada di dalam rumahnya. Masih jam 12. “Biasanya sore mbak. Mancing kan butuh kesabaran.”

“Emang, Hasbi mancing di mana?”

“Mancing di keruhnya masa depannya mungkin.” Seketika Dika tertawa.

“Beneran ini?” tanya Dika di sela tawanya.

“Ya enggak mbak. Dikira bisa po?” Hamash memperbaiki duduknya. “Mbak Dika mau nunggu atau nanti balik lagi?” Melihat Dika hendak menjawab dan agar tidak ada kesalahpahaman, Hamash buru-buru menambahkan, “Bukannya gimana-gimana, tapi rumah lagi berantakan banget Mbak. Kalau Mbak Dika mau, Mbak Dika nunggu di sini.”

Sebagai jawaban Dika hanya mengangguk. “Oh ya mbak, kenapa Mbak Dika nggak hubungin Mas Hasbi?”

“Emangnya Hasbi bawah ponsel?”

Hamash melihat ponsel Hasbi tergeletak dan di-charge di meja. “Hehe, enggak Mbak. Hp-nya baru dicas di meja.”

“Ya udah. Aku tunggu sini saja.”

“Nanti kalau butuh apa pun panggil namaku tiga kali ya. Nanti bayang-bayangku akan muncul hahaa.” Setelah itu, Hamash masuk ke rumah dan membiarkan pintunya terbuka, kemudian melanjutkan menonton Upin&Ipin.

Hadek, adek kakak sama-sama unik.

*** 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel