Bab 5
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.
Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal.
"Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.
Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu.
"Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."
Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam tidurnya, entah kenapa wanita itu berpesan padanya dan Sofia untuk mendonorkan organnya pada Bu Citra, ibu Sofia, setelah dia meninggal.
Saat itu Luna marah-marah karena menganggap bahwa ibunya tengah melantur dan sedang bercanda. Tak disangkanya bahwa ternyata seminggu kemudian, wanita itu meninggal dalam tidurnya ketika Luna baru pulang dari sekolah SMA.
"Sudah-sudah! Kok malah jadi melankolis gini sih?" Sofia mengibaskan tangan dan tertawa kecil. "Padahal aku penasaran sama apa yang sedang kamu pikirkan sampai kerutan di antara alismu dalam banget."
Luna bingung harus bagaimana. Apakah sebaiknya dia jujur? Perasaannya mengatakan bahwa ucapan Irfan tidak main-main dan tersirat ancaman di dalamnya.
"Tadi Irfan ngomong sesuatu. Agak aneh sih menurutku. Dia bilang aku harus cepat sembuh dan bisa berjalan, terus segera pergi jauh dari keluarga Wisnuwardhana. Eh, tapi kayaknya cuma perasaanku aja. Jelas maksudnya karena aku nggak setara sama Mas Lingga, kan?"
Sofia menatapnya dengan kening berkerut dalam. Terlihat sekali tidak setuju dengan kalimat terakhirnya.
"Kayaknya bukan it...Eh! Lun! Ada suami kamu sama cewek lain barusan masuk ke sini. Jangan noleh!" bisik Sofia heboh.
"Masa sih? Di mana?"
Sofia buru-buru mengulurkan tangan dan menahan wajahnya agar tidak menoleh dengan mata melotot, lalu berbisik. "Diam!"
Terpaksa Luna menuruti perintah Sofia, meskipun hatinya penasaran setengah mati. Dadanya bergemuruh karena rasa cemburu. Kenapa Kalingga bersama dengan perempuan lain? Sedang apa di sini? Kenapa suaminya membawa perempuan lain ke restoran mewah dan bertaraf internasional?
"Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak kunjung bercerai. Toh bapaknya sudah nggak ada kan? Jadi kamu nggak perlu meneruskan wasiat laki-laki miskin itu. Nggak ada yang menuntut kamu."
Luna dan Sofia saling pandang mendengar suara wanita yang bersama Kalingga. Mereka menunggu jawaban dari Kalingga, tapi pria itu tidak bersuara. Luna yang sangat penasaran dengan reaksi suaminya harus menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara beberapa pria yang menyapa Kalingga.
"Wuih, masih lengket aja sama Renata. Kapan kalian nikah?"
Tubuh Luna membeku mendengar nama perempuan itu disebut. Renata? Jadi itu perempuan yang selalu disebut oleh Kalingga setiap kali mereka bercinta? Tangannya menggenggam sendok dengan erat.
Dari suaranya, Renata pastilah sangat cantik sampai-sampai Kalingga terus terbayang-bayang. Wanita itu sudah pasti dari kalangan atas seperti Kalingga.
"Sebentar lagi. Doain aja ya guys. Kalian harus datang ke pesta pernikahan kami," jawab Renata dengan lembut.
"Pastilah. Udah nggak sabar lihat kalian bersanding di pelaminan. Kalian ini kenapa bisa putus dua tahun yang lalu? Kalingga masih sendirian tuh selama kamu tinggal pergi."
Wajah Luna sudah keruh bukan main. Ternyata Kalingga menyembunyikan pernikahan mereka. Pantas saja dia tidak pernah diajak kemana-mana. Bahkan ke acara keluarga sekalipun.
"Lingga pengen fokus mengembangkan perusahaan, Dik. Jadi aku nggak mau menghambat dia. Lagian aku dulu ada kerjaan di luar kota," jawab Renata.
"Ck, wanita idaman banget. Nggak rugi kamu jadiin dia sebagai istri. Pengertian banget."
Luna heran kenapa Kalingga sejak tadi hanya diam saja. Dia menunggu respon dari pria itu.
"Eh, boleh gabung nggak? Mumpung lagi free. Kita-kita kan susah kalau mau kumpul-kumpul sekarang gara-gara kerjaan," tanya salah satu dari mereka.
"Boleh-boleh. Aku malah seneng makan rame-rame," jawab Renata dengan antusias.
Mereka mengobrol seru sekali dan Renata selalu ikut dalam obrolan itu. Tertawa-tawa bahagia. Luna hanya bisa menatap makanan di hadapannya yang tidak lagi menarik minat.
Apakah wanita seperti itu yang disukai Kalingga? Bisa berbaur dengan teman-temannya. Sedangkan Luna, dia hanya dari kalangan bawah yang sudah pasti tidak cocok bergabung dengan mereka yang level atas. Dia mendengar dari Peni kalau teman-teman Kalingga itu anak konglomerat semua.
"Eh, aku ke toilet dulu ya," pamit Renata.
Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian seksi dan ketat melewati meja Luna dan Sofia. Mereka berdua langsung menoleh dan melihat Renata. Cantik dan seksi seperti artis papan atas. Luna langsung minder.
"Lun," bisik Sofia sambil meraih tangannya. Sahabatnya itu menatapnya dengan sorot mata menguatkan.
"Bro, kok kamu nggak bilang sama Renata kalau udah nikah sama Luna?"
"Dia udah tahu," jawab Kalingga.
"Hah? Gila! Dia tahu dan dia masih mau balikan sama kamu? Kok bisa?"
"Dia nggak mempermasalahkan soal itu."
"Terus-terus, kamu udah bobok bareng dong sama Luna? Kalau dilihat-lihat, dia menarik kok."
Kalingga hanya diam, dan itu menimbulkan kehebohan teman-temannya.
"Memang b*ngsat si Kalingga. Bilangnya nggak mau, tapi diembat juga."
"Dia istriku, jadi aku berhak meniduri dia sepuasku. Toh dia udah kubayar tiap bulannya," jawab Kalingga tak berperasaan.
Luna yang mendengar kalimat itu dengan jelas langsung meneteskan air mata, namun buru-buru mengusapnya. Ternyata perkataan itu masih semenyakitkan itu meskipun dia sudah mendengarnya tadi pagi.
"Bro, jangan gitulah. Kena karma baru tahu rasa. Jangan menganggap dia seperti pelacur. Aku lihat, dia nggak pernah neko-neko selama menjadi istri kamu. Nggak pernah nuntut ini itu juga."
"Ya wajar sih kalau Lingga begitu. Eh tapi kamu nggak jijik tidur sama perempuan lumpuh?"
"Aku selalu membayangkan Renata setiap kali tidur sama dia."
Luna langsung berdiri dan melangkah dengan perlahan menuju ke toilet. Sofia buru-buru mengikutinya dan memapahnya karena dia memang belum lancar berjalan.
"Jadi itu yang kamu dengar tadi pagi? Kenapa kamu nggak bilang sama aku, Lun?"
Luna tidak menjawab. Pandangannya buram karena air mata terus mengalir deras bersamaan dengan sakit yang luar biasa di dada kirinya. Sekarang mereka tahu apa Luna bagi Kalingga. Hanya pelacur.
"Aku bisa bilang ke papaku untuk ngasih pelajaran sama dia," kata Sofia menggebu-gebu.
Luna menggeleng. Dia mendekati wastafel dan mencuci wajahnya yang baru saja perawatan di salon bersama Sofia tadi. Wajahnya sekarang memerah.
"Bawa aku keluar dari sini, Sof," pintanya dengan suara bergetar.
"Kamu pulang ke rumahku aja ya Lun."
Tiba-tiba pintu toilet terbuka dan Renata keluar dari sana. Luna dan Renata saling pandang lewat cermin, sama-sama dengan tubuh membeku.
