Bab 4
"Luna! Uang apa itu?"
Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya.
"Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.
Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat.
"Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik.
"Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya.
"Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"
Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis.
"Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.
Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berpisah dari Kalingga.
Sofia menghela nafas panjang, lalu ikut duduk di seberang Luna. Wanita itu terus mengamati Luna, sampai-sampai Luna tersedak.
"Aku nggak akan tinggal diam kalau Kalingga dan ibunya ngapa-ngapain kamu, Lun. Kamu tahu papaku pekerjaannya apa. Begitu juga dengan Mas Elang. Mamaku juga udah nganggep kamu sebagai anaknya sendiri. Kami nggak akan melupakan kebaikan ibu kamu," kata Sofia dengan wajah serius.
Luna mengangguk. Dia tidak ingin melibatkan keluarga Sofia dalam menghadapi masalahnya. Masuk ke keluarga Kalingga bukanlah keinginannya, melainkan wasiat dari sang ayah sebelum meninggal. Pria itu terus memohon agar dia mau menikah dengan Kalingga, anak dari pemilik perusahaan tempat sang ayah bekerja.
Meskipun awalnya Luna menolak mentah-mentah karena merasa terintimidasi, tapi dengan sangat terpaksa dia menerimanya karena paksaan dari keluarga Kalingga.
Dan sekarang, entah kenapa Kalingga justru ingin segera mengakhiri pernikahan ini. Kenapa mereka memaksanya menikah dengan Kalingga jika pada akhirnya memaksanya juga untuk berpisah dari lelaki itu?
Ada yang aneh di sini. Tapi apa? Apa sebenarnya tujuan dari pernikahan ini?
"Lun, kamu nggak apa-apa? Kakimu masih sakit?"
Luna mengerjap. Dia mendongak dan tersenyum tipis. "Iya, Sof. Kakiku masih sakit dan kaku. Belum bisa dibuat berdiri dalam waktu yang lama."
Sofia mengangguk. "Setelah ke dokter Irfan, nanti ke tempatku ya. Aku mau mengajak kamu jalan-jalan habis itu."
***
"Pak, ada tamu yang ingin bertemu."
Kalingga mendongak dan menatap Celine, sekretarisnya, dengan kening berkerut.
"Siapa? Sudah buat janji dengan saya sebelumnya?"
"Katanya mantan kekasih anda, Pak," jawab Celine takut-takut.
Mata Kalingga langsung membelalak. Dia menegakkan punggungnya. "Renata maksud kamu?"
Celine mengangguk. "Iya, Pak. Disuruh masuk atau menunggu di lobi?"
"Suruh dia masuk," perintahnya.
"Baik, Pak."
Kalingga merapikan pakaian dan rambutnya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang mantan. Tidak, sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih sebelum akhirnya dia terpaksa harus menikah dengan Luna Gayatri.
Pintu terbuka, menampilkan wanita cantik dan anggun dengan pakaian mahal dan berkelas. Rambutnya berwarna hitam berkilau dan keriting gantung di ujungnya.
Seperti rambut Luna. Tunggu! Kenapa juga dia malah memikirkan perempuan miskin itu?
"Kalingga! Aku kangen!" pekik Renata sambil berlari lalu melompat ke dalam pelukannya.
Rambut Renata begitu wangi, tapi entah kenapa malah terlalu menusuk hidungnya. Berbeda dengan wangi rambut Luna yang lembut dan...
Kalingga mengerjap sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali untuk mengusir bayangan Luna yang memakai lingerie merah kemarin malam. Sialan!
"Kamu bilang akan menceraikan perempuan miskin itu setelah dua tahun. Kamu udah bercerai kan dari dia? Aku mau kita kembali dan menikah. Nggak masalah kalau kamu statusnya duda," kata Renata setelah pelukan mereka terlepas, namun tangan wanita itu masih memegang kedua lengannya.
Kalingga tertegun. Keinginan untuk menceraikan Luna yang sebelumnya begitu kuat, entah kenapa perlahan memudar. Dia sudah yakin akan menceraikan perempuan itu setelah Irfan bilang bahwa Luna sudah mulai bisa berdiri dan melangkah, tapi kemarin malam dia merasa ada yang aneh.
"Lingga? Kamu udah bercerai dari dia kan?" tanya Renata curiga.
Kalingga menelan ludah. Tidak menjawab pertanyaan itu.
"Kamu belum bercerai dari dia?" pekik Renata marah. Wanita itu menatapnya tajam. "Mau menunggu apalagi? Atau jangan-jangan kamu udah tidur sama dia?"
Kali ini, Kalingga melengos dan kembali duduk di kursi kerjanya. Dia tidak tahu kenapa tidak bisa jujur pada wanita itu. Dua bulan yang lalu, dia melakukan hal yang gila dengan berpura-pura baik pada Luna, hingga akhirnya mereka melakukan malam pertama.
Plak!
"Brengsek! Kamu bilang nggak bakalan menyentuh dia, tapi apa? Kamu udah mengkhianati cinta kita!" jerit Renata dengan wajah memerah dan mata melotot setelah menampar pipinya.
"Renata, aku bisa jelasin. Aku sebenarnya cuma berpura-pura baik sama dia biar dia mau menjalani fisioterapi secara rutin. Kalau dia sembuh dari lumpuhnya, kami akan bercerai sesuai perjanjian pranikah yang udah kami buat sebelum menikah."
Kening Kalingga mengernyit. Rasanya ada yang mengganjal ketika dia mengatakan tentang hal itu. Perasaannya mengatakan untuk tidak menceritakan tentang perjanjian pranikah itu pada Renata, tapi dia menepis pemikiran itu.
"Benarkah?" Mata Renata membulat tidak percaya. "Kamu serius? Kamu nggak bohong, kan?"
Kalingga mengangguk ragu. Kenapa perasaannya menjadi begini? Seharusnya dia yakin dengan keputusannya. Dia sudah berjanji pada Renata untuk menikahi perempuan itu setelah dia menceraikan Luna.
Ya, seharusnya dia lebih fokus pada Renata. Perempuan itu sudah berkorban perasaan untuknya. Rela sakit hati melepaskan dirinya untuk menikah dengan perempuan lain. Bukankah Renata berhak untuk mengambil posisinya kembali?
***
"Kenapa kamu berbohong pada Kalingga?"
Luna melengos ketika Irfan, sahabat sekaligus sepupu Kalingga bertanya dengan tatapan penuh intimidasi.
"Bukan urusan kamu," jawabnya dengan wajah datar. Tapi tiba-tiba dia tersadar akan sesuatu. Wajahnya menoleh ke arah pria itu dengan tatapan curiga. "Kenapa kamu bilang kalau aku udah bisa berjalan? Kamu tahu sendiri aku baru sampai pada tahap berdiri. Kamu...sengaja kan?"
Ya, masuk akal. Tentu saja Kalingga akan menceritakan tentang perjanjian pranikah mereka pada Irfan. Pantas saja laki-laki itu memberikan pelayanan ekstra dan perhatian penuh selama dua bulan terakhir. Bersamaan dengan Kalingga yang tiba-tiba bersikap baik dan hangat padanya.
"Kukira kamu berbeda. Satu-satunya orang baik di keluarga Mas Kalingga yang setidaknya bisa aku harapkan," ucapnya dengan hati kecewa.
Irfan tersenyum miring. Pria berkulit putih itu menatapnya dengan ekspresi dingin.
"Jangan pernah berharap pada manusia, Luna Gayatri." Irfan mencondongkan tubuh ke arahnya. "Lebih baik kamu cepat bisa berjalan dan pergi dari keluarga Wisnuwardhana sejauh mungkin."
Luna menatap Irfan dengan dagu terangkat. "Aku mencintai Mas Lingga. Kamu atau keluarga besarmu nggak akan bisa menjauhkan aku dari dia."
Pria itu mendengkus, lalu menggeleng dua kali. "Trust me, Luna. Kamu akan mencariku suatu saat nanti untuk meminta penjelasan."
Luna menatap Irfan bingung. Apa maksudnya?
"Dan ketika saat itu tiba, pastikan kamu dalam keadaan siap."
