Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 .Cogan Lainnya

Seperti yang gue bilang sebelumnya. Jadi cowok jelek itu nggak enak. Susah. Mau ngomong ke yang lebih cakep pasti ada rasa nggak pede nya. Tapi nggak tau juga sih, ini cuma gue atau orang jelek lainnya kayak gini juga. Segan bertatap muka, sekali ngomong iya-iya doang. Dan terakhir, rasanya canggung.

Oke mungkin cuma gue. Jadi, forget it!

Hal yang paling gue malesin kalau awal semester itu adalah guru baru. Bukan guru yang bener-bener baru dateng ke sekolah. Yang gue maksud itu adalah guru yang mengajar kelas 2. Karena setiap tingkatan kelas pasti gurunya berbeda. Jadi... Ya gitulah. Gue nggak suka aja, tapi mau gimana lagi, gue harus terima karena gue siswa di sekolah ini.

Yang bikin gue males itu udah pasti perkenalan. Setiap guru yang baru pasti bakal nyuruh maju satu-satu buat kenalin diri. Mungkin dari mereka yang sekelas sama gue nggak masalah, karena well, pasti mereka percaya diri banget. Di kelas gue yang sekarang rata-rata mukanya pada cakep. Aje gile! Gue minder cok jadinya, gue barusan natap seisi kelas setelah bunyi bell bunyi. Dan mereka semua juga natap gue balik dengan pandangan ngerendahin gue. Sumpah ya, nggak enak banget di tatap begitu.

Tapi dari mereka semua, cuma satu yang tersenyum menatap gue. Reza. Cowok ganteng yang memutuskan untuk duduk sebangku bareng gue.

Gue nggak tau apa alasannya, tapi gue udah cukup risih sama dia yang terus merhatiin gerak-gerik gue dari awal perkenalan tadi. Karena nggak mau pusing sendiri, akhirnya gue putuskan untuk bertanya.

"Lo ada niat terselubung ya duduk dan senyum-senyum gitu ke gue?" tanya gue.

Padahal dalem hati yang gue takutin adalah diri gue sendiri yang taku nanti mempunyai niat jelek. Yaitu suka sama dia. Hadehhh.

Dia yang tadinya lagi fokus nulis sesuatu di bukunya, menoleh dengan gerakan perlahan yang mana ngebuat gue merasa di slow motion karena saking lebaynya gue. Drama banget njir.

"Hm? Niat terselubung?" ujarnya yang malah nanya balik. Gue mengangguk dengan mata yang masih fokus memperhatikan wajahnya.

Gila, gila, gila.

Pahatan muka nih orang bener-bener sempurna. Dari matanya yang berukuran sedang dan sangat pas dengan alisnya yang tebal. Hidung mancung yang pas. Jidat yang di perkirakan hanya selebar 3 jari. Bahkan dagunya yang lancip nggak terlepas dari pandangan gue. Dan itu semua lebih di sempurnakan dengan kulitnya yang putih bersih dengan bibir berwarna merah muda yang sangat seksi untuk di lihat.

Sumpah dah, kalo gue punya muka kayak begitu. Gue bakalan narsis sepanjang hidup!

"Gue rasa enggak deh. Gue beneran mau duduk disini, dan mau temenan sama elo." ucapnya yang membuat gue sadar dan menjauhkan sedikit jarak gue darinya, karena jantung gue udah mulai meronta minta di cipok sama dia. Duh, malu-maluin aja!

"Tapi gue rasa lo ada niat terselubung. Mana mungkin lo yang ganteng bersih begini, mau temenan sama cowok item burik kayak gue. Pasti elo mau menghina gue kan?"

Oke, gue baper. Gue ucapin itu karena gue udah sering ngalaminnya. Dari awal gue masuk sekolah ini, gue selalu di ejek nggak cocok di sandingkan dengan mereka yang hampir 99% cakep. Dan 1% itu gue yang jelek sendirian. Seriusan, selama gue sekolah disini, cuma gue doang yang burik. Semuanya kinclong dan enak di pandang mata. Gue kadang merasa terpuruk dan menyalahi takdir yang udah memberi gue muka yang begini.

Tapi setiap gue ngelakuin itu ataupun mengaduh kepada nenek dan kedua sahabat gue. Mereka selalu pasti bakal bilang, tunggu waktunya. Karena saat ini gue belum menerima waktu dimana gue bakal mengalami sesuatu yang akan merubah segalanya. Gue nggak ngerti, jadinya gue cuma nangis dan ngerengek pengen ganteng.

"Nggak kok. Gue nggak begitu. Seriusan." ucapnya yang memutar badannya 90 derajat menghadap gue.

"Lo bisa percaya sama gue. Kalo gue ada menghina elo sekecil apapun. Lo boleh ngerusak muka gue yang lo anggap ganteng itu." lanjutnya, yang membuat gue nggak ada pilihan selain percaya.

Well, gue mungkin nggak akan sejahat itu ngerusak karya Tuhan yang sempurna hanya karena diri gue yang di hina jelek. Nggak fair namanya.

"Oke-oke gue percaya. Perbaiki duduk lo sana. Nggak baik." -buat jantung gue. Huft.

"Nggak baik apa?"

"Nggak usah banyak tanya deh. Gue lagi kesel nih!" balas gue yang malah nyolot. Setelahnya gue mendengar suara cewek di belakang gue yang jelas sekali terdengar padahal mungkin dia bermaksud untuk bisik-bisik.

"Tuh cowok burik kurang ajar banget ya. Di ramahin cogan malah jutek. Gue sumpahin tambah burik lo ntar."

Jlebbb bruh.

Tapi gue nggak mau ambil pusing, karena saat ini guru yang nggak gue kenal memasuki kelas dengan senyum lima jari di wajahnya.

"Morning, class." sapa sang guru.

"Morning, Sir!" balas seluruh kelas kecuali gue yang cuma mangap aja.

Guru itu tersenyum lagi lalu menaruh tas tentengnya di meja dan mengambil spidol untuk menulis namanya di papan tulis seperti guru-guru baru yang biasa mereka lakukan. Setelah selesai, beliau berbalik dan menatap seluruh kelas yang tidak lupa dengan senyuman yang mulai bikin gue jengkel karena terlihat di paksakan oleh guru itu

"Ok, jadi nama Bapak adalah Alexander Sanders. Bapak asli Kanada dan udah tinggal disini selama 12 tahun. Bapak mengajar sebagai guru Bahasa Inggris dan juga merangkap sebagai Wakil Kepala Sekolah. So, Bapak harap kita bisa saling berbagi dan bisa bekerja sama ya." ujar Bapak itu, yang baru gue tau ternyata orang bule yang sama sekali nggak keliatan bulenya.

Apa karena dia udah lama banget di sini? Makanya logat, muka bahkan kulitnya pun kayak orang lokal, idk. Tapi dari tingginya, bisa di percayalah kalo dia beneran orang luar.

"Karena Bapak baru pertama kali melihat wajah-wajah kalian. Jadi, bisakah kalian maju satu-persatu dan memperkenalkan diri kalian di depan sini?" ujar Bapak itu lagi.

Baru aja gue mau mengiyakan, tiba-tiba orang di samping gue mengacungkan tangannya dan langsung di notice oleh si Bapak.

"Pak, boleh nggak saya menyarankan untuk perkenalannya kita bikin lebih menarik. Misalnya yang maju dua orang dan di paskan dengan role mereka. Gimana?" ucap Reza yang langsung membuat seisi kelas menyetujuinya.

Dan sepertinya cuma gue sendiri yang nggak ngerti maksud dari kata role yang Reza ucapin barusan. Apa maksudnya sepasang cewek dan cowok gitu? Aish, bikin susah aja nih cogan. Mentang-mentang ganteng. Pasti dipikirannya adalah kalo yang dia ucapkan bakal di setujui. Coba kalo gue, pasti si Bapak bakal mikir seribu tahun lamanya. Ish.

"Oke. Tapi Bapak yang memilihkan sesuai role kalian ya? Eh, tapi apa dari kalian ada yang belum mengetahui jati diri kalian?" tanya Beliau.

Apa lagi ini...jati diri? Maksudnya Gay atau Normal gitu? Ya ampun, pusing pala gue sumpah.

Semuanya bersorak udah dan gue lagi-lagi cuma mangap ikutin mereka. Karena selain gue nggak paham, gue juga pengen tahu maksud dari ucapan Bapak. Dan kenapa cuma gue doang yang nggak paham?

"Baiklah kalo gitu. Bapak panggilin yang sangat pas menurut kacamata Bapak ya."

"Tapi Bapak nggak pake kacamata. Terus gimana bisa tau yang mana yang pas?" celetuk Reza.

Ih, nih cowok banyak bacot juga. Nggak tau apa yang samanya seumpama?

Pak Alex cuma terkekeh lalu mulai meneliti satu persatu dari kami, dan di mulai perkenalannya dengan seorang cewek yang di satukan dengan seorang cowok di depan. Dan saat melihat itu, gue mulai ngerti kalo yang di maksud role dan jati diri itu adalah jenis kelamin dan juga normal atau nggaknya lo. Apalagi setelah beberapa dari mereka yang di panggil benar-benar sepasang cowok dan cewek, itu membuat gue tambah yakin dengan perkiraan yang gue maksud.

Sampai akhirnya gue di tunjuk dan satu orang lagi yang di panggil untuk menjadi pasangan memperkenalkan diri bareng gue di depan. Semua yang gue pahami semuanya buyar, di tambah lagi dengan nada terkejut dari semua murid yang mendengar panggilan dari sang Bapak yang menunjuk gue dan seorang cowok yang saat ini tengah berjalan mendekat ke arah gue dengan tatapan tajam dan dingin.

Mukanya ganteng. Ganteng banget malah, Reza pun kalah. Tapi melihat ekspresi mukanya yang menakutkan, membuat gue ciut dan mengalihkan pandangan gue ke arah Reza yang tersenyum lembut menatap gue. Gue awalnya pengen ikut tersenyum membalas Reza. Tapi nggak jadi setelah cowok itu sudah berdiri di samping gue dan berdesis dingin yang sangat jelas di tujukan untuk gue.

"Gue benci cowok Omega."

Begitulah bunyinya yang membuat gue langsung terdiam beberapa saat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel